Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kasidah Negeri Sarung Kopyah (Karya Raedu Basha)

Puisi "Kasidah Negeri Sarung Kopyah" karya Raedu Basha bercerita tentang kehidupan intelektual dan spiritual santri di pesantren, yang terus ...
Kasidah Negeri Sarung Kopyah
(: May Moon Nasution)

Kami dihantarkan takdir pada sebuah zaman yang dibawa
mengeja huruf-huruf yang jatuh dari masa silam
seumpama musafir memutar arah jalannya 
mencari jejak tinta emas di jari-jari sejarah
kami menyebut: atsar, suatu peninggalan yang dimuliakan
berbaris-baris rangkaian hijaiyah tertulis
kertas-kertas kuning tersepuh kalam jawi.

Waktu berdetak di ruang kami bergerak
merapalkan lafal murkab mufid wadak
nahwu sharaf, kami i'rab kami i'lal setiap lafal
guna mengetahui perubahan bentuk suatu kosa kata
dalam dimensi-dimensi lain dalam hidup nyata
menyerupai garis nasib yang kadang tergubah bentuk lain
kami nyanyikan ubahan kosa kata
seumpama meniti dari satu takdir ke takdir
faâ'ala faâ'ala faâ'alu faâ'alat faâ'alata faâ'alnaâ....

Ganding Pustaka, 2015

Analisis Puisi:

Puisi "Kasidah Negeri Sarung Kopyah" karya Raedu Basha menghadirkan nuansa khas pesantren, tradisi Islam Nusantara, dan kebudayaan lokal yang berpadu erat dengan spiritualitas. Judulnya saja sudah mencerminkan identitas: “kasidah” sebagai bentuk syair Islami dan “sarung kopyah” sebagai simbol pakaian santri. Lewat baris-barisnya, penyair tidak hanya membicarakan bahasa atau kitab, melainkan juga identitas kultural dan spiritual yang diwariskan dari masa silam.

Tema

Tema utama puisi ini adalah warisan ilmu, tradisi pesantren, dan spiritualitas Islam Nusantara. Penyair mengangkat bagaimana bahasa Arab (hijaiyah, nahwu, sharaf) bukan sekadar ilmu tata bahasa, tetapi juga jejak sejarah, peninggalan (atsar), dan bagian dari perjalanan hidup. Tradisi intelektual itu dihidupkan kembali melalui suasana santri yang tekun belajar.

Puisi ini bercerita tentang kehidupan intelektual dan spiritual santri di pesantren, yang terus berhubungan dengan sejarah panjang Islam dan tradisi keilmuan. Penyair menggambarkan suasana belajar kitab kuning, membaca huruf-huruf Arab, hingga menghafal kaidah nahwu-sharaf. Aktivitas itu tidak digambarkan sekadar aktivitas akademik, melainkan sebuah perjalanan eksistensial, seperti musafir mencari arah dalam hidup.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa belajar ilmu agama bukan sekadar aktivitas kognitif, tetapi juga jalan spiritual yang menghubungkan manusia dengan sejarah, takdir, dan Sang Pencipta. Proses memahami bahasa Arab (i’rab, i’lal, perubahan bentuk kata) dianalogikan dengan perjalanan nasib manusia yang juga berubah-ubah sesuai takdir. Dengan demikian, pembelajaran di pesantren adalah latihan membaca kehidupan itu sendiri.

Suasana dalam puisi

Suasana yang tercermin adalah sakral, penuh kekhusyukan, dan reflektif. Ada semacam kesunyian ruang belajar, denting waktu yang berjalan, dan repetisi hafalan yang menggambarkan kehidupan pesantren. Meski sederhana, suasana itu memiliki kedalaman spiritual yang mendalam.

Amanat / pesan yang disampaikan

Pesan yang hendak disampaikan adalah pentingnya menjaga warisan tradisi, ilmu, dan nilai spiritual dari masa silam. Puisi ini mengajarkan bahwa ilmu bukan hanya sekadar alat praktis, tetapi juga warisan luhur yang menuntun manusia memahami kehidupan. Selain itu, penyair menegaskan bahwa identitas kebudayaan Islam Nusantara, dengan sarung dan kopyahnya, perlu tetap dihargai sebagai bagian dari perjalanan spiritual bangsa.

Imaji

Imaji yang dihadirkan sangat kuat, terutama imaji visual dan intelektual. Misalnya:
  • Visual: “kertas-kertas kuning tersepuh kalam jawi” menghadirkan bayangan kitab kuning tua yang penuh tulisan Arab pegon.
  • Gerak: “musafir memutar arah jalannya” memberi gambaran perjalanan penuh pencarian.
  • Auditori: “kami nyanyikan ubahan kosa kata / seumpama meniti dari satu takdir ke takdir” menimbulkan kesan repetisi bacaan santri yang dihafalkan dengan suara berulang.
Imaji ini membuat puisi terasa hidup dan nyata, seolah pembaca ikut masuk ke ruang kelas pesantren.

Majas

Beberapa majas yang digunakan antara lain:
  • Metafora – “musafir memutar arah jalannya” sebagai perumpamaan pencarian ilmu.
  • Personifikasi – “huruf-huruf yang jatuh dari masa silam” seakan huruf itu hidup dan bergerak.
  • Simbolisme – sarung dan kopyah sebagai simbol santri; kitab kuning sebagai simbol warisan intelektual; perubahan bentuk kata sebagai simbol perjalanan takdir manusia.
  • Repetisi – pengulangan kaidah-kaidah (faâ'ala faâ'ala faâ'alu…) menggambarkan hafalan dalam belajar.
Puisi "Kasidah Negeri Sarung Kopyah" karya Raedu Basha adalah puisi yang menggambarkan kehidupan santri, tradisi pesantren, dan spiritualitas yang melekat pada warisan Islam Nusantara. Melalui simbol-simbol bahasa, kitab kuning, sarung, dan kopyah, penyair menegaskan bahwa belajar agama adalah perjalanan batin yang tak pernah putus. Puisi ini bukan hanya tentang pendidikan, tetapi juga tentang identitas, sejarah, dan upaya menjaga peninggalan budaya yang luhur.

"Puisi Raedu Basha"
Puisi: Kasidah Negeri Sarung Kopyah
Karya: Raedu Basha
© Sepenuhnya. All rights reserved.