Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kayon Gapuran (Karya Gunawan Maryanto)

Puisi "Kayon Gapuran" karya Gunawan Maryanto bercerita tentang seorang aku lirik yang menyerahkan dirinya untuk "dirajahkan" menjadi kayon gapuran, ..
Kayon Gapuran

dan kini rajahlah punggungku 
menjadi kayon gapuranmu
sebuah rumah bisa kau dirikan di sana 
dengan dua naga bersayap di atapnya
cikarabala dan balaupata yang turun dari surga
akan berjaga atas setiap kemungkinan yang ada
lalu tanam sebatang pohon, sebatang sungai
dan biar naga hijau menjalar
melingkar-lingkar menjadi kepala makara
yang kau gantung di dinding sebagai pengingat waktu
alaram bagi pertemuan-pertemuan yang berlebihan
antara banteng dan macan, kesedihan versus kesedihan
lalu putar dan getarkan aku
hingga waktu beranjak ruang bergerak 
hingga kepala makara di dadaku berkobar
menggiring rampogan keluar dari sarang
menuju perang—meski selalu gagal di hutan
majal tanpa penyelesaian

dan kini rajahlah punggungku
menjadi kayon gapuranmu
dan di salah satu anak tangganya
tunggulah aku pulang dari perang kembang 
di mana para raksasa mengemas kematian
menjadi jalan pertemuan-pertemuan yang mengharukan
dari sepasang kekasih atau keluarga yang saling melupakan
di situ kita tahu betapa cinta tak sepenuhnya keliru
dan ada yang tak pernah bisa hilang selamanya
ada yang selalu kembali meski tak utuh lagi
lalu matikan lampu karena malam harus sudah diakhiri
dan jadilah kita sepasang golek
menari mencari-cari sebuah pagi.

Jogjakarta, 2009

Analisis Puisi:

Puisi "Kayon Gapuran" karya Gunawan Maryanto menghadirkan simbolisme Jawa yang kental dengan nuansa wayang, rajah, naga, makara, rampogan, hingga perang kembang. Dengan bahasa yang penuh metafora dan imaji, puisi ini menjadi ruang perenungan tentang hidup, cinta, peperangan batin, dan kesadaran manusia dalam menghadapi waktu yang tak pernah berhenti.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah perjalanan hidup manusia yang penuh pertarungan, cinta, dan kerinduan akan kepulangan. Lapis-lapis simbol dalam puisi—mulai dari kayon gapuran (gunungan dalam wayang) hingga makara dan rampogan—menggambarkan siklus kehidupan yang diwarnai peperangan, kesedihan, pertemuan, dan perpisahan.

Puisi ini bercerita tentang seorang aku lirik yang menyerahkan dirinya untuk "dirajahkan" menjadi kayon gapuran, yakni simbol pembuka dan penutup dalam pertunjukan wayang. Pada dirinya dibangun rumah imajiner, naga penjaga, makara sebagai pengingat waktu, hingga bayangan perang yang tak pernah selesai. Namun di balik peperangan itu, tetap ada kerinduan pulang, cinta yang tersisa, dan pertemuan yang mengharukan meski penuh luka. Pada akhirnya, sang aku lirik menerima kehidupan sebagai tarian sepasang golek yang mencari arti sebuah pagi baru.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah hidup merupakan pentas wayang yang sarat simbol, di mana manusia berperan dalam pertarungan tanpa henti antara cinta dan duka, perang dan damai, perpisahan dan pertemuan. Segala kesedihan, konflik, dan kerinduan menjadi bagian dari lakon hidup yang tak pernah selesai, namun pada akhirnya ada kesadaran bahwa cinta, meski tidak sempurna, tetap meninggalkan jejak yang abadi.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa mistis, reflektif, dan puitis, dengan nuansa spiritual Jawa yang kental. Ada perasaan getir dari perang yang "selalu gagal", kesedihan yang berulang, tetapi juga hadir harapan lembut pada cinta, keluarga, dan pertemuan yang mengharukan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah hidup tidak bisa dilepaskan dari pertarungan dan kesedihan, tetapi cinta dan pertemuan tetap menjadi alasan bagi manusia untuk bertahan. Seperti wayang, kehidupan adalah sebuah lakon panjang di mana manusia belajar menerima luka, kehilangan, dan kebahagiaan yang datang silih berganti.

Imaji

Imaji dalam puisi ini sangat kuat, misalnya:
  • "rajahlah punggungku menjadi kayon gapuranmu" → menghadirkan gambaran tubuh sebagai kanvas kehidupan.
  • "dua naga bersayap di atapnya" → simbol penjaga mistis yang memperkuat suasana spiritual.
  • "kepala makara di dadaku berkobar menggiring rampogan keluar dari sarang" → menghadirkan visual perang batin yang dahsyat.
  • "jadilah kita sepasang golek menari mencari-cari sebuah pagi" → menghadirkan imaji puitis tentang cinta dan pencarian makna hidup.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: tubuh sebagai kayon gapuran, lambang kehidupan dan pertunjukan.
  • Personifikasi: "kepala makara berkobar" seolah-olah makara memiliki emosi.
  • Simbolisme: rampogan, naga, makara, golek → simbol perjuangan, waktu, cinta, dan pencarian makna hidup.
  • Repetisi: pengulangan "dan kini rajahlah punggungku" mempertegas kerelaan aku lirik untuk menjadi medium kehidupan.
Puisi "Kayon Gapuran" karya Gunawan Maryanto adalah sebuah refleksi kehidupan yang dibungkus dengan simbol-simbol budaya Jawa. Lewat kayon, naga, rampogan, dan golek, penyair menyampaikan bahwa hidup adalah panggung dengan lakon yang tidak pernah selesai. Dalam pertarungan itu, cinta dan kerinduan selalu menjadi bagian yang abadi, meski tak sempurna.

Gunawan Maryanto
Puisi: Kayon Gapuran
Karya: Gunawan Maryanto
Biodata Gunawan Maryanto:
  • Gunawan Maryanto lahir pada tanggal 10 April 1976 di Yogyakarta, Indonesia.
  • Gunawan Maryanto meninggal dunia pada tanggal 6 Oktober 2021 (pada usia 45 tahun) di Yogyakarta, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.