Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kepada Kawan (Karya Abdul Wachid B. S.)

Puisi "Kepada Kawan" karya Abdul Wachid B. S. bercerita tentang keterpurukan jurnalisme dan praktik demokrasi. Diceritakan bahwa jurnalis tidak ...
Kepada Kawan
(LPM)

ketika jurnalis tidak mampu menulis
ketika jurnalis tidak mau menulis
cuma lukisan ruwet kata yang
akan menjadi berita

di saat jurnalis cuma ingin
menjadi berita
di saat jurnalis cuma ngungun
membaca berita

berita siapa
siapa yang
pesan berita
siapa yang

di balik berita ada bingkai raksasa
tampak ramai bicara
bagai lebah siap sengat
atas nama rakyat

tetapi begitu pembaca lelah
beralihlah alkisah
segala dan semua tetaplah
tidak mengubah menjadi buah

demokrasi tetaplah demi kursi
kursi tetaplah demi dasi
dasi tetaplah demi korupsi
korupsi tetaplah demikian ...

Yogyakarta, 1 Mei 2016

Analisis Puisi:

Puisi "Kepada Kawan" karya Abdul Wachid B. S. merupakan karya yang tajam, penuh kritik, dan menyodorkan potret buram dunia jurnalistik, politik, serta demokrasi di Indonesia. Melalui larik-larik sederhana namun sarat makna, penyair menyampaikan keresahan terhadap berita, media, dan kuasa yang mengatasnamakan rakyat, tetapi justru berujung pada lingkaran korupsi.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kritik sosial dan politik, khususnya terhadap peran jurnalis, media, dan praktik demokrasi yang telah terdistorsi. Penyair menyoroti bagaimana berita tidak lagi menghadirkan kebenaran, melainkan menjadi bagian dari kepentingan kekuasaan.

Puisi ini bercerita tentang keterpurukan jurnalisme dan praktik demokrasi. Diceritakan bahwa jurnalis tidak mampu atau tidak mau menulis, hingga berita kehilangan makna sejatinya. Berita hanya menjadi “lukisan ruwet kata” tanpa substansi. Lebih jauh, berita dipertanyakan: milik siapa? pesannya untuk siapa?

Di balik berita, penyair menghadirkan gambaran tentang “bingkai raksasa” yang ramai bicara, diibaratkan seperti lebah siap menyengat. Namun, hiruk pikuk itu tak memberi perubahan nyata. Pada akhirnya, demokrasi dipersempit dalam lingkaran pragmatis: demokrasi demi kursi, kursi demi dasi, dasi demi korupsi.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kekecewaan terhadap idealisme yang hilang. Jurnalisme yang semestinya mengawal kebenaran justru terjebak dalam permainan wacana, sementara politik yang semestinya memperjuangkan rakyat hanya menjadi arena perebutan kursi dan kekuasaan.

Puisi ini juga menyindir bagaimana pembaca, meski awalnya antusias, akhirnya lelah dan beralih, karena berita hanya berputar dalam kisah yang sama tanpa menghasilkan perubahan konkret. Dengan demikian, puisi ini mengingatkan bahwa kebenaran sering kali terkubur oleh kepentingan, dan rakyat hanya dijadikan tameng untuk ambisi segelintir orang.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa sinis, getir, dan penuh satire. Penyair menuliskan kritik dengan nada ironis, seolah menunjukkan kenyataan yang menyakitkan namun sudah dianggap lumrah. Suasana getir itu memuncak pada bait terakhir yang menelanjangi demokrasi sebagai jalan menuju korupsi.

Amanat / Pesan

Pesan yang bisa ditarik dari puisi ini adalah:
  • Jurnalisme seharusnya berfungsi untuk menyuarakan kebenaran, bukan menjadi alat kekuasaan.
  • Demokrasi tidak boleh disempitkan hanya sebagai perebutan kursi, tetapi harus benar-benar menjadi sarana memperjuangkan rakyat.
  • Korupsi adalah penyakit yang lahir dari penyalahgunaan kekuasaan, dan harus diberantas dengan kesadaran kolektif.
  • Rakyat sebagai pembaca berita juga perlu kritis, tidak sekadar menjadi konsumen pasif.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji yang kuat meski tidak bersifat deskriptif fisik, melainkan imaji sosial dan politik:
  • “lukisan ruwet kata” memberi kesan visual tentang berita yang kacau dan membingungkan.
  • “lebah siap sengat” menghadirkan gambaran tentang pihak-pihak yang ramai berbicara tetapi penuh ancaman tersembunyi.
  • “demokrasi tetaplah demi kursi / kursi tetaplah demi dasi” menghadirkan simbol konkret kekuasaan, jabatan, dan kepentingan pribadi.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – “lukisan ruwet kata” sebagai gambaran berita yang tak bermakna; “bingkai raksasa” sebagai simbol kekuasaan yang membingkai kebenaran.
  • Simile – “bagai lebah siap sengat” membandingkan pihak-pihak berkuasa dengan lebah yang siap melukai.
  • Repetisi – Pengulangan kata “demi” di bait terakhir menegaskan lingkaran kepentingan politik yang korup.
  • Ironi – Demokrasi yang seharusnya menjunjung rakyat justru digambarkan sebagai jalan menuju korupsi.
Puisi "Kepada Kawan" karya Abdul Wachid B. S. adalah potret getir dunia media dan politik yang dipenuhi kepentingan. Dengan tema kritik sosial, cerita tentang runtuhnya idealisme jurnalisme, makna tersirat mengenai korupsi dan kekuasaan, serta penggunaan imaji dan majas yang tajam, puisi ini menjadi pengingat bahwa demokrasi hanya akan bermakna bila dijalankan dengan kejujuran.

Penyair seolah berpesan kepada kita semua: jangan sampai rakyat terus-menerus dijadikan objek berita dan korban korupsi, sementara kebenaran dan keadilan terkubur di balik bingkai raksasa bernama kekuasaan.

Abdul Wachid B. S.
Puisi: Kepada Kawan
Karya: Abdul Wachid B. S.
© Sepenuhnya. All rights reserved.