Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kepergian Ibunda (Karya Rizal De Loesie)

Puisi "Kepergian Ibunda" karya Rizal De Loesie bercerita tentang seorang aku-lirik yang harus “terbang” (melanjutkan hidup) meski terpincang karena ..

Kepergian Ibunda

Aku tetap harus terbang,
meski sayapku basah oleh tangis
dan setiap kepak terasa seperti luka yang terbuka.
Aku pergi bukan karena ingin meninggalkan,
tetapi karena ada ruang hampa
yang tak bisa kutambal dengan apa pun

Bunda, 
tak ada yang mampu menggantikan
darahmu yang tumpah dalam lelah,
keringatmu yang jatuh seperti doa lirih
atau kasihmu yang mengalir—
bening, tak pernah menuntut pulang

Kini kepakku pincang.
Bukan karena doa berhenti,
melainkan karena engkau sudah kembali
ke pangkuan keabadian
Aku masih tertahan di bumi,
menanggung hutang bakti
yang tak sempat terbayar,
menyimpan rindu pada telapak kakimu
yang kini hanya tersisa dalam kenangan.

Ampuni aku, Bunda—
atas segala lalai yang membuat matamu redup,
atas salah yang meninggalkan jejak kecewa.
Sejak nafasku pertama hingga detik perpisahan ini,
aku hanya tahu:
setiap luka di dadaku
lebih kecil dari luka yang engkau sembunyikan
demi membuatku tetap hidup.

Dan kini,
hanya doa yang bisa kupeluk
di pusaramu yang senyap.
Rinduku kehilangan rumah,
dan aku menitipkannya pada langit
yang abadi memanggul namamu

Lubuk Sikaping, 15 September 2025

Analisis Puisi:

Puisi "Kepergian Ibunda" adalah elegi pribadi yang menampilkan duka mendalam seorang anak atas berpisahnya sang ibu. Dengan bahasa yang lugas namun emosional, penyair mengolah pengalaman kehilangan menjadi renungan tentang hutang bakti, penyesalan, dan doa yang tersisa di pusara.

Tema

Tema sentral puisi ini adalah duka dan penyesalan atas kehilangan ibu, disertai refleksi tentang bakti, pengorbanan ibu, dan upaya menebus atau menerima keterbatasan manusia dalam masa berkabung.

Secara naratif, puisi ini bercerita tentang seorang aku-lirik yang harus “terbang” (melanjutkan hidup) meski terpincang karena luka batin—luka yang terbuka setiap kali ia bergerak setelah kepergian ibunya. Ia mengakui bahwa perginya bukan karena ingin pergi, tetapi karena ada ruang hampa yang tak terisi; ia menyesali kewajiban yang belum dilunasi dan meratap kepada kenangan telapak kaki ibu yang kini hanya tersisa sebagai memori. Di bagian akhir, hanya doa yang tersisa di pusara sebagai pelipur dan titipan rindu pada langit.

Makna tersirat

Di bawah permukaan kata-kata ada beberapa makna tersirat:
  • Kebesaran pengorbanan ibu: darah, keringat, dan kasih ibu digambarkan sebagai hal tak tergantikan.
  • Keterbatasan anak: rasa bersalah karena merasa tak mampu membalas pengorbanan itu sepenuhnya.
  • Kematian sebagai pemutus hubungan fisik, bukan cinta: meski ibu pergi, kasih dan kewajiban terus hidup dalam rindu dan doa.
  • Doa sebagai satu-satunya yang bisa dipersembahkan ketika tindakan fisik tak lagi memungkinkan.

Suasana dalam puisi

Puisi ini menciptakan suasana haru, pilu, intim, dan kontemplatif. Nada penyesalan dan pengakuan dosa bercampur dengan kelembutan kenangan—menghasilkan suasana yang hening, penuh penyesalan namun tulus.

Amanat / Pesan yang disampaikan puisi

Pesan yang dapat diambil:
  • Hargailah pengorbanan orangtua selagi masih ada waktu; jangan biarkan tugas kasih menumpuk menjadi penyesalan.
  • Kematian mengingatkan pada keterbatasan manusia—ketika tindakan sudah tak mungkin lagi, doa dan kenangan menjadi cara paling tulus untuk terus berbakti.
  • Belajar memelihara rasa syukur dan menebus lalai sebelum terlambat.

Imaji

Penyair menggunakan imaji kuat yang membuat pembaca merasakan kehilangan:
  • Imaji luka fisik pada sayap: “meski sayapku basah oleh tangis / dan setiap kepak terasa seperti luka” — menggambarkan sulitnya beranjak dari duka.
  • Imaji pengorbanan ibu: “darahmu yang tumpah… keringatmu yang jatuh seperti doa lirih” — menyamakan kerja ibu dengan doa.
  • Imaji pusara dan langit: penyerahan rindu ke langit dan doa yang dipeluk di pusara menimbulkan nuansa religius dan transendental.
  • Imaji telapak kaki: simbol kelembutan, jejak kasih yang kini hanya tersimpan memori.

Majas

Beberapa majas yang menonjol:
  • Metafora: “terbang… meski sayapku basah oleh tangis” — hidup dilanjutkan sebagai terbang, tetapi penuh luka.
  • Personifikasi: “kasihmu yang mengalir— bening, tak pernah menuntut pulang” — kasih diberi sifat aktif, tak menuntut.
  • Hiperbola emosional: “setiap kepak terasa seperti luka yang terbuka” memperkuat rasa sakit batin.
  • Apostrophe (panggilan langsung): penyair berujar langsung ke “Bunda,” memberi nuansa dialog batin yang intim.
  • Litotes/kontras: pengakuan “bukan karena doa berhenti, melainkan karena engkau sudah kembali” menunjukkan bahwa doa tetap hidup meski tenaga fisik hilang.
Puisi "Kepergian Ibunda" adalah elegi yang sederhana secara bahasa tetapi kaya secara emosi dan makna. Puisi ini berfungsi sebagai pengingat: cinta ibu bersifat tak tergantikan, dan perpisahan memunculkan kewajiban moral yang tak lekang — baik dalam bentuk tindakan nyata maupun doa. Dengan imaji yang mudah dirasakan dan majas yang menguatkan nuansa, Rizal De Loesie menulis tentang kehilangan dengan kejujuran yang menyayat, sekaligus mengajak pembaca merenung tentang bagaimana kita memperlakukan orangtua kita sebelum waktu berubah menjadi abu.

Rizal De Loesie
Puisi: Kepergian Ibunda
Karya: Rizal De Loesie

Biodata Rizal De Loesie:
  • Rizal De Loesie (nama pena dari Drs. Yufrizal, M.M) adalah seorang ASN Pemerintah Kota Bandung. Penulis puisi, cerpen dan artikel pendidikan. Telah menerbitkan beberapa buku puisi solo dan puisi antologi bersama, serta cerita pendek.
© Sepenuhnya. All rights reserved.