Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ketika Azalika di Perut Ibunya (Karya Kurniawan Junaedhie)

Puisi "Ketika Azalika di Perut Ibunya" karya Kurniawan Junaedhie menghadirkan kisah penuh cinta seorang ayah terhadap anaknya yang belum lahir.
Ketika Azalika di Perut Ibunya

Waktu kamu umur empat bulan
aku suka pasang kuping di perut ibumu
dan kukira, di dalam sana pun kamu ikut
pasang kuping
sembari tertawa sendiri
melihatku menangis dan meringis silih berganti.

Waktu kamu umur lima bulan
waktu kami mulai sibuk mencari nama
waktu kami suka senyum-senyum sendiri
karena merasa bakal momong anak,
kamu mungkin akan heran,
dunia orang dewasa ternyata norak dan kampungan.

Tapi aku memang tak sabar menunggumu
mungkin ini perlu kamu tahu:
ketika malam menjadi paripurna di bar
ketika aku sedang stres karena pekerjaan kantor
ketika aku jauh dari rumah
hanya kamu yang kuingat
juga ketika bangun pagi hari
ketika nonton televisi
ketika melihat gambar bagus di kaos anak-anak
aku merasa diriku seperti ayah-ayah yang lain
yang janji untuk menyayangi anak-anaknya
meski mereka nakal dan bengal
dan angka rapotnya kebakaran

Harap kamu tahu,
kamulah yang bikin aku tambah sayang
pada pepohonan, tanaman, binatang, desir hujan
kamu juga yang bikin umurku terus bertambah
dan hidup tambah bergairah.

Juli, 1995/2009

Analisis Puisi:

Puisi "Ketika Azalika di Perut Ibunya" karya Kurniawan Junaedhie merupakan salah satu karya yang menyentuh hati, menghadirkan keintiman, harapan, sekaligus refleksi seorang ayah kepada anaknya yang masih berada dalam kandungan. Melalui larik-larik sederhana namun penuh makna, penyair berhasil menyampaikan kegelisahan, kebahagiaan, serta pengharapan tentang kehadiran seorang anak dalam lingkaran kehidupan keluarga.

Tema

Tema puisi ini adalah cinta seorang ayah kepada anaknya yang masih berada dalam kandungan. Cinta tersebut tidak hanya muncul dalam bentuk kasih sayang, tetapi juga berupa pengharapan, doa, serta refleksi tentang hidup yang lebih luas. Kurniawan Junaedhie mengangkat hubungan yang intim antara orang tua dan anak, bahkan sejak sang anak belum lahir.

Puisi ini bercerita tentang seorang ayah yang menantikan kelahiran anaknya. Dalam penantian itu, ia menceritakan momen-momen kecil, seperti mendengarkan denyut kehidupan di dalam perut sang ibu, menyiapkan nama untuk sang bayi, hingga kegelisahan dan keletihan hidup sehari-hari yang selalu terobati dengan mengingat kehadiran si kecil. Puisi ini menghadirkan potret keseharian yang jujur dan apa adanya, menunjukkan bahwa kelahiran seorang anak membawa semangat baru bagi orang tuanya.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa anak menjadi sumber kebahagiaan, energi, dan motivasi bagi orang tua. Sang anak tidak hanya ditunggu karena kelahirannya, tetapi juga karena kehadirannya membuat orang tua belajar untuk lebih menghargai hidup, lebih menyayangi sesama makhluk, dan menemukan arti baru dari sebuah perjalanan hidup. Ada pesan bahwa keluarga dan kasih sayang adalah hal yang mampu menenangkan bahkan di tengah tekanan hidup modern, pekerjaan, maupun kesibukan dunia luar.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini terasa hangat, penuh harapan, namun juga intim dan reflektif. Ada perasaan rindu, lucu, sekaligus bahagia yang bercampur, seperti ketika sang ayah membayangkan kelucuan calon anaknya atau saat ia merenung di tengah kesibukan kantor. Nuansa personal yang dihadirkan membuat pembaca merasa dekat dengan pengalaman batin sang penyair.

Amanat / pesan yang disampaikan puisi

Amanat yang terkandung dalam puisi ini adalah bahwa anak adalah anugerah sekaligus sumber kekuatan bagi orang tua. Orang tua seharusnya menyayangi anak-anaknya apa adanya, tanpa syarat, bahkan ketika mereka melakukan kesalahan. Selain itu, puisi ini menyiratkan bahwa kehadiran seorang anak mampu membuat orang tua lebih bijaksana dalam menghadapi hidup serta lebih peka terhadap lingkungan dan kehidupan di sekitarnya.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji keseharian yang sederhana namun menyentuh, seperti:
  • “aku suka pasang kuping di perut ibumu” → menghadirkan imaji suara denyut kehidupan janin.
  • “melihatku menangis dan meringis silih berganti” → menghadirkan imaji visual ekspresi emosional ayah.
  • “ketika malam menjadi paripurna di bar, ketika aku sedang stres karena pekerjaan kantor” → menghadirkan imaji suasana kehidupan sehari-hari orang dewasa yang kontras dengan kepolosan anak.
  • “desir hujan, pepohonan, binatang, tanaman” → memperkaya nuansa alam yang mendukung perasaan penuh syukur.
Imaji-imaji tersebut membuat puisi terasa hidup dan mudah dirasakan oleh pembaca.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas, antara lain:
  • Personifikasi: “kamu ikut pasang kuping” memberi sifat manusia pada janin.
  • Metafora: “tubuhku terbelah-belah menjadi kerlip bintang gemintang” melukiskan perasaan kebahagiaan yang membuncah.
  • Hiperbola: “angka rapotnya kebakaran” melebih-lebihkan untuk menekankan bahwa meski anak kelak punya kekurangan, kasih sayang tetap diberikan.
  • Metonimia: penggunaan kata “bar” dan “televisi” sebagai representasi kehidupan modern dan kesibukan orang dewasa.
Puisi "Ketika Azalika di Perut Ibunya" karya Kurniawan Junaedhie menghadirkan kisah penuh cinta seorang ayah terhadap anaknya yang belum lahir. Dengan tema keintiman keluarga, puisi ini bercerita tentang penantian, doa, dan refleksi hidup yang mendalam. Makna tersiratnya menegaskan betapa anak adalah sumber kekuatan dan kebahagiaan dalam hidup orang tua. Suasana hangat yang dihadirkan, didukung dengan imaji sederhana dan majas yang menyentuh, menjadikan puisi ini sarat pesan universal tentang kasih sayang dan kehidupan.

Kurniawan Junaedhie
Puisi: Ketika Azalika di Perut Ibunya
Karya: Kurniawan Junaedhie

Biodata Kurniawan Junaedhie:
  • Kurniawan Junaedhie lahir pada tanggal 24 November 1956 di Magelang, Jawa Tengah, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.