Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kita Berpisah dalam Kuyup Waktu (Karya Korrie Layun Rampan)

Puisi "Kita Berpisah dalam Kuyup Waktu" karya Korrie Layun Rampan adalah renungan yang menyayat tentang perjalanan hidup, perpisahan, keterasingan, ..

Kita Berpisah dalam Kuyup Waktu


Kita berpisah dalam kuyup Waktu
Menapak lengang Sejarah, menyadap resah tempat demi tempat
Membongkar padang akal di tengah hiruk-pikuk dunia
Yang penuh tawa dan tangis dan usungan keranda

Para relaki meninggalkan jejak membekas pada beranda
Langit Tuhan yang purba meneteskan sejumlah rahasia
Pada Nasib pada sampan pada lanting dan pada Kata
Mengembalikan bayang kepada bayang dan diri kepada Diri

Tak kukenal lagi keindahan rawan ini
Apakah kasar atau lembut. Sukma kotaku telah mati
Dari gairah nyanyian
Wajahnya asing dalam sisa gemuruh Keabadian

Kita berpisah dalam kuyup Waktu
Bocah-bocah menyanyikan senandung tak bernama
Tentang kampung halaman, tentang derita sebuah tempat
Aku terhenyak mengusap debu pada pelupuk, meneguk kelelahan pahit liur dan asin keringat!

1976

Sumber: Suara Kesunyian (1981)

Analisis Puisi:

Puisi "Kita Berpisah dalam Kuyup Waktu" karya Korrie Layun Rampan adalah sebuah refleksi puitik tentang perpisahan, sejarah, nasib, dan kerinduan terhadap tanah asal. Dengan bahasa yang sarat simbol dan ungkapan metaforis, puisi ini menghadirkan suasana melankolis, sekaligus menjadi catatan batin tentang keterasingan, kehilangan, dan pergulatan manusia dalam perjalanan waktu.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perpisahan dan keterasingan dalam arus sejarah serta kehidupan manusia. Penyair menggambarkan bagaimana manusia berpisah, menanggung kelelahan, dan menghadapi kenyataan pahit dalam perjalanan waktu yang tak henti berjalan. Selain itu, puisi ini juga menyinggung tema nasib dan kerinduan akan kampung halaman.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan hidup manusia yang diwarnai perpisahan, kehilangan, serta rasa asing terhadap diri dan lingkungan. Penyair menggambarkan kondisi batin yang lelah menapaki waktu dan sejarah, sembari merasakan keterputusasaan di tengah hiruk-pikuk kehidupan dunia. Ada juga gambaran tentang kerinduan pada kampung halaman dan nyanyian bocah-bocah yang mengingatkan pada akar kehidupan yang pernah ditinggalkan.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap hilangnya kepekaan manusia terhadap makna hidup di tengah modernitas yang bising. Penyair menyinggung sukma kota yang telah mati dari gairah nyanyian, sebuah simbol dari keringnya kehidupan rohani dan budaya akibat perubahan zaman. Selain itu, ada pesan tentang keterasingan eksistensial, di mana manusia kerap terjebak dalam rutinitas duniawi hingga lupa pada jati diri dan asal-usulnya.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini adalah muram, melankolis, dan penuh kegelisahan. Ada perasaan perpisahan yang getir, kesedihan atas nasib, serta rasa letih menghadapi dunia. Meskipun demikian, di balik kemuraman itu, masih tersisa kerinduan akan kampung halaman dan harapan kecil untuk menemukan kembali makna sejati dari hidup.

Amanat / pesan yang disampaikan puisi

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah manusia tidak boleh kehilangan jati diri dan akar kehidupannya meskipun terhimpit arus sejarah dan perubahan zaman. Penyair ingin mengingatkan pembaca untuk tetap menjaga kepekaan, tidak larut sepenuhnya dalam hiruk-pikuk dunia yang penuh tawa dan tangis, serta kembali merefleksikan diri pada akar budaya dan kemanusiaan.

Imaji

Puisi ini menampilkan imaji yang kuat dan berlapis, di antaranya:
  • Imaji visual: “menapak lengang Sejarah”, “para lelaki meninggalkan jejak membekas pada beranda”, “mengusap debu pada pelupuk”.
  • Imaji auditif: “bocah-bocah menyanyikan senandung tak bernama”, yang memberi kesan suara nostalgia dan kerinduan.
  • Imaji rasa: “meneguk kelelahan pahit liur dan asin keringat”, menghadirkan sensasi keletihan fisik dan batin.
Imaji-imaji ini membuat puisi lebih hidup, seakan pembaca bisa merasakan langsung beban emosional yang dituangkan penyair.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi – “Sukma kotaku telah mati dari gairah nyanyian” menggambarkan kota seolah-olah memiliki jiwa yang bisa mati.
  • Metafora – “kuyup Waktu” melambangkan manusia yang terhanyut dalam derasnya perjalanan waktu.
  • Repetisi – pengulangan larik “Kita berpisah dalam kuyup Waktu” menegaskan intensitas perasaan kehilangan dan perpisahan.
  • Hiperbola – “Mengembalikan bayang kepada bayang dan diri kepada Diri” yang menggambarkan refleksi diri secara mendalam dan total.
Puisi "Kita Berpisah dalam Kuyup Waktu" karya Korrie Layun Rampan adalah renungan yang menyayat tentang perjalanan hidup, perpisahan, keterasingan, dan kerinduan pada akar kehidupan. Melalui tema yang kuat, imaji yang kaya, serta penggunaan majas yang indah, puisi ini bukan hanya merekam kegelisahan pribadi penyair, tetapi juga menjadi refleksi kolektif tentang kondisi manusia yang kerap terseret arus sejarah dan modernitas.

Korrie Layun Rampan
Puisi: Kita Berpisah dalam Kuyup Waktu
Karya: Korrie Layun Rampan

Biodata Korrie Layun Rampan:
  • Korrie Layun Rampan adalah seorang penulis (penyair, cerpenis, novelis, penerjemah), editor, dan kritikus sastra Indonesia berdarah Dayak Benuaq.
  • Korrie Layun Rampan lahir pada tanggal 17 Agustus 1953 di Samarinda, Kalimantan Timur.
  • Korrie Layun Rampan meninggal dunia pada tanggal 19 November 2015 di Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta Pusat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.