Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kwatrin buat EB (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Kwatrin buat EB" karya Gunoto Saparie bercerita tentang suasana di teras rumah seseorang yang penuh keakraban: angin senja yang sejuk, tawa ...
Kwatrin buat EB

di teras rumahmu merendah angin senja
ketika kau bercanda dan selalu tertawa
ada ribuan anekdot, sajak, dan kebijaksanaan
namun jemputan itu selalu tak terduga, ah tuan

Analisis Puisi:

Puisi “Kwatrin buat EB” karya Gunoto Saparie hanya terdiri dari empat baris (sesuai bentuk kwatrin), namun memiliki kedalaman makna yang menyentuh. Dengan larik yang sederhana, penyair menyuguhkan perenungan tentang kehidupan, kebersahajaan, dan kematian yang datang tanpa bisa ditebak.

Tema

Tema utama puisi ini adalah renungan tentang kefanaan hidup. Meski kehidupan dipenuhi canda, tawa, dan kebijaksanaan, kematian tetap hadir sebagai sesuatu yang tidak terduga.

Puisi ini bercerita tentang suasana di teras rumah seseorang yang penuh keakraban: angin senja yang sejuk, tawa dan canda, serta percakapan penuh hikmah. Namun, di balik momen itu, muncul kesadaran bahwa maut bisa datang kapan saja, tanpa tanda, bahkan di tengah keceriaan.

Makna tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah bahwa hidup dan mati berjalan beriringan. Kehangatan, kebersamaan, dan kebijaksanaan tidak menghapus kenyataan bahwa hidup berakhir pada saat yang tidak bisa ditebak. Ada pesan keikhlasan menerima bahwa kematian adalah bagian dari perjalanan manusia.

Suasana dalam puisi

Suasana puisi terasa hangat sekaligus sendu. Hangat karena gambaran tawa dan canda di senja hari, sendu karena terselip kesadaran bahwa kematian adalah tamu yang bisa datang kapan saja.

Amanat / pesan yang disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah bahwa manusia harus hidup dengan bijak, menikmati canda, tawa, dan kebersamaan, tetapi tetap menyadari bahwa hidup tidak abadi. Maka, setiap momen berharga perlu dijalani dengan kesungguhan.

Imaji

Puisi ini menghadirkan beberapa imaji kuat:
  • Visual: “di teras rumahmu merendah angin senja” menggambarkan pemandangan sore yang tenang.
  • Auditori: “kau bercanda dan selalu tertawa” menghadirkan suasana hangat percakapan.
  • Reflektif: “ribuan anekdot, sajak, dan kebijaksanaan” menciptakan imaji intelektual dan spiritual.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “angin senja merendah” menggambarkan angin seolah memiliki sikap lembut dan penuh hormat.
  • Metafora: “jemputan itu” adalah metafora dari kematian yang tidak terduga.
Puisi "Kwatrin buat EB" karya Gunoto Saparie adalah contoh bagaimana bentuk puisi singkat mampu menyampaikan makna yang luas. Dengan menggabungkan kesederhanaan suasana sehari-hari dan refleksi eksistensial, puisi ini mengingatkan bahwa di balik kehangatan hidup, selalu ada misteri kematian.

Foto Gunoto Saparie 2019
Puisi: Kwatrin buat EB
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).

Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah. Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.