Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Lagu di Atas Debu (Karya Sugiarta Sriwibawa)

Puisi "Lagu di Atas Debu" karya Sugiarta Sriwibawa bercerita tentang seorang anak yang harus berhadapan dengan dunia kota yang keras, penuh lampu, ...
Lagu di Atas Debu
(kepada anak gelandangan
yang mati di jalanan)

Kilas lampu merancasi atap pondoknya
Menusukkan sinar dan derung jalan raya
Menerpa tanah, dinding dan wajah
Dada bertarung di lekuk perutnya

O anak, pintu dan mimpimu
Telah kauhembus dengan teriak lafasmu
Kudengar tersengal, melonjak-lonjak kering
Menghilir gang, pecah di trotoar terbanting

Inilah jalan raya, lagu yang harus kaudengar
Dunia terang ke balik-balik pagar
Alur sibuk melambungkan hari
Kesucian hati hanya ditawar janji

Lagumu rindu parah tersiksa
Gemetar terseret alun pipimu
Pecah terpencil suara lengkingmu
Menyahut terlepas, menarik terkibas

Betapa aneh lampu-lampu menghitung langkahmu
Senyum-senyum sinarnya terlalu keras
Luyak beliak mencakar mukamu
Kini kutahu lampu-lampu itu menampar pedas

Debu debu melamur melabur
Dalam mulut ludah keringat
Tengadah, bulan yang lena di atas Jakarta
Terbaring atap-atap sayap cahaya

Bulanku, wahai bulanku melambailah
Terlampau goyah lututnya menjejak bumi
Terdampar keras dari arus kota gemilang
Pedas meremas luluhnya mimpi

Nyanyimu lelah, telah kuseru bulan
Terlalu tinggi dari tiang tulangku
Melengkung-lekuk dipapas deru nafsu
Keringat kota di lembab kali

Menitis bulan tersenyum kali
Di sini, di sini anakku yang rindu
Kurangkul kulipur sayang mamakmu
Di sini, ya di sini kubur keluh keluargamu

Lagumu anak, gelita bebas mataku maklum
Sawur luluh kucam legam teriakmu
Telah kuhisap pahit debu gemilang
Telah kuhirup getir lumpur cemerlang

Masih kulihat sekejap kau melihat cepat
Regang tulang rayap jalan kota
Sampai derung pesawat raksasa menyorot
Menerkam menyeret arus lagu jalan raya

Nyanyimu sayup kudengar masih
Terbang di atas kota melayang
— Tiada kunyana begini mereka
Mengantar nyawa sampai ke bulan

Analisis Puisi:

Puisi "Lagu di Atas Debu" karya Sugiarta Sriwibawa adalah sebuah potret kehidupan kota yang keras, penuh hiruk pikuk, dan merenggut kesucian hati warganya. Melalui larik-larik penuh imaji tentang lampu jalan, debu, suara jalan raya, hingga deru pesawat, penyair menyuarakan perasaan getir, luka, dan harapan yang tak sepenuhnya tercapai.

Tema

Tema utama puisi ini adalah penderitaan manusia kecil di tengah kerasnya kehidupan kota. Puisi menyoroti benturan antara mimpi dan kenyataan, antara rindu akan kesucian dengan realitas jalan raya yang bising dan kejam.

Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang harus berhadapan dengan dunia kota yang keras, penuh lampu, deru jalan raya, debu, dan mimpi yang sering kali luluh lantak. Suara tangisan, nyanyian, hingga jeritan si anak menjadi semacam lagu getir yang diperdengarkan di atas debu—simbol dari kepedihan hidup dalam modernitas kota.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik sosial terhadap realitas kehidupan urban yang merampas kesederhanaan, ketulusan, dan mimpi orang kecil. Anak dalam puisi melambangkan generasi yang dipaksa bertumbuh di lingkungan keras, di mana suara mereka hanya menjadi gema yang terhempas oleh bising kota. Ada pula pesan tentang keterasingan dan perasaan kalah dalam arus modernitas.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dihadirkan dalam puisi ini adalah kelam, getir, dan penuh keletihan. Ada kepedihan yang terasa ketika lampu-lampu kota diibaratkan menampar wajah, debu yang melabur tubuh, serta tangisan yang pecah di trotoar. Namun di balik itu, ada pula secercah harapan yang dititipkan pada bulan, simbol ketenangan dan doa yang lirih.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang bisa ditangkap dari puisi ini adalah bahwa hidup di kota dengan segala gemerlapnya sering kali menyimpan penderitaan yang tak terlihat. Mereka yang terpinggirkan tetap bernyanyi dengan getir, meski hanya lagu di atas debu. Penyair seolah mengingatkan bahwa di balik modernitas ada manusia kecil yang terluka, yang butuh perhatian dan kasih sayang.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang tajam:
  • Imaji visual: “kilas lampu merancasi atap pondoknya”, “lampu-lampu itu menampar pedas”, “bulan yang lena di atas Jakarta” — membangun kontras antara gemerlap kota dan perasaan getir penghuninya.
  • Imaji pendengaran: “derung jalan raya”, “suara lengkingmu pecah terpencil” — menghadirkan kebisingan yang mencekam.
  • Imaji gerak: “melonjak-lonjak kering”, “terdampar keras dari arus kota gemilang” — memperlihatkan tubuh yang terseret arus kehidupan keras.
  • Imaji perasaan: “lagumu rindu parah tersiksa” — menggambarkan penderitaan batin yang mendalam.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “lampu-lampu itu menampar pedas” — lampu diberi sifat manusia.
  • Metafora: “lagu di atas debu” sebagai simbol penderitaan hidup yang terus bergema.
  • Hiperbola: “derung pesawat raksasa menyorot, menerkam menyeret arus lagu jalan raya” — memperbesar kesan ganasnya modernitas kota.
  • Simbolisme: “bulan” melambangkan doa, harapan, sekaligus pelipur lara bagi si anak dan keluarganya.
Puisi "Lagu di Atas Debu" karya Sugiarta Sriwibawa merupakan refleksi getir tentang kehidupan kota yang keras dan penuh penderitaan. Dengan tema penderitaan orang kecil, cerita tentang benturan mimpi dan realitas, makna tersirat berupa kritik sosial, suasana kelam yang mendominasi, serta kaya akan imaji dan majas, puisi ini berhasil menggambarkan betapa gemerlap kota tidak selalu identik dengan kebahagiaan. Justru di balik kilau lampu jalan dan deru pesawat, ada nyanyian getir manusia kecil yang hanya terdengar sebagai “lagu di atas debu”.

Puisi Sepenuhnya
Puisi: Lagu di Atas Debu
Karya: Sugiarta Sriwibawa

Biodata Sugiarta Sriwibawa:
  • Sugiarta Sriwibawa lahir di Surakarta, pada tanggal 31 Maret 1932.
© Sepenuhnya. All rights reserved.