Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Lanturan tentang Hutan (Karya A. Muttaqin)

Puisi "Lanturan tentang Hutan" karya A. Muttaqin bercerita tentang perjalanan batin seorang tokoh liris yang mengalami dialog batin penuh ...
Sepuluh Lanturan tentang Hutan

I
Malam adalah telur yang menetas,
dan aku ingin kau tak menetaskanku.

Begitu berwarni perangai mimpi,
sedang pagi tinggal kuning tai

dan kau tak akan kembali.
Tapi, aku tetap memimpikanmu,

keluar dari kuntum bunga dan
berkata, larilah, kejarlah…


II
Darahku membeku.
Sepasang kakiku jadi batu.
Dan, jika ada yang terbang dari ubunku,
itulah yang menumbuhi malam-
malamku.

Kau tahu?

Duh, bagaimana aku tanya itu padamu,
sementara tak ada angin puyuh
yang sanggup menerbangkan kunang-
kunang dari matamu?


III
Rusukku pun berbulu.
Malam bergemuruh.
dan aku ingin angan jadi ungu,
setenang subuh.

Biar kuda-kuda merah meringkik.
Biar langit yang masih punya banyak kerdip itu
memekik.

Aku tak ingin seperti kumbang
dan singgah dari kembang ke tembang.
Aku tak ingin jadi jalang dan mengerang
di padang panjang.

Sayangku, datanglah kau bagai subuh.
Beri aku pagi dan kupu-kupu


IV
Aku sebut namamu,
tapi separuh lidahku jadi batu.

Menyebut namamu dengan batu?
Ah, bukankah dengan lidah dan seluruh pun
aku hanya gagu?

V
Rambutku mengeras
dan mataku terlepas,
seperti kelereng menggelindingi sepi.

Sepinya basah. Oh,
apa mataku sedang menangis sendiri?
Seperti dulu, ketika ia sering
kupakai mencuci bajuku.

Ketika
tanganku masih bisa
rasakan air dan dingin.
Ketika
masih ada ledakan-ledakan kecil
di balik dadaku.
Ketika
kuku belum merambat
ke sekujur dagingku


VI
Kau tak usah jadi ibu dan mengutukku.
Kini, aku telah sempurna jadi batu,
lebih hening dari spinx
menghikmati sepasang mawar
yang memekari dagingmu.

Dan aku pun tak mungkin lagi menikammu,
seperti bayi ranum yang mengasah
segenap taring dan purbaku?

Tubuhmu lebih luas timbang waktu.
Dadamu lebih bebas timbang kupu-kupu.
Dan farjimu seganas giras sungai
yang menabrak dan melemparku
ke gunung,
ke kembaranku yang setia
menunggu terjun


VII
Kau tahu,
sungai dan batu tak pernah bersekutu?

Maksudku, aku tak mungkin
mencumbumu. Aku selalu gagal
mencecap getah perdumu, seperti dulu,
ketika mula belajar tidur.

Sebagaimana keinginan kembali
ke gua gaib, di mana tuhan pernah mengintip,

membisikkan tiga suku kata
yang memekarkan jantungku:

tiga suku kata yang mirip panggilanmu.

Hingga,
rusukku yang berbulu itu terbang,
layaknya kupu-kupu lugu yang hinggap
di lengkung alismu,
di kelopak matamu
yang dungu


VIII
Tapi dungu bukanlah milikmu.
Kau lebih beku dari batu.
Kau lebih ungu timbang masa lalu.
Kau juga melebihi keruh ibuku.

Hingga,
aku tak bisa menemukan perutmu.
menyusup ke rahim,
atau mengalir
di arus nadimu.
Menjadi terumbu di laut darahmu,
dan bukan jadi batu yang sendiri,

di sini,
di bugil pagi yang menggigil
di bawah kuntum matahari


IX
Ini tentu sudah ngelantur, bukan?
tapi tidak. Tidak, Sayangku.
Prihal cinta memang sering tampak ganjil.
Dan mungkin, 1001 pangkur,
1001 mazmur tak akan manjur bertutur.


Sebelum kita benar tidur,
baiklah, kulengkapkan cerita ini:

Kamu tahu, apa yang diminta Hawa
ketika Adam mulai tergoda?

Waktu itu, sorga serupa bunga raksasa
dengan bulu dan sepasang-pasang
penuh warna.

Dia meminta itu. Maksudku,
lubang itu. Dan seperti Adam yang merajuk
ceruk hitam, aku terkenang
lubang batang kayu yang
persis milikmu.
Milikmu.
Dan milikmu.

Di lubang itu, bersembunyi
ular bermahkota mawar yang membuat
jantung keduanya jadi nanar.
Hingga tanpa sadar
mereka bareng berujar,

ajari kami, ajari kami terbang
menuju hulu dan kupu-kupu…

Dan mereka pun diajar.
Mula-mula mereka dianjur menjuluri tidur.
Dan tidur mereka jadi ular yang saling membelit,
seperti sepasang kutuk yang melingkari pohon.

Pohon yang di tengahnya,
lubang yang tak pernah habis terbakar itu,
tiba-tiba menyala dan menjatuhkan mereka
ke kedalaman panas dan bergetah.

Sebutir apel pun pecah.
Sepuluh kupu di pucuk tangan adam terbang,
seperti luput pertama yang berteriak dan meminta:
Bapa! Bapa!

: sejak itu, manusia punya kuku
untuk mencakar dan berdoa.


X
Pagi jadi bangka.
Waktu seperti lelaki tua
yang diam tak bersuara.

Dan, seperti Adam yang kembali terjaga,
aku hanya duka yang menatapmu,

menatap dedaun yang tumbuh dan gugur
di wajahmu, seperti jari-jari gaib, melambai
hari-hari yang pucat pergi, tanpa berahi...

2008

Analisis Puisi:

Puisi "Sepuluh Lanturan tentang Hutan" karya A. Muttaqin merupakan sebuah karya panjang yang sarat dengan simbol, imaji, dan permainan bahasa. Meski judulnya menyebut “lanturan”, justru di dalamnya tersimpan permenungan mendalam tentang cinta, tubuh, mitologi, dan keterhubungan manusia dengan alam serta sejarah asal-usulnya.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kerinduan eksistensial manusia yang berkelindan dengan cinta, tubuh, dan asal-usul kehidupan. Hutan, dalam hal ini, bukan hanya sekadar lanskap alam, tetapi juga metafora tentang kerahasiaan, rahim kehidupan, sekaligus ruang mitologis yang menyimpan kisah manusia sejak awal.

Secara garis besar, puisi ini bercerita tentang perjalanan batin seorang tokoh liris yang mengalami dialog batin penuh kerinduan, keterasingan, dan pencarian makna hidup. Ia berhadapan dengan bayangan kekasih, tubuh, kenangan masa lalu, mitos Adam dan Hawa, hingga perasaan menjadi batu, hening, dan terasing. Kisah cinta di sini bukan semata-mata relasi antarindividu, melainkan juga metafora kerinduan manusia pada asal-usulnya yang hilang.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah kritik terhadap keterasingan manusia dari hakikat dirinya, alam, dan cinta yang murni. Dengan memasukkan mitos penciptaan (Adam, Hawa, dan apel), penyair menyiratkan bahwa manusia sejak awal membawa luka eksistensial—dihukum oleh hasrat, tubuh, dan waktu. Hutan yang disebut dalam judul dapat dimaknai sebagai simbol dari kerumitan hidup: penuh rahasia, penuh rimba makna, dan tidak bisa ditaklukkan dengan logika sederhana.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini dominan muram, gelisah, erotis, dan penuh renungan metafisik. Ada ketegangan antara cinta yang dirindukan dengan kenyataan yang penuh luka. Di beberapa bagian, suasana bergeser menjadi mistis (misalnya ketika menyebut malaikat, Tuhan, atau mitos penciptaan).

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah manusia tidak pernah bisa benar-benar lepas dari kerinduan pada cinta, asal-usul, dan Tuhan. Namun, manusia juga harus menyadari bahwa kehidupan adalah perpaduan antara hasrat, luka, dan keterasingan. Puisi ini seolah mengingatkan pembaca bahwa perjalanan batin manusia adalah perjalanan yang tidak sederhana: penuh misteri, penuh “lanturan” yang justru menyimpan kebenaran.

Imaji

Puisi ini dipenuhi dengan imaji yang kaya dan berlapis, antara lain:
  • Imaji alam: “malam adalah telur yang menetas”, “kuda-kuda merah meringkik”, “dedauan yang tumbuh dan gugur di wajahmu”.
  • Imaji tubuh: “rambutku mengeras dan mataku terlepas, seperti kelereng menggelindingi sepi”, “farjimu seganas giras sungai”.
  • Imaji mitologis-religius: “seperti Adam yang merajuk ceruk hitam”, “ular bermahkota mawar”, “sebutir apel pun pecah”.
  • Imaji metafisik: “aku menyebutnya penjara atau puisi atau jalusi musim semi”.
Imaji-imaji ini menegaskan kedalaman pengalaman batin sekaligus memperkuat suasana mistis dan eksistensial.

Majas

Banyak majas digunakan dalam puisi ini, antara lain:
  • Metafora: “malam adalah telur yang menetas” → malam dipersonifikasikan sebagai ruang kelahiran.
  • Personifikasi: “matahari yang pucat pergi tanpa berahi” → benda langit diberi sifat manusia.
  • Hiperbola: “sepuluh kupu di pucuk tangan adam terbang” → gambaran berlebihan untuk menekankan mitos penciptaan.
  • Simbolisme: “ular bermahkota mawar” → simbol godaan, seksualitas, dan dosa asal.
  • Repetisi: “Milikmu. Milikmu. Dan milikmu.” → pengulangan yang memperkuat intensitas perasaan.
Puisi "Sepuluh Lanturan tentang Hutan" karya A. Muttaqin adalah karya yang kaya simbol, penuh imaji, dan berlapis makna. Dengan tema tentang kerinduan eksistensial, puisi ini bercerita tentang pencarian cinta, tubuh, dan asal-usul manusia. Makna tersiratnya menyingkap keterasingan manusia dari dirinya sendiri, cinta, dan alam semesta. Suasana muram dan mistis berpadu dengan amanat bahwa hidup selalu penuh kerumitan, cinta sekaligus hasrat, serta kesadaran akan keterbatasan manusia. Imaji dan majas yang digunakan mempertebal kekuatan puisi, membuatnya layak dibaca sebagai refleksi spiritual sekaligus estetis.

A. Muttaqin
Puisi: Sepuluh Lanturan tentang Hutan
Karya: A. Muttaqin

Biodata A. Muttaqin:
  • A. Muttaqin lahir pada tanggal 11 Maret 1983 di Gresik, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.