Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Lelaki Tua dan Lambang-Lambang (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Lelaki Tua dan Lambang-Lambang" karya Diah Hadaning adalah refleksi kritis tentang hubungan antara rakyat, sejarah, dan simbol politik.
Lelaki Tua dan Lambang-Lambang

Berdiri diam di antara orang-orang
mengusung harapan
mendekap kenangan
1955 yang lama silam
lelaki tua menata nyalang
kotak-kotak di meja panjang
mencoba renungi satu-satu
nasihat semalam jelang jam tujuh.

Untuk masa depan
jangan sampai lakukan kesalahan
punggungnya ditepuk saying
lalu terima amplop dan bungkusan
lelaki tua mengangguk-angguk
senyumnya lepas mereka tangguk
pagi ini lain sekali
saat buka lembar kertas penuh lambing
warna-warna beraneka beterbangan
seiring raibnya nasihat semalam
Gusti, Gusti, kenapa gambar ini?
Lelaki tua berdiri menggigil
lambing-lambang porak-poranda
bertemperasan berubah bentuk
garuda perkasa dan si Bung pujaan jiwa.

Bogor, April 2004

Analisis Puisi:

Puisi "Lelaki Tua dan Lambang-Lambang" karya Diah Hadaning menghadirkan gambaran reflektif tentang pengalaman politik, simbol-simbol bangsa, dan perasaan generasi lama yang menyaksikan perubahan nilai di tanah air. Lewat kisah seorang lelaki tua yang berdiri di tengah masyarakat, penyair memotret realitas sosial yang sarat makna, sekaligus menyentuh sisi batin manusia yang terhimpit sejarah.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kekecewaan dan kegelisahan terhadap runtuhnya idealisme serta makna lambang-lambang bangsa akibat praktik politik yang manipulatif. Penyair menyoroti benturan antara kenangan masa lalu yang penuh semangat dengan kondisi masa kini yang sarat kepentingan.

Puisi ini bercerita tentang seorang lelaki tua yang pernah hidup dalam semangat perjuangan (digambarkan lewat tahun 1955, era demokrasi awal Indonesia). Ia berdiri di antara orang-orang, mengingat masa lalu, menerima nasihat, bahkan ikut dalam proses politik yang penuh janji. Namun, saat lembar kertas berisi lambang-lambang partai politik terbuka, ia justru merasa asing dan menggigil. Lambang-lambang itu tampak porak-poranda, berubah bentuk, dan kehilangan makna aslinya.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap praktik politik yang mengaburkan nilai perjuangan bangsa. Lambang partai dan simbol-simbol negara yang seharusnya merepresentasikan persatuan justru terkesan digunakan sebagai alat kepentingan, sehingga rakyat kecil merasa kecewa. Lelaki tua dalam puisi ini mewakili generasi lama yang menyimpan kenangan akan idealisme bangsa, namun dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa nilai itu kian memudar.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah campuran antara nostalgia, getir, dan kegelisahan. Ada keheningan ketika lelaki tua mengingat masa lalu, namun ada pula keguncangan batin ketika ia menyadari bahwa simbol-simbol bangsa telah kehilangan kekuatannya. Akhir puisi menghadirkan suasana muram, seolah lelaki tua berdiri sendiri dalam kebingungan sejarah.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang ingin disampaikan penyair adalah pentingnya menjaga keaslian makna lambang, simbol, dan idealisme bangsa agar tidak tercemar oleh kepentingan politik sesaat. Puisi ini juga mengingatkan bahwa generasi tua yang pernah berjuang pantas dihormati, sementara generasi kini harus lebih bijak dalam menafsirkan sejarah.

Imaji

Puisi ini memanfaatkan berbagai imaji visual yang kuat, seperti:
  • “kotak-kotak di meja panjang” → menggambarkan proses pemilihan umum.
  • “lembar kertas penuh lambang, warna-warna beraneka beterbangan” → menghadirkan bayangan nyata tentang surat suara.
  • “lambang-lambang porak-poranda, bertemperasan berubah bentuk” → simbol kerusakan makna politik.
Imaji ini membuat pembaca dapat merasakan langsung suasana ruang pemilihan hingga kegelisahan batin tokoh lelaki tua.

Majas

Diah Hadaning menggunakan beberapa majas untuk memperkuat pesan, antara lain:
  • Personifikasi: “warna-warna beraneka beterbangan” seolah-olah lambang hidup dan bergerak.
  • Metafora: “lelaki tua berdiri menggigil” menggambarkan kekecewaan dan kegelisahan batin, bukan sekadar tubuh kedinginan.
  • Repetisi: penyebutan kata “Gusti, Gusti” memberi penekanan pada perasaan putus asa.
  • Simbolisme: garuda perkasa dan Bung pujaan jiwa melambangkan kebanggaan nasional dan tokoh panutan yang mulai hilang maknanya.
Puisi "Lelaki Tua dan Lambang-Lambang" karya Diah Hadaning adalah refleksi kritis tentang hubungan antara rakyat, sejarah, dan simbol politik. Dengan menghadirkan tokoh lelaki tua, penyair berhasil memperlihatkan luka batin generasi lama yang menyaksikan bagaimana lambang-lambang bangsa berubah menjadi sekadar tanda tanpa makna. Tema, imaji, dan majas yang digunakan memperkuat suasana getir, sekaligus menyampaikan amanat agar bangsa tidak melupakan nilai sejati perjuangan.

"Puisi: Lelaki Tua dan Lambang-Lambang (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Lelaki Tua dan Lambang-Lambang
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.