Analisis Puisi:
Puisi “Liang” karya Gunoto Saparie hadir dalam bentuk yang sangat singkat, padat, dan penuh makna. Dengan hanya beberapa baris, penyair mampu menyingkap kegelisahan eksistensial manusia dalam menghadapi kefanaan dan pertanyaan tentang ke mana diri akan menuju. Keindahan puisi ini justru terletak pada kesederhanaan sekaligus kedalaman makna yang tersirat.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kefanaan manusia dan pencarian ruang peristirahatan terakhir. Puisi menggarisbawahi keterbatasan tubuh dan kesadaran bahwa tidak ada tempat untuk bersembunyi dari kenyataan kematian.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang pada suatu waktu subuh menyadari kesia-siaan tubuhnya. Ada pertanyaan retoris yang muncul: ke manakah kau sembunyi? Kalimat itu seolah menunjukkan kegelisahan manusia yang mencoba lari dari takdir, tetapi akhirnya disadarkan bahwa tidak ada lagi liang gelap yang bisa menampung atau melindungi.
Makna tersirat
Beberapa makna tersirat yang dapat ditafsirkan dari puisi ini antara lain:
- Kematian sebagai kepastian. Tidak ada tempat persembunyian yang sejati bagi manusia; pada akhirnya tubuh akan kembali pada kefanaan.
- Keterbatasan tubuh. Kata “sungguh sia-sia tubuh” menyiratkan bahwa fisik manusia tidak abadi, seberapa pun dijaga, suatu saat tetap akan hilang.
- Pengasingan eksistensial. Pertanyaan “ke manakah kau sembunyi?” mencerminkan kegelisahan jiwa yang merasa terjebak tanpa jalan keluar.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini terasa muram, sunyi, dan mencekam. Kata-kata sederhana seperti “subuh”, “sia-sia tubuh”, dan “liang gelap” menciptakan atmosfer yang dingin, seakan pembaca diajak masuk ke dalam perenungan tentang kematian dan ketiadaan.
Amanat / Pesan yang disampaikan
Pesan yang bisa ditangkap dari puisi ini adalah bahwa manusia hendaknya menyadari kefanaan hidup dan menerima takdir kematian dengan lapang dada. Tubuh hanyalah wadah yang akan musnah, sehingga yang lebih penting adalah bagaimana manusia mengisi hidupnya sebelum liang terakhir benar-benar menutup.
Imaji
Imaji dalam puisi ini meski sederhana, sangat kuat:
- “pada sebuah subuh” menampilkan visual suasana waktu yang hening, awal dari kesadaran.
- “sia-sia tubuh” menghadirkan imaji tentang tubuh yang lemah, tak berguna, atau sudah kehilangan daya.
- “liang gelap” menggambarkan kubur atau ruang kematian yang menjadi tempat terakhir manusia.
Majas
Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: tubuh digambarkan seolah-olah dapat “sia-sia” dan “bersembunyi”.
- Metafora: “liang gelap” sebagai kiasan untuk kematian atau kubur.
- Pertanyaan retoris: “ke manakah kau sembunyi?” yang tidak membutuhkan jawaban, tetapi menekankan kebuntuan eksistensial.
Puisi “Liang” karya Gunoto Saparie adalah refleksi singkat namun mendalam tentang kefanaan manusia. Dalam empat baris saja, penyair berhasil menyampaikan kesadaran tragis bahwa tubuh tidak kekal, dan bahwa tidak ada ruang persembunyian dari kematian. Kesederhanaannya justru membuka ruang tafsir luas bagi pembaca untuk merenungi arti kehidupan dan pentingnya menyiapkan diri sebelum liang terakhir menutup.
Puisi: Liang
Karya: Gunoto Saparie
Biodata Gunoto Saparie:
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain. Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya.
Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta).
Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).
Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Selain itu, di tengah kesibukannya menulis, ia kadang diundang untuk membaca puisi, menjadi juri lomba kesenian, pemakalah atau pembicara pada berbagai forum kesastraan dan kebahasaan, dan mengikuti sejumlah pertemuan sastrawan di Indonesia dan luar negeri.