Analisis Puisi:
Puisi "Monolog bagi Sang Raja" karya Diah Hadaning merupakan salah satu karya yang kaya akan simbol sosial dan politik. Dalam puisi ini, penyair menyoroti relasi antara raja sebagai simbol pemimpin dengan kawula (rakyat) yang menaruh harapan, doa, sekaligus kekecewaan. Melalui gaya monolog, penyair seakan berbicara langsung kepada sang raja dengan nada penuh refleksi.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kepemimpinan dan harapan rakyat. Penyair mengangkat sosok raja bukan hanya sebagai pemegang tahta, melainkan juga figur yang memikul tanggung jawab moral terhadap rakyat.
Puisi ini bercerita tentang hubungan antara raja dan rakyat, di mana raja digambarkan memiliki cahaya, kekuatan, dan harapan, sementara rakyat (kawula) berada dalam kondisi papa, tersia, dan penuh penantian. Raja diposisikan sebagai figur sentral yang menentukan arah zaman, membawa perubahan, sekaligus menjadi simbol penopang doa-doa rakyat.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa kepemimpinan sejati bukan hanya tentang kekuasaan, melainkan tentang keberpihakan kepada rakyat kecil. Raja yang sejati adalah mereka yang menghadirkan cahaya, menghapus keterpurukan, dan memberi arah bagi masa depan rakyatnya. Ada pula kritik halus: meski rakyat penuh kesetiaan dan penantian, kenyataannya mereka kerap tersia-siakan.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini adalah haru, penuh harapan, tetapi juga getir. Harapan besar terhadap sang raja diiringi rasa kecewa karena kawula tetap berada dalam kondisi papa dan tersia. Ada nada kontemplatif sekaligus kritis.
Amanat / pesan yang disampaikan puisi
Pesan yang dapat dipetik dari puisi ini adalah bahwa pemimpin harus mampu menyalurkan cahaya bagi rakyatnya, bukan hanya berkuasa di singgasana. Pemimpin sejati ialah mereka yang memancarkan keadilan, membawa pembaruan, dan tidak membiarkan rakyatnya terlantar.
Imaji
Beberapa imaji kuat hadir dalam puisi ini:
- Imaji visual: “Raja di singgasana”, “elang kehidupan terbang di langit pengharapan”, memberi gambaran simbolis tentang kekuasaan dan harapan rakyat.
- Imaji auditif: “Aksara dalam suara, getarnya sampai ke jalan-jalan” menghadirkan gema kepemimpinan yang terdengar hingga ke pelosok desa.
- Imaji perasaan: rakyat yang “ditelikung papa” dan “tersia” menggambarkan penderitaan sosial yang menyayat hati.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Repetisi – pengulangan kata “Raja” di setiap baris untuk menegaskan sosok pemimpin sebagai pusat perhatian.
- Metafora – “cahaya di dada” sebagai lambang kebijaksanaan atau harapan dari seorang pemimpin.
- Personifikasi – “aksara dalam suara” dan “desirnya pembaruan” yang seolah memberi nyawa pada hal-hal abstrak.
- Simbolik – raja sebagai simbol pemimpin, kawula sebagai simbol rakyat, elang sebagai lambang kebebasan dan harapan.
Puisi "Monolog bagi Sang Raja" karya Diah Hadaning merupakan sebuah refleksi kritis terhadap kepemimpinan. Sang raja digambarkan sebagai figur yang dipuja, ditunggu, dan dijadikan tumpuan doa, tetapi di sisi lain rakyat tetap berada dalam kesengsaraan. Puisi ini menghadirkan suasana harap sekaligus getir, dengan pesan kuat bahwa pemimpin sejati bukan hanya hadir di singgasana, melainkan juga di hati rakyatnya.

Puisi: Monolog bagi Sang Raja
Karya: Diah Hadaning