Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Nenek Yamnun (Karya L.K. Ara)

Puisi "Nenek Yamnun" karya L.K. Ara bercerita tentang sosok Nenek Yamnun, seorang perempuan berusia sekitar delapan puluh tahun yang sedang ...
Nenek Yamnun

nenek Yamnun
orang kata nenek yang pikun
usianya memang tua
(sekitar 80 tahun)
orang menyebutnya pikun
tapi ia tak merasa pikun
malah ia bilang
jangan saya disebut pikun

melakukan salat di Masjidil Haram
nenek Yamnun pergi bersama teman jamaah
ketika pulang ia terpisah
lalu pulang ke pondokan sendirian
dibantu petugas lalu lintas
atau siapa saja yang ikhlas

nenek Yamnun tak suka disebut pikun
walau pergi ke kamar mandi saja
ia lupa pulang ke kemahnya
nenek Yamun tak suka disebut pikun
walau ia sering bertanya
apa ia sudah salat atau belum

dalam perjalanan
menunaikan ibadah haji
sekitar empat puluh hari
orang-orang diserang flu dan batuk
nenek Yamnun tidak
ia tak pernah pergi
ke dokter kloter
nenek Yamnun tak terkena sakit perut
meski makanan sangat berbeda
dengan kebiasaannya

nenek Yamnun tak suka disebut pikun
waktu luangnya diisi dengan tekun
sebuah Quran kecil selalu berada
di tangan
dia baca tanpa suara
matanya menyala tanpa kaca mata
tasbih tak lepas dari genggaman
kadang sambil tiduran ia gunakan

nenek Yamnun
seluruh hidup diisi dengan tekun
zikir di mulut, zikir di hati
ganti berganti beralun-alun

Makkah, 5 Juni l993

Analisis Puisi:

Puisi "Nenek Yamnun" karya L.K. Ara menghadirkan potret sederhana namun penuh makna tentang sosok seorang nenek lanjut usia yang sedang menunaikan ibadah haji. Melalui penggambaran yang jujur dan apa adanya, penyair berhasil menampilkan sosok yang mungkin dianggap "pikun" oleh orang lain, tetapi sesungguhnya memiliki ketekunan dan kekuatan batin yang luar biasa.

Tema

Tema utama puisi ini adalah keteguhan iman dan ketekunan seorang lansia dalam beribadah, meskipun terbatas oleh usia dan daya ingat. Puisi ini juga menyiratkan kritik halus terhadap cara pandang masyarakat yang sering meremehkan orang tua dengan sebutan "pikun", padahal ada keteguhan hati yang justru menjadi teladan.

Puisi ini bercerita tentang sosok Nenek Yamnun, seorang perempuan berusia sekitar delapan puluh tahun yang sedang menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanannya, ia sering lupa arah atau menanyakan hal-hal sederhana, namun di sisi lain ia tetap tekun beribadah, membaca Al-Qur’an, dan berzikir tanpa henti. Meski secara fisik tampak renta, Nenek Yamnun memiliki kekuatan rohani yang justru membuatnya tegar, bahkan lebih sehat dibanding jamaah lain yang terserang sakit.

Makna tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah ketekunan dan ketulusan dalam beribadah lebih berharga daripada kesempurnaan fisik atau kecerdasan daya ingat. Penyair ingin menunjukkan bahwa meskipun usia tua membawa keterbatasan, justru di balik itu terdapat cahaya keteguhan hati yang bisa menjadi teladan. Puisi ini juga menyiratkan pesan agar manusia tidak meremehkan orang tua, karena di balik kelemahannya tersimpan kekuatan rohani yang luar biasa.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini terasa hangat, teduh, dan penuh hormat, meskipun sesekali ada nada getir karena pandangan orang-orang yang menyebut "pikun". Penyair menghadirkan suasana haji yang melelahkan, namun tetap menyimpan kekhusyukan, ditambah dengan ketekunan nenek yang terus berzikir dan membaca Al-Qur’an.

Amanat / pesan yang disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah bahwa usia tua bukanlah alasan untuk berhenti beribadah atau kehilangan makna hidup. Justru ketekunan dan kesabaran dalam menjalankan ibadah, seperti yang dicontohkan Nenek Yamnun, menjadi pelajaran berharga bagi generasi muda. Pesannya jelas: jangan meremehkan, apalagi mencap rendah orang yang sudah lanjut usia, karena setiap orang memiliki jalan ketakwaannya sendiri.

Imaji

Puisi ini menghadirkan banyak imaji visual dan religius. Misalnya, imaji nenek yang pulang sendirian dengan bantuan petugas lalu lintas, imaji tangan yang selalu menggenggam tasbih, serta mata yang tetap menyala membaca Al-Qur’an tanpa kacamata. Semua gambaran itu menghadirkan sosok Nenek Yamnun yang sederhana namun penuh kekuatan batin.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Repetisi, terlihat dari pengulangan frasa “nenek Yamnun tak suka disebut pikun” yang menegaskan pesan utama.
  • Metafora, misalnya ketika digambarkan “matanya menyala tanpa kaca mata”, yang bukan hanya berarti mata sehat, tetapi juga mengandung makna semangat rohani yang tak pernah padam.
  • Hiperbola, pada bagian yang menggambarkan ketekunan zikir yang seolah tidak pernah berhenti, baik di mulut maupun di hati.
Melalui puisi "Nenek Yamnun", L.K. Ara berhasil menghadirkan potret sederhana yang sarat teladan. Sosok nenek tua yang dianggap "pikun" justru tampil sebagai simbol keteguhan iman, kesabaran, dan ketekunan dalam beribadah. Ia menunjukkan bahwa nilai seorang manusia tidak terletak pada daya ingat atau fisiknya semata, melainkan pada ketulusan hati dan keteguhan spiritualnya.

L.K. Ara
Puisi: Nenek Yamnun
Karya: L.K. Ara

Biodata L.K. Ara:
  • Nama lengkap L.K. Ara adalah Lesik Keti Ara.
  • L.K. Ara lahir di Kutelintang, Takengon, Aceh Tengah, 12 November 1937.
© Sepenuhnya. All rights reserved.