Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Nyanyian Para Babu (Karya Hartojo Andangdjaja)

Puisi "Nyanyian Para Babu" karya Hartojo Andangdjaja bercerita tentang kehidupan para babu yang diperlakukan seperti benda, tidak dilindungi oleh ...
Nyanyian Para Babu

Inilah nyanyian kami, suara hati kami
terjemahan kehidupan kami dalam bahasa esai puisi
kami ucapkan lewat penyair ini

Kami adalah sisa-sisa penghabisan dari zaman perbudakan
perkembangan kemudian dari budak belian
yang terdampar di abad ini dan dilupakan

Kami babu. Berjuta kami terberai di benua demi benua
dan samar-samar kami pun mendengar suara purba
yang berkata: "Tuhan bekerja. Dan segala yang ada
dilahirkan dari kegirangan raya. Kegirangan hidup, kegirangan kerja"
Maka kami pun bekerja, di mana juga kami berada
Kami bekerja. Tidak melacurkan diri dan tidak meminta-minta

Namun kamilah yang di abad ini bekerja tanpa lindungan
kami terluput dari naungan undang-undang perburuhan:
kami bekerja tanpa jam kerja yang ditetapkan

Kami bisa dipakai kapan saja
dan buat apa saja:
kami serbaguna

Kami benda di mata tuan dan nyonya:
keranjang-keranjang sampah lemparan segala perintah
tungku-tungku hitam tak pernah padam
kami hangus dibakar kerja siang dan malam

Kami babu. Di mana lampu lima watt bersinar tak terang
di sanalah bilik kami. Sebuah bilik di ujung belakang
dari rumah nyonya dan tuan. Sebuah bilik dengan satu ranjang
satu bantal. Sebuah bilik yang terbuka, begitu papa dan telanjang

Di sanalah kami tidur buat sepertiga malam
di sanalah kami kubur dalam tidur yang dalam
segala kepedihan kami yang tak pernah diakui
segala kerinduan kami yang tak pernah dimengerti

Dalam hidup kami tak satu pun kami punya
dalam hidup kami segalanya milik tuan dan nyonya
Mereka pun bisa masuki hidup kami hingga ke sudut-sudutnya
dan seperti bilik kami hidup kami telanjang terbuka

Bila malam di luar pagar datang bujang yang kami cinta
kami tak bisa bermesraan sedikit lama
karena kapan saja waktu dan tenaga kami bisa dipakai tuan dan nyonya
Dan demikian kami pun tak punya hak buat bercinta

Bila tuan dan nyonya dan selingkung keluarga dalam gembira
kami mesti pula tersenyum gembira
karena senyum gembira kami adalah buat tuan dan nyonya

Bila mereka lagi berkabung dalam duka
kami mesti pula melinangkan air mata
karena air mata kami adalah buat tuan dan nyonya

Maka habislah segala
dalam hidup kami. Tak satu pun tersisa:
waktu kami, tenaga kami
bahkan senyum dan air mata kami

Namun hari demi hari kami masih senantiasa setia bekerja
hari demi hari kami masih menanti dengan setia
pada keturunan kami yang ke berapa, akan datangnya suatu masa
di mana kerja adalah kegirangan dalam kehidupan raya
semacam girang yang mengalun dalam semesta
girang angin yang mengayun bunga-bunga
girang kembang yang memberikan wanginya
dan bukan paksa dan terima antara kita
dan bukan derita tak putus-putusnya
di mana air mata pun tak ada harga meratapinya

Sumber: Buku Puisi (1973)

Catatan:
Somewhere dalam Sadhana, R. Tagore.

Analisis Puisi:

Puisi "Nyanyian Para Babu" karya Hartojo Andangdjaja adalah salah satu karya yang sangat kuat dalam menyuarakan suara kelas pekerja domestik—para babu, yang sering terpinggirkan dan tidak dianggap dalam struktur sosial. Dengan gaya bahasa yang lugas namun sarat perasaan, puisi ini tidak hanya menggambarkan realitas pahit kehidupan babu, tetapi juga menyelipkan harapan akan hadirnya dunia yang lebih adil.

Tema

Tema utama puisi ini adalah penindasan sosial terhadap pekerja domestik (babu) dan kerinduan akan kebebasan serta penghargaan atas kerja. Tema ini menyentuh sisi kemanusiaan yang sering diabaikan, yaitu bagaimana kerja yang dilakukan dengan setia dan tulus sering tidak diiringi penghargaan yang layak.

Puisi ini bercerita tentang kehidupan para babu yang diperlakukan seperti benda, tidak dilindungi oleh undang-undang perburuhan, bekerja tanpa batas waktu, dan bahkan tidak memiliki ruang privat. Mereka harus selalu mengikuti perasaan tuan dan nyonya—tertawa bila mereka tertawa, menangis bila mereka berduka. Puisi ini juga menggambarkan betapa mereka kehilangan hak-hak paling dasar sebagai manusia, termasuk hak untuk mencintai dan berbahagia.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap sistem sosial dan ekonomi yang tidak adil, yang masih mewarisi jejak perbudakan. Para babu, meskipun zaman sudah berubah, tetap berada dalam posisi terpinggirkan, tanpa perlindungan hukum maupun penghargaan kemanusiaan. Namun, di balik penderitaan itu, penyair menegaskan adanya harapan akan masa depan—masa di mana kerja bukan lagi beban atau paksaan, melainkan kegirangan hidup yang selaras dengan semesta, seperti kutipan dari Rabindranath Tagore yang dijadikan semacam ilham dalam puisi ini.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini didominasi oleh kesedihan, kepedihan, dan kepasrahan, namun juga disertai harapan. Pada awal hingga pertengahan puisi, pembaca dibawa pada gambaran yang getir: bilik kecil yang sempit, kerja tanpa henti, kehilangan hak-hak pribadi. Tetapi menjelang akhir, suasana sedikit terangkat oleh kerinduan akan hadirnya suatu masa baru, di mana kerja bisa menjadi sumber kegembiraan, bukan penderitaan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah seruan untuk menghargai martabat pekerja domestik serta kritik terhadap ketidakadilan sosial. Hartojo Andangdjaja ingin mengingatkan bahwa babu bukanlah benda, melainkan manusia yang juga berhak memiliki waktu, kebahagiaan, cinta, dan kehidupan pribadi. Pesan lain yang disampaikan adalah harapan akan hadirnya masyarakat yang lebih adil, di mana kerja adalah bagian dari kegembiraan universal, bukan jerat penderitaan.

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji yang kuat dan menyentuh:
  • Imaji visual: “bilik kami. Sebuah bilik di ujung belakang … sebuah bilik dengan satu ranjang, satu bantal” menghadirkan gambaran ruang sempit dan miskin.
  • Imaji perasaan: “segala kepedihan kami yang tak pernah diakui” membangkitkan simpati dan empati mendalam.
  • Imaji gerak: “kami hangus dibakar kerja siang dan malam” menegaskan kerja tiada henti.
  • Imaji alam (pada akhir puisi): “girang angin yang mengayun bunga-bunga” menjadi simbol harapan akan dunia yang lebih selaras dan indah.

Majas

Beberapa majas yang hadir dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: “kami benda di mata tuan dan nyonya” yang menunjukkan dehumanisasi.
  • Personifikasi: “tungku-tungku hitam tak pernah padam” melambangkan kerja keras yang terus-menerus.
  • Repetisi: penggunaan berulang kata “kami” untuk menegaskan identitas kolektif para babu.
  • Hiperbola: “kami hangus dibakar kerja siang dan malam” menggambarkan penderitaan yang begitu berat.
Puisi "Nyanyian Para Babu" karya Hartojo Andangdjaja adalah suara lantang dari kelompok yang sering tak bersuara. Melalui puisi ini, penyair menghadirkan potret getir kehidupan para babu, sekaligus menyelipkan harapan akan datangnya suatu masa di mana kerja dipandang sebagai kegembiraan, bukan penderitaan. Dengan imaji yang kuat, suasana getir, serta pesan moral yang jelas, puisi ini tidak hanya relevan pada masanya, tetapi juga masih penting dibaca dalam konteks keadilan sosial masa kini.

Puisi Hartojo Andangdjaja
Puisi: Nyanyian Para Babu
Karya: Hartojo Andangdjaja

Biodata Hartojo Andangdjaja:
  • Edjaan Tempo Doeloe: Hartojo Andangdjaja.
  • Ejaan yang Disempurnakan: Hartoyo Andangjaya.
  • Hartojo Andangdjaja lahir pada tanggal 4 Juli 1930 di Solo, Jawa Tengah.
  • Hartojo Andangdjaja meninggal dunia pada tanggal 30 Agustus 1990 (pada umur 60 tahun) di Solo, Jawa Tengah.
  • Hartojo Andangdjaja adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.