Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Padang Terakhir (Karya D. Zawawi Imron)

Puisi "Padang Terakhir" karya D. Zawawi Imron bercerita tentang pergulatan batin seorang manusia dalam menghadapi penantian yang penuh kecemasan, ...
Padang Terakhir

Aduh beratnya menunggu dalam debaran!
Mata sunyi kedupan
Tak ada gagak terbang
berkabar tentang kejadian.

Penat kelabu merapuh tulang
Senja pun datang atas nama bulan
Subur sawah dan ladang
Di bawah langit perada emas
Ada gemuruh di kejauhan
adakah lagi kecemasan?

Perempuan-perempuan yang mencium pusar suami
Berita dari padang lalang
Mayang kembali akan diperah
Boleh merambat kacang-kacangan
berbunga kupu-kupu.

Dilepas cerita
Lompat demi lompat
di padang kejantanan
Mekar bunga di sanggul perempuan

Pangeran Wetan tertegun
Telaga bening di palung jiwa
Gua maha gua
Ditatapnya ujung tiang menjunjung bulan
angin perlahan nimbulkan kibaran-kibaran

Hai, benderaku!
Demi makna nyiur melambai
Demi arah duri-duri ujung tangisan!
Jangan sekali-kali engkau berkibar
menantang musuh!

Sumber: Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996)

Analisis Puisi:

Puisi "Padang Terakhir" karya D. Zawawi Imron adalah salah satu karya yang sarat dengan simbolisme, menghadirkan suasana mendalam tentang kegelisahan, perjuangan, serta perenungan manusia di hadapan sejarah, tanah air, dan kematian. Melalui larik-larik penuh imaji, penyair menggambarkan kondisi batin yang berkelindan dengan suasana sosial dan nasional, sehingga puisinya terasa pribadi sekaligus universal.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kegelisahan eksistensial dan refleksi perjuangan hidup. Ada nuansa spiritual, politik, dan nasionalisme yang berpadu, seakan penyair sedang merenungi makna “padang terakhir” sebagai ruang akhir kehidupan atau ruang pengabdian terakhir bagi manusia.

Puisi ini bercerita tentang pergulatan batin seorang manusia dalam menghadapi penantian yang penuh kecemasan, di tengah gambaran sosial dan perjuangan rakyat. Ada suara hati yang resah, keletihan menunggu sesuatu yang belum pasti, serta pertarungan antara harapan dan kecemasan. Penyair juga menyelipkan gambaran tentang perempuan, ladang, sawah, bendera, hingga musuh, yang semuanya berjalin dalam imajinasi perjuangan dan kehidupan berbangsa.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah hidup manusia tidak terlepas dari kegelisahan, perjuangan, dan pengorbanan. “Padang terakhir” bisa dimaknai sebagai medan kehidupan atau akhir perjuangan, tempat segala harapan, ketakutan, dan cita-cita manusia berpuncak. Ada pula pesan bahwa bendera, simbol nasionalisme, tidak boleh disalahgunakan hanya untuk menantang musuh tanpa makna, melainkan harus dijunjung tinggi demi pengabdian tulus pada bangsa.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini adalah muram, resah, sekaligus heroik. Ada kesunyian (“mata sunyi kedupan”), ada kecemasan (“adakah lagi kecemasan?”), tetapi juga ada semangat yang membara (“hai, benderaku!”). Perpaduan suasana itu menciptakan kesan batin yang penuh debar, menempatkan pembaca dalam perenungan yang serius.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang terkandung dalam puisi ini adalah bahwa perjuangan, cinta, dan pengabdian manusia tidak boleh dilepaskan dari nilai ketulusan dan kebijaksanaan. Jangan sampai simbol perjuangan seperti bendera hanya digunakan untuk menantang musuh tanpa makna yang jelas, melainkan harus berdiri demi harapan, cinta tanah air, dan kehidupan yang lebih bermartabat.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan emosional:
  • “Mata sunyi kedupan / Tak ada gagak terbang” → menghadirkan imaji kesepian dan pertanda buruk.
  • “Senja pun datang atas nama bulan / Subur sawah dan ladang” → imaji alam yang penuh makna simbolis tentang kesuburan dan siklus hidup.
  • “Perempuan-perempuan yang mencium pusar suami” → imaji emosional dan kultural tentang pengabdian serta cinta.
  • “Hai, benderaku! Demi makna nyiur melambai” → imaji nasionalisme yang kuat, bendera sebagai lambang perjuangan.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi – “Senja pun datang atas nama bulan” memberi sifat manusiawi pada fenomena alam.
  • Metafora – “Padang terakhir” sebagai simbol akhir kehidupan atau medan perjuangan.
  • Hiperbola – “Gua maha gua” memperkuat kedalaman batin yang tak terukur.
  • Simbolisme – bendera, perempuan, sawah, dan ladang digunakan sebagai lambang perjuangan, kesuburan, dan nasionalisme.
Puisi "Padang Terakhir" karya D. Zawawi Imron adalah karya puitis yang sarat makna. Dengan memadukan tema kegelisahan, perjuangan, dan nasionalisme, penyair menghadirkan puisi yang kaya imaji dan penuh refleksi. Melalui larik-lariknya, pembaca diajak merenungkan arti perjuangan manusia, makna pengabdian, dan kesadaran bahwa simbol-simbol kehidupan, termasuk bendera, harus dijaga nilai sucinya. Inilah puisi yang tidak hanya indah, tetapi juga memberikan kedalaman filosofis dan pesan moral yang kuat.

Puisi D. Zawawi Imron
Puisi: Padang Terakhir
Karya: D. Zawawi Imron

Biodata D. Zawawi Imron:
  • D. Zawawi Imron lahir pada tanggal 1 Januari 1945 di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.