Analisis Puisi:
Diah Hadaning merupakan salah satu penyair Indonesia yang konsisten menyoroti persoalan sosial, budaya, dan moral masyarakat. Dalam puisinya “Penalaran”, yang terbagi menjadi dua bagian, ia menghadirkan kritik tajam terhadap arus peradaban modern yang membawa dampak negatif bagi generasi muda. Lewat larik-larik yang lugas sekaligus metaforis, penyair menggambarkan bagaimana anak-anak kehilangan arah karena terjebak dalam dunia semu yang ditawarkan media dan peradaban materialistik.
Tema
Tema utama puisi ini adalah krisis moral dan hilangnya jati diri generasi akibat pengaruh peradaban modern. Penyair menyoroti keterasingan manusia, terutama anak-anak, dari akar budaya, agama, dan nilai luhur karena tergerus arus teknologi, iklan, dan gaya hidup instan.
Puisi ini bercerita tentang anak-anak yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan tercemar, baik secara fisik maupun moral. Mereka dibesarkan oleh mimpi-mimpi palsu dari layar kaca, hingga kehilangan wajah ibunya sendiri, simbol dari hilangnya kehangatan, kasih sayang, dan nilai asli kehidupan.
Bagian kedua memperlihatkan suara doa yang meredup, jiwa yang rapuh, dan manusia yang lebih memilih gelap daripada terang. Puisi ini seolah menjadi jeritan nurani yang menggambarkan manusia modern sebagai makhluk yang haus, saling memangsa, dan terperangkap dalam pusaran dosa.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa kemajuan peradaban tidak selalu membawa kebaikan, tetapi bisa mencemari jiwa manusia, terutama generasi muda. Anak-anak yang seharusnya menjadi mutiara justru berubah menjadi rapuh karena terjebak dalam budaya konsumerisme, hiburan semu, dan kehilangan pegangan spiritual.
Suasana dalam puisi
Suasana yang tergambar dalam puisi ini adalah muram, getir, dan penuh keprihatinan. Penyair menghadirkan rasa cemas, marah, sekaligus sedih melihat rapuhnya moral dan hilangnya arah kehidupan masyarakat.
Amanat / Pesan yang disampaikan
Amanat dari puisi ini adalah bahwa manusia harus kembali kepada nilai-nilai luhur, iman, dan kesadaran spiritual agar tidak terseret dalam arus peradaban yang menyesatkan. Penyair seolah mengingatkan pembaca agar tidak kehilangan identitas, dan tetap menjaga kejernihan hati di tengah gempuran dunia modern.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat, antara lain:
- Imaji visual: “anak-anak lahir dari rahim tercemar”, “warna-warna berkelebatan memenjara penalaran” – menggambarkan kerusakan generasi akibat dunia semu.
- Imaji pendengaran: “suara pelor berdesingan”, “caci maki beterbangan” – menghadirkan suasana bising dan penuh kekerasan.
- Imaji perasaan: “betapa rapuhnya hati anak-anak-Mu” – menimbulkan rasa iba dan keprihatinan mendalam.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Metafora – “anak-anak lahir dari rahim tercemar” sebagai lambang generasi yang rusak karena lingkungan.
- Personifikasi – “warna-warna berkelebatan memenjara penalaran” memberi sifat hidup pada warna yang menawan namun menyesatkan pikiran.
- Simbolik – “doa-doa tak seharum zaman moyangku” melambangkan hilangnya kekuatan spiritual masyarakat modern.
- Repetisi – pengulangan “kami kenapa pilih…” menekankan kebingungan sekaligus kritik terhadap pilihan hidup manusia.
Puisi “Penalaran” karya Diah Hadaning adalah kritik sosial sekaligus renungan spiritual yang menggambarkan rapuhnya generasi muda akibat pengaruh peradaban modern. Dengan tema krisis moral dan spiritual, puisi ini menghadirkan suasana getir, penuh imaji yang kuat, serta majas yang mempertegas pesan. Melalui puisinya, penyair mengingatkan kita bahwa modernitas tanpa arah spiritual dan nilai kemanusiaan akan menjerumuskan manusia pada kehampaan.

Puisi: Penalaran
Karya: Diah Hadaning