Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Penalaran (Karya Diah Hadaning)

Puisi “Penalaran” karya Diah Hadaning bercerita tentang anak-anak yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan tercemar, baik secara fisik maupun moral.
Penalaran (1)

Anak-anak lahir dari rahim tercemar
dibesarkan mimpi-mimpi dalam layar kaca
tumbuh jadi benalu, parasit dan me-angsa
Anak-anak lupa wajah ibu
digantikan wajah-wajah iklan siang malam
seni hidup telah berganti bendera
berkibaran di angan-angan
warna-warna berkelebatan memenjara penalaran.

Malam-malam dijajakan dalam paket
dan ruang-ruang dalam rumah penuh suara-suara
deru mobil berkejaran
suara pelor berdesingan
dan pekik perempuan
lalu caci maki beterbangan
melompat dari tabung-tabung kaca
melekat di dahi di mata di mulut
syair-syair pujian terhela kemarau panjang.

Penalaran (2)

Bapa, betapa rapuhnya hati anak-anak-Mu
peradaban baru mengubah mutiara dalam jiwa
memasir dari malam ke malam
doa-doa tak seharum zaman moyangku
hidup menjadi sehampar laut
dan kami hiu saling buru.

Kami kenapa pilih gelap sementara ada terang
kami kenapa pilih serat sementara ada merjan
kami pilih murtad sementara ada iman
kami pilih lupa sementara ada ingatan

Bapa, betapa rapuhnya hati anak-anakMu
peradaban baru mengubah mutiara dalam jiwa
di mana-mana kulihat pasir semula padang impian
dan kami terhisap pusaran angin
sementara belum selesai pertobatan.

Bogor, 1994

Analisis Puisi:

Diah Hadaning merupakan salah satu penyair Indonesia yang konsisten menyoroti persoalan sosial, budaya, dan moral masyarakat. Dalam puisinya “Penalaran”, yang terbagi menjadi dua bagian, ia menghadirkan kritik tajam terhadap arus peradaban modern yang membawa dampak negatif bagi generasi muda. Lewat larik-larik yang lugas sekaligus metaforis, penyair menggambarkan bagaimana anak-anak kehilangan arah karena terjebak dalam dunia semu yang ditawarkan media dan peradaban materialistik.

Tema

Tema utama puisi ini adalah krisis moral dan hilangnya jati diri generasi akibat pengaruh peradaban modern. Penyair menyoroti keterasingan manusia, terutama anak-anak, dari akar budaya, agama, dan nilai luhur karena tergerus arus teknologi, iklan, dan gaya hidup instan.

Puisi ini bercerita tentang anak-anak yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan tercemar, baik secara fisik maupun moral. Mereka dibesarkan oleh mimpi-mimpi palsu dari layar kaca, hingga kehilangan wajah ibunya sendiri, simbol dari hilangnya kehangatan, kasih sayang, dan nilai asli kehidupan.
Bagian kedua memperlihatkan suara doa yang meredup, jiwa yang rapuh, dan manusia yang lebih memilih gelap daripada terang. Puisi ini seolah menjadi jeritan nurani yang menggambarkan manusia modern sebagai makhluk yang haus, saling memangsa, dan terperangkap dalam pusaran dosa.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa kemajuan peradaban tidak selalu membawa kebaikan, tetapi bisa mencemari jiwa manusia, terutama generasi muda. Anak-anak yang seharusnya menjadi mutiara justru berubah menjadi rapuh karena terjebak dalam budaya konsumerisme, hiburan semu, dan kehilangan pegangan spiritual.

Suasana dalam puisi

Suasana yang tergambar dalam puisi ini adalah muram, getir, dan penuh keprihatinan. Penyair menghadirkan rasa cemas, marah, sekaligus sedih melihat rapuhnya moral dan hilangnya arah kehidupan masyarakat.

Amanat / Pesan yang disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah bahwa manusia harus kembali kepada nilai-nilai luhur, iman, dan kesadaran spiritual agar tidak terseret dalam arus peradaban yang menyesatkan. Penyair seolah mengingatkan pembaca agar tidak kehilangan identitas, dan tetap menjaga kejernihan hati di tengah gempuran dunia modern.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat, antara lain:
  • Imaji visual: “anak-anak lahir dari rahim tercemar”, “warna-warna berkelebatan memenjara penalaran” – menggambarkan kerusakan generasi akibat dunia semu.
  • Imaji pendengaran: “suara pelor berdesingan”, “caci maki beterbangan” – menghadirkan suasana bising dan penuh kekerasan.
  • Imaji perasaan: “betapa rapuhnya hati anak-anak-Mu” – menimbulkan rasa iba dan keprihatinan mendalam.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – “anak-anak lahir dari rahim tercemar” sebagai lambang generasi yang rusak karena lingkungan.
  • Personifikasi – “warna-warna berkelebatan memenjara penalaran” memberi sifat hidup pada warna yang menawan namun menyesatkan pikiran.
  • Simbolik – “doa-doa tak seharum zaman moyangku” melambangkan hilangnya kekuatan spiritual masyarakat modern.
  • Repetisi – pengulangan “kami kenapa pilih…” menekankan kebingungan sekaligus kritik terhadap pilihan hidup manusia.
Puisi “Penalaran” karya Diah Hadaning adalah kritik sosial sekaligus renungan spiritual yang menggambarkan rapuhnya generasi muda akibat pengaruh peradaban modern. Dengan tema krisis moral dan spiritual, puisi ini menghadirkan suasana getir, penuh imaji yang kuat, serta majas yang mempertegas pesan. Melalui puisinya, penyair mengingatkan kita bahwa modernitas tanpa arah spiritual dan nilai kemanusiaan akan menjerumuskan manusia pada kehampaan.

Puisi: Penalaran
Puisi: Penalaran
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.