Analisis Puisi:
Puisi "Perempuan di Persimpangan Abad" karya Asep S. Sambodja adalah salah satu karya yang lahir dari kesadaran sejarah atas tragedi 1965 di Indonesia. Lewat suara-suara perempuan korban, penyair menghadirkan luka kolektif, trauma, dan ketidakadilan yang dialami oleh mereka yang dituduh terlibat peristiwa G30S. Puisi ini bukan hanya karya sastra, tetapi juga sebuah kesaksian, sebuah catatan alternatif terhadap sejarah resmi yang seringkali menyingkirkan “orang-orang kalah”.
Tema
Tema utama puisi ini adalah tragedi kemanusiaan 1965, khususnya penderitaan perempuan yang menjadi korban kekerasan politik, stigma, dan kekerasan seksual. Puisi ini menyoroti bagaimana tubuh perempuan dijadikan alat untuk membungkam, menindas, dan menghancurkan harkat manusia.
Puisi ini bercerita tentang suara-suara perempuan korban tragedi 1965 yang dituduh terlibat dalam peristiwa G30S. Mereka mengalami penangkapan, penyiksaan, pemerkosaan, hingga penghinaan yang tak manusiawi. Ada Yanti, seorang siswi SMP berusia 14 tahun yang dipaksa mengaku melakukan kekejaman yang tidak pernah ia lakukan. Ada Sudarsih, mahasiswa yang disiksa di penjara dan mengalami pemerkosaan berulang. Ada Darmi, seorang penari Bali yang kehilangan suami, keluarga, dan martabatnya, dipaksa menari telanjang di depan serdadu. Suara-suara ini berpadu menjadi satu gambaran tentang penderitaan perempuan di “persimpangan abad” sejarah Indonesia.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap sejarah resmi yang tidak adil dan sering menutup suara korban. Asep S. Sambodja ingin menunjukkan bahwa sejarah yang kita baca di buku pelajaran hanyalah versi penguasa, sementara kisah nyata korban justru terkubur dalam diam. Ada juga makna kemanusiaan universal: tubuh manusia bukan alat politik, dan kekuasaan yang menindas dengan cara menginjak martabat perempuan adalah bentuk kebiadaban yang harus diingat agar tidak terulang.
Suasana dalam puisi
Suasana puisi ini kelam, getir, penuh penderitaan, dan sarat dengan nuansa tragis. Pembaca dibawa masuk pada atmosfer interogasi, pemerkosaan, penghinaan, dan rasa kehilangan yang dialami para tokoh. Ada suasana mencekam dari situasi politik yang represif, serta keputusasaan yang mendalam karena kebenaran tidak pernah mendapat tempat dalam sejarah resmi.
Amanat / Pesan yang disampaikan
Pesan yang dapat ditarik dari puisi ini adalah:
- Sejarah harus ditulis dengan adil, bukan hanya dari sudut pandang penguasa.
- Suara korban perlu diakui dan dihargai, sebab merekalah yang menanggung beban paling berat.
- Kekerasan terhadap perempuan adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak boleh dibiarkan atau dilupakan.
- Ada ajakan untuk mengingat tragedi 1965 sebagai luka sejarah, agar masyarakat belajar dan tidak mengulang kekejaman serupa di masa depan.
Imaji
Puisi ini sangat kuat menghadirkan imaji visual dan imaji perasaan:
- Imaji visual: tubuh perempuan ditelanjangi, diikat, disiksa, dipaksa menari telanjang, rumah terbakar, dan tubuh yang dipenuhi luka.
- Imaji auditif: suara interogasi, teriakan penyiksaan, mitos media massa, dan gamelan Bali yang berubah menjadi simbol trauma.
- Imaji perasaan: rasa takut, sakit, jijik, putus asa, cinta yang hancur, hingga perlawanan batin yang terpaksa dilakukan dengan cara “mematikan indera”.
Majas
Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
- Repetisi: pengulangan frasa seperti “badai itu datang”, “orang-orang kalah”, atau “tidak perlu!” yang menegaskan tekanan dan kepedihan.
- Metafora: tubuh perempuan dijadikan metafora penderitaan bangsa, juga simbol betapa kuasa dapat memperlakukan manusia tanpa nilai.
- Hiperbola: ekspresi penderitaan yang ekstrem, misalnya jeritan panjang “yaaaaaaaaaaaa!”, yang menggambarkan pemaksaan pengakuan.
- Ironi: perempuan yang dituduh melakukan kebiadaban justru menjadi korban kebiadaban sesungguhnya.
Puisi "Perempuan di Persimpangan Abad" karya Asep S. Sambodja adalah salah satu karya penting yang membuka kembali lembaran kelam sejarah Indonesia. Melalui suara-suara perempuan korban, penyair menolak lupa, menolak bungkam, dan menolak sejarah tunggal. Puisi ini menjadi peringatan bahwa kemanusiaan harus dijunjung tinggi di atas politik dan ideologi.
Biodata Asep S. Sambodja:
- Asep S. Sambodja lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 15 September 1967.
- Karya-karyanya banyak dimuat di media massa, seperti Horison, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Jurnal Puisi dan lain sebagainya.
- Asep S. Sambodja meninggal dunia di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 9 Desember 2010 (pada usia 43 tahun).
