Analisis Puisi:
Puisi "Prosa-Prosa yang Hendak Dilupakan" menampilkan narator yang menengok kembali fragmen-fragmen perjalanan emosional—pertemuan di kapal, malam yang gelap, percakapan singkat, dan perpisahan—serta menimbang antara kenangan, penyesalan, dan penerimaan. Gaya bahasa naratif, introspektif, dan agak teatrikal membuat puisi ini terasa seperti serangkaian catatan batin yang rapuh namun jujur.
Tema
Tema pokok puisi ini adalah kenangan asmara yang ambigu: antara rindu dan keikhlasan melepaskan. Di lapisan lebih luas muncul tema-tema pendukung tentang kesunyian eksistensial, ketidaktentuan arah hidup, dan upaya memberi bentuk (menulis) terhadap pengalaman yang rawan hilang.
Secara naratif, puisi ini bercerita tentang dua orang yang pernah bertemu di sebuah kapal—peristiwa samar yang menyimpan intensitas emosional. Mereka berbagi malam, cerita, dan penghayatan yang membuat narator merasa kehilangan arah ketika kapal menjauh. Meski ada kemungkinan cinta, hubungan itu tak berkembang menjadi kepemilikan atau janji; perpisahan terjadi disertai penimbang-nimbang: apakah perasaan itu hanya kenangan sentimental atau sesuatu yang lebih substantif. Narator memilih menulis sebagai cara mengikat kenangan itu, sembari menerima bahwa jatuh mungkin tak terelakkan bila diabaikan.
Makna Tersirat
Beberapa makna tersirat yang muncul:
- Penulisan sebagai ritual penyelamatan: menulis diposisikan sebagai cara memberi bentuk dan menahan lupa. “Prosa-prosa yang hendak dilupakan” menjadi usaha sadar untuk menampung apa yang hampir lenyap.
- Kematangan emosional lewat kelegaan melepaskan: narator memilih tidak memaksa pasangan untuk tinggal, bukan karena ketegasan, melainkan karena takut kesepian mengikat keduanya. Keikhlasan menjadi bentuk kematangan—meski pahit.
- Ambivalensi antara doa dan dosa: pertemuan intens diselingi pengakuan dosa—perasaan yang tak tuntas menjadi ruang moral dan spiritual bagi narator.
Suasana dalam puisi
Suasana bergeser antara hening yang berat dan gairah kecil. Pada bagian kapal: gelap, remang, simbol ketidaktahuan dan kerinduan; saat bercerita: tergetar, harap; saat perpisahan: melankolis dan teduh. Secara keseluruhan suasana adalah intim, liris, dan agak muram—penuh penimbangan batin.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama yang bisa ditangkap: menerima bahwa tidak semua pertemuan mesti berbuah kepemilikan; menulis dan mengingat adalah cara bermartabat untuk merawat yang hampir hilang. Puisi juga mengingatkan bahwa menahan seseorang demi menolak sepi bukan selalu tindakan berani; terkadang membebaskan adalah bentuk cinta yang lebih tulus.
Imaji
Iswadi Pratama mengandalkan imaji-imaji yang konkret dan sensori untuk memunculkan suasana:
- Kapal, palka, pluit larat → ruang perjalanan dan ketidakpastian.
- Gelap yang seperti lubang maha besar → kesepian yang menganga, sekaligus ruang tempat bintang bergetar.
- Setip kulit jengat yang tersayat, anggur → citra sensorial untuk menggambarkan kenikmatan yang berbahaya atau menajamkan perasaan.
- Sore tergesa, beranda, lapangan desa → adegan-adegan keseharian yang memberi bobot realis pada hubungan.
Imaji-imaji ini bekerja sebagai jembatan antara pengalaman konkret dan intensitas batin.
Majas
Beberapa majas yang menonjol:
- Metafora: “gelap yang seperti lubang maha besar” — gelap bukan sekadar ketiadaan cahaya, tetapi ruang eksistensial.
- Personifikasi: perasaan dan suara diberi sifat yang aktif (mis. suara-suara yang menggemakan rahasia).
- Alegori / simbolisme: kapal mewakili tahap transit dalam hidup; penulisan/prosa sebagai wadah memori.
- Hiperbola/ironi halus: penggambaran hasrat dan doa yang tumpang tindih memberi kesan dramatis sekaligus reflektif.
Puisi "Prosa-Prosa yang Hendak Dilupakan" adalah puisi yang merawat ambiguitas: antara kenangan yang ingin diabadikan dan kenyataan bahwa beberapa pertemuan memang tak ditakdirkan untuk bertahan. Lewat bahasa yang puitis namun naratif, Iswadi Pratama menampilkan tindakan menulis sebagai etika peringatan—cara agar bukan hanya “mengingat” tetapi juga memberi arti pada yang hampir terlupakan. Puisi ini mengajak pembaca merenung: kapan kita harus mempertahankan, dan kapan melegakan adalah bentuk cinta yang paling dewasa.
Karya: Iswadi Pratama
Biodata Iswadi Pratama:
- Iswadi Pratama lahir pada tanggal 8 April 1971 di Tanjungkarang, Bandar Lampung, Lampung, Indonesia.
