Analisis Puisi:
Puisi “Selamat Tinggal” karya A. Muttaqin adalah sebuah karya yang padat simbol, provokatif, sekaligus penuh satir. Melalui metafora tubuh, penyair menghadirkan percampuran antara sensualitas, kenangan remaja, kritik terhadap cinta semu, dan sindiran sosial. Larik-lariknya menampilkan gaya bahasa yang berani, tak jarang mengejutkan, tetapi justru di situlah kekuatannya: menguliti kepalsuan dan kegelisahan manusia.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perpisahan dengan masa lalu yang penuh gairah sekaligus penuh kepalsuan. Puisi ini juga menyinggung tema cinta yang rapuh, nafsu, dan kritik terhadap pengidolaan palsu.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh liris yang merefleksikan hubungan intim dan sensual, lalu menyadari bahwa cinta dan kenikmatan yang dijalani hanyalah semu. Tokoh aku dalam puisi ini mencoba melepaskan diri dari “kulit-kulit remaja” dan “taring” masa lalunya, seolah ingin berubah, namun tetap berhadapan dengan sosok yang dipuja oleh banyak orang. Sosok itu digambarkan seakan dewi, tetapi sebenarnya hanya berhala, sebuah kepalsuan yang disembah semu oleh banyak orang.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap cinta yang dilandasi nafsu dan kepalsuan. Penyair ingin menunjukkan bahwa banyak relasi atau pengidolaan hanyalah ilusi: orang-orang tampak menggandrungi, padahal sejatinya mereka hanya berpura-pura. Dengan gaya satir, penyair juga menyindir budaya populer dan fenomena sosial di mana figur tertentu diagungkan, meski sesungguhnya hanya dianggap pelarian.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini adalah liar, getir, dan satir. Ada perpaduan antara sensualitas, kemarahan, sekaligus ejekan terhadap kepalsuan yang ada di sekitar kehidupan manusia.
Amanat / Pesan yang disampaikan
Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah bahwa cinta, nafsu, dan pengidolaan palsu hanyalah permainan sementara. Manusia sebaiknya tidak terjebak dalam kepalsuan dan ilusi semu, melainkan mencari makna yang lebih jujur dan mendalam. Selain itu, puisi ini juga seolah menegaskan bahwa perpisahan dengan kepalsuan adalah langkah menuju kematangan.
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji kuat, terutama yang bersifat sensual dan satir:
- Imaji visual: “susumu terbuka seperti setengah kubah”, “bocah-bocah gundul itu mendengung dan merubungmu”.
- Imaji rasa dan peraba: “kujilat latah seperti mencecap cinta pelupa”.
- Imaji suasana: “seperti semut-semut geramang yang mabok kepayang” menghadirkan gambaran kerumunan yang dikuasai nafsu buta.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
- Metafora – tubuh, sisik, taring, dan tanduk menjadi simbol dari nafsu, kepalsuan, dan topeng manusia.
- Personifikasi – tubuh digambarkan seolah-olah menjadi dewi atau berhala yang dipuja.
- Simile (perbandingan langsung) – “susumu terbuka seperti setengah kubah”, “seperti juga diriku”, “seperti semut-semut geramang”.
- Satir – kritik sosial yang dibungkus dengan bahasa sensual, menyoroti kepalsuan cinta dan pengidolaan.
Puisi “Selamat Tinggal” karya A. Muttaqin adalah refleksi getir tentang cinta, nafsu, dan perpisahan dengan kepalsuan. Meski menggunakan simbol tubuh dan sensualitas yang berani, penyair tidak semata menghadirkan erotisme, tetapi justru menggunakannya untuk menguliti ilusi dan kepalsuan cinta. Puisi ini menjadi kritik tajam terhadap pengidolaan palsu dan sekaligus ajakan untuk beranjak dari masa lalu menuju kejujuran hidup.
Puisi: Selamat Tinggal
Karya: A. Muttaqin
Karya: A. Muttaqin
Biodata A. Muttaqin:
- A. Muttaqin lahir pada tanggal 11 Maret 1983 di Gresik, Jawa Timur.