Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Selamat Tinggal (Karya A. Muttaqin)

Puisi “Selamat Tinggal” karya A. Muttaqin bercerita tentang seorang tokoh liris yang merefleksikan hubungan intim dan sensual, lalu menyadari bahwa ..
Selamat Tinggal

Kuletakkan kepalaku
sejajar dua dengkulmu

Kau mengangkangi wajahku seperti penyanyi dangdut
aku menyesap semua getahmu serupa babi penurut

Susumu terbuka seperti setengah kubah
kujilat latah seperti mencecap cinta pelupa

Tidak. Tidak. Cium dan cinta
telah kulepas bersama kulit-kulit remajaku

Kulepas pula sisikku, culaku, ekorku dan taringku
agar aku lekas mengelupas kulup upasmu, sayangku

Tapi kau memasang sisikmu, susukmu juga tiga tandukmu
bocah-bocah gundul itu pun mendengung dan merubungmu

Tidak. Tidak. Mereka tak benar menggandrungimu, sayangku
bocah-bocah semprul itu, seperti juga diriku

Adalah begejil manis, begejil lamis
mereka tak gampang kepincut getah iblis

Sebab, seperti aku, dari cangkang keras mereka menetas
mereka lebih mencintai tikus, curut dan cuwut, sebenarnya

Dan tentu berpura-pura memujamu sekadarnya, kau
yang kadung mengangkang bagai dewi balak tujuh itu

Alamak, kenapa kau bayangkan diri bagai berhala begitu?
sedang mereka telah menyaru sebagai tuhan-tuhan tengil

Seperti semut-semut geramang yang mabok kepayang
dan bergandengan meninggalkan ciut lubang.

2015

Analisis Puisi:

Puisi “Selamat Tinggal” karya A. Muttaqin adalah sebuah karya yang padat simbol, provokatif, sekaligus penuh satir. Melalui metafora tubuh, penyair menghadirkan percampuran antara sensualitas, kenangan remaja, kritik terhadap cinta semu, dan sindiran sosial. Larik-lariknya menampilkan gaya bahasa yang berani, tak jarang mengejutkan, tetapi justru di situlah kekuatannya: menguliti kepalsuan dan kegelisahan manusia.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perpisahan dengan masa lalu yang penuh gairah sekaligus penuh kepalsuan. Puisi ini juga menyinggung tema cinta yang rapuh, nafsu, dan kritik terhadap pengidolaan palsu.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh liris yang merefleksikan hubungan intim dan sensual, lalu menyadari bahwa cinta dan kenikmatan yang dijalani hanyalah semu. Tokoh aku dalam puisi ini mencoba melepaskan diri dari “kulit-kulit remaja” dan “taring” masa lalunya, seolah ingin berubah, namun tetap berhadapan dengan sosok yang dipuja oleh banyak orang. Sosok itu digambarkan seakan dewi, tetapi sebenarnya hanya berhala, sebuah kepalsuan yang disembah semu oleh banyak orang.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap cinta yang dilandasi nafsu dan kepalsuan. Penyair ingin menunjukkan bahwa banyak relasi atau pengidolaan hanyalah ilusi: orang-orang tampak menggandrungi, padahal sejatinya mereka hanya berpura-pura. Dengan gaya satir, penyair juga menyindir budaya populer dan fenomena sosial di mana figur tertentu diagungkan, meski sesungguhnya hanya dianggap pelarian.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini adalah liar, getir, dan satir. Ada perpaduan antara sensualitas, kemarahan, sekaligus ejekan terhadap kepalsuan yang ada di sekitar kehidupan manusia.

Amanat / Pesan yang disampaikan

Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah bahwa cinta, nafsu, dan pengidolaan palsu hanyalah permainan sementara. Manusia sebaiknya tidak terjebak dalam kepalsuan dan ilusi semu, melainkan mencari makna yang lebih jujur dan mendalam. Selain itu, puisi ini juga seolah menegaskan bahwa perpisahan dengan kepalsuan adalah langkah menuju kematangan.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji kuat, terutama yang bersifat sensual dan satir:
  • Imaji visual: “susumu terbuka seperti setengah kubah”, “bocah-bocah gundul itu mendengung dan merubungmu”.
  • Imaji rasa dan peraba: “kujilat latah seperti mencecap cinta pelupa”.
  • Imaji suasana: “seperti semut-semut geramang yang mabok kepayang” menghadirkan gambaran kerumunan yang dikuasai nafsu buta.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – tubuh, sisik, taring, dan tanduk menjadi simbol dari nafsu, kepalsuan, dan topeng manusia.
  • Personifikasi – tubuh digambarkan seolah-olah menjadi dewi atau berhala yang dipuja.
  • Simile (perbandingan langsung) – “susumu terbuka seperti setengah kubah”, “seperti juga diriku”, “seperti semut-semut geramang”.
  • Satir – kritik sosial yang dibungkus dengan bahasa sensual, menyoroti kepalsuan cinta dan pengidolaan.
Puisi “Selamat Tinggal” karya A. Muttaqin adalah refleksi getir tentang cinta, nafsu, dan perpisahan dengan kepalsuan. Meski menggunakan simbol tubuh dan sensualitas yang berani, penyair tidak semata menghadirkan erotisme, tetapi justru menggunakannya untuk menguliti ilusi dan kepalsuan cinta. Puisi ini menjadi kritik tajam terhadap pengidolaan palsu dan sekaligus ajakan untuk beranjak dari masa lalu menuju kejujuran hidup.

A. Muttaqin
Puisi: Selamat Tinggal
Karya: A. Muttaqin

Biodata A. Muttaqin:
  • A. Muttaqin lahir pada tanggal 11 Maret 1983 di Gresik, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.