Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Semadi di Berlin (Karya Putu Oka Sukanta)

Puisi "Semadi di Berlin" karya Putu Oka Sukanta bercerita tentang perjalanan batin seorang penyair yang menjadikan semadi sebagai sarana untuk ...
Semadi di Berlin (1)

Aku datang compang-camping sarat kegelisahan
dan rindu harkat manusia yang hilang
langkah melayang-layang
tersengal nafas busuknya nafsu pengucilan.

Aku datang mencari cerobong
seperti asap
atau selokan seperti mata air merayap riap
atau pangkuan seperti kasih sayang
atau kawah tempat roh telentang
atau ruang langit kosong bisu menerawang.

Sehingga aku jadi sendiri
masuk dalam sukma
imajinasi tanpa bui
di tengah kebisingan kunyah mengunyah
aku menyepi
bahagia dalam sendiri
jiwa bersama sunyi menghentak-hentakkan gelisah
sesaat untuk memulihkan jelajah.

Semadi di Berlin (2)

Menjauh, mencari kelengangan
membuat batas dan jarak antar perjalanan
mencintaimu di dalam perpisahan
engkau: alunan
kecamuk, kebangkitan
butir nasi
desah nafas

Bungkah jiwa
tulang belulang
arus darah
dunia
engkau: cinta.

Menguning rontok daun musim gugur
langkah terkesiap di depan Brandenbur Tor.

Semadi di Berlin (3)

(Siapa orang tertindas itu?)
aku terperangah tapi mulut terkatup
mata tertuju pada bintang di dahi
berkedip-kedip bisu
kupejamkan mata: berlari-lari dari jauh serigala
menabrak gundukan yang tertindas itu
dan dikunyahnya, kerakusan telah menelannya.

(Mana sisa orang tertindas itu?)

Aku pun ikut menguap

Bulu-bulu salju
kepergok matahari

Bocah-bocah membola salju
dilemparkannya ke kepala serdadu
wayang golek bermain di atas tembok Berlin
dalangnya mabuk heroin.

Khusuk semadiku
hidup imajinasiku.

Semadi di Berlin (4)

Aku bersemadi dalam semadiku puisi
aku bercakap dalam cakapku gelombang demonstrasi
aku menangis dalam tangisku lapar Ethiopia
dan geliatku geliat bangkit saudara hitam di Afrika Selatan.

Sumber: Perjalanan Penyair (1999)

Analisis Puisi:

Puisi "Semadi di Berlin" karya Putu Oka Sukanta terbagi dalam beberapa bagian, masing-masing menggambarkan pengalaman batin, renungan, sekaligus keterhubungan antara pribadi dengan dunia yang penuh luka sosial dan sejarah. Puisi ini lahir dari kegelisahan seorang penyair yang hidup dalam situasi keterasingan, namun tetap mencari makna kemanusiaan di tengah peradaban global.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian jati diri dan harkat kemanusiaan di tengah keterasingan dan penderitaan dunia. Penyair menggunakan semadi (meditasi) sebagai simbol perenungan diri, sembari menyoroti penderitaan manusia akibat penindasan, perang, kemiskinan, hingga diskriminasi.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan batin penyair yang berada di Berlin, sebuah kota dengan sejarah panjang perpecahan, penindasan, dan perjuangan kebebasan. Dari kedatangannya yang “compang-camping sarat kegelisahan” hingga merenungi tragedi dunia (Gaza, Afrika Selatan, Ethiopia, dan penderitaan kaum tertindas), penyair menghadirkan refleksi bahwa semadi tidak hanya soal keheningan, melainkan juga cara memahami dan merasakan derita kemanusiaan universal.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa di manapun manusia berada, ia membawa serta luka sejarah dan tanggung jawab moral terhadap penderitaan sesama. Berlin dijadikan simbol dunia modern yang bising namun menyimpan bekas luka kolonialisme, peperangan, dan penindasan. Dengan semadi, penyair mencoba memulihkan diri sekaligus menghubungkan batinnya dengan penderitaan global, menunjukkan bahwa keterasingan bisa menjadi ruang untuk menyadari kembali nilai cinta, kebebasan, dan solidaritas.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini berlapis:
  • Gelisah dan muram saat menggambarkan keterasingan dan penindasan.
  • Kontemplatif ketika penyair masuk dalam perenungan (semadi).
  • Heroik dan penuh empati ketika menyinggung kebangkitan kaum tertindas di berbagai belahan dunia.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama puisi ini adalah bahwa manusia harus tetap menjaga harkat kemanusiaannya meski hidup dalam keterasingan, penindasan, atau perpisahan. Semadi bukanlah pelarian semata, melainkan jalan untuk menghubungkan diri dengan penderitaan dan perjuangan orang lain. Penyair seolah mengajak kita untuk menyalakan kesadaran, membangun solidaritas, dan tidak melupakan luka sejarah.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat dan simbolik:
  • Imaji visual: “Menguning rontok daun musim gugur”, “Bocah-bocah membola salju dilemparkannya ke kepala serdadu”, “wayang golek bermain di atas tembok Berlin”.
  • Imaji perasaan: kegelisahan, rindu harkat manusia, kesepian, hingga harapan kebangkitan.
  • Imaji bunyi: “kebisingan kunyah mengunyah” menghadirkan suasana hiruk-pikuk kota.
  • Imaji sejarah: Brandenbur Tor, tembok Berlin, demonstrasi, Ethiopia, Afrika Selatan, yang menghubungkan perenungan pribadi dengan tragedi dunia.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – “Aku datang compang-camping sarat kegelisahan” bukan hanya kondisi fisik, melainkan simbol keterasingan batin.
  • Personifikasi – “Bulu-bulu salju kepergok matahari” seolah-olah salju dan matahari memiliki kehendak.
  • Simbolisme – Berlin sebagai simbol peradaban modern yang menyimpan sejarah luka.
  • Repetisi – pengulangan kata “semadi” untuk menekankan proses perenungan batin.
  • Ironi – “dalangnya mabuk heroin” menyoroti degradasi budaya di tengah simbol kebebasan.
Puisi "Semadi di Berlin" karya Putu Oka Sukanta adalah refleksi mendalam tentang pencarian makna hidup, harkat manusia, dan solidaritas universal di tengah keterasingan. Dengan tema kemanusiaan dan kebangkitan, puisi ini bercerita tentang perjalanan batin seorang penyair yang menjadikan semadi sebagai sarana untuk memahami penderitaan global. Makna tersiratnya adalah bahwa meski hidup penuh luka dan keterasingan, manusia tetap bisa menemukan cinta dan kebersamaan lewat kesadaran. Suasana yang dihadirkan meliputi kegelisahan, kontemplasi, hingga heroisme. Imaji sejarah, visual, dan emosional berpadu dengan majas metafora, simbolisme, serta personifikasi yang memperkuat pesan. Amanatnya jelas: semadi bukan sekadar menyepi, melainkan jalan untuk menyatu dengan penderitaan dunia dan menyalakan kembali solidaritas kemanusiaan.

"Puisi Putu Oka Sukanta"
Puisi: Semadi di Berlin
Karya: Putu Oka Sukanta
© Sepenuhnya. All rights reserved.