Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Semua akan Puitis pada Waktunya (Karya Raedu Basha)

Puisi "Semua akan Puitis pada Waktunya" karya Raedu Basha bercerita tentang seorang individu yang merasa terasing, gelisah, dan kehilangan suara ...
Semua akan Puitis pada Waktunya

Kau pun terasing menyesapi doa orang-orang kalah
betapa hanya yang tak tampak tempat rebah paling 
nyenyak
hingga gemericik terdengar dari rahim hening
lalu kau makin tak paham makna apa gerangan
disampaikan denyut peristiwa.

Kau pun membujur saat dentang jam mensepertigakan 
malam
dan keterasinganmu kian meradang
mencoba bergeming namun kata mengering
mencoba bicara namun mulut hilang suara.

O, apa yang tambat tapi tak tercecap bibir letih
pun zikir-zikir yang tak terhitung biji-biji tasbih
ialah gemericik kausar mengalir dalam kebeningan 
sungai waktu
dan apa yang retap dalam dadamu
pun tak terjumlah kelihnya, ialah detak-detak
yang mendenyut kalbu ibumu.

Semua akan puitis pada waktunya
ketika puisi belum jua sampai dikirimkan kabut
lewat udara hening yang kau hirup
kepada kemarau panjang di mana kau terasingkan
dan pada detik yang sama, ibumu senantiasa berdoa
ludah rapalannya lebih basah dari biasanya.

"Semoga ricik gerimis malam nanti berbisik
kepada kerutan-kerutan keningmu, nak
semoga hujan malam nanti bicara
kepada api yang tak tahan tumpah
dari merah matamu, nak
: bahwa puisi butuh waktu
meruncingkan ujung jarumnya
untuk menusuk degub jantungmu".

Ganding Pustaka, 2015

Analisis Puisi:

Puisi ini mengusung tema keterasingan, doa, dan transformasi pengalaman hidup menjadi puisi. Melalui gambaran keterasingan, doa seorang ibu, dan perjalanan batin manusia, penyair menekankan bahwa setiap peristiwa, betapa pun getirnya, pada akhirnya akan menemukan makna puitisnya.

Puisi ini bercerita tentang seorang individu yang merasa terasing, gelisah, dan kehilangan suara dalam perjalanan hidupnya. Ia mendengar doa-doa, merasakan denyut peristiwa, hingga merenungkan makna keterasingan di malam yang sunyi. Namun, dalam keterasingan itu, hadir doa seorang ibu yang terus dipanjatkan, seolah menjadi kekuatan spiritual. Pada akhirnya, penyair menyampaikan keyakinan bahwa “semua akan puitis pada waktunya”—bahwa segala pengalaman pahit maupun getir akan bermuara menjadi sesuatu yang indah, bermakna, dan menenteramkan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa hidup adalah kumpulan pengalaman yang pada akhirnya akan menemukan arti dan keindahannya. Keterasingan, penderitaan, dan kesepian bukanlah akhir, melainkan bagian dari proses menuju pencerahan batin. Doa seorang ibu menjadi simbol kekuatan kasih sayang dan pengharapan yang membuat hidup kembali bermakna. Pesan terselubungnya: apa pun yang dialami manusia, seberat apa pun penderitaan itu, suatu hari akan berubah menjadi sesuatu yang indah—puitis—pada waktunya.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang muncul dalam puisi ini adalah hening, religius, dan penuh kontemplasi. Ada rasa asing, getir, dan resah, namun juga hadir kelembutan dan ketenangan melalui doa ibu serta gambaran gerimis dan hujan yang membawa harapan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah bahwa kesabaran, doa, dan waktu adalah kunci dalam menghadapi keterasingan dan penderitaan hidup. Segala sesuatu, baik luka maupun air mata, suatu saat akan bermetamorfosis menjadi makna yang lebih dalam. Puisi mengingatkan pembaca untuk tidak berputus asa, karena bahkan pengalaman pahit pun dapat menjadi jalan menuju pencerahan.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan auditif:
  • “gemericik terdengar dari rahim hening” menghadirkan kesan suara halus dalam kesunyian.
  • “dentang jam mensepertigakan malam” menghadirkan visual sekaligus bunyi malam yang hening.
  • “ricik gerimis malam” dan “hujan malam” memperkuat kesan alam sebagai pengiring perjalanan batin.
  • “kerutan-kerutan keningmu” memberi imaji konkret penderitaan yang nyata.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi – “gemericik kausar mengalir dalam kebeningan sungai waktu” memberi sifat manusiawi pada waktu.
  • Metafora – “puisi butuh waktu meruncingkan ujung jarumnya” sebagai perlambang bahwa pengalaman hidup memerlukan proses untuk menjadi bermakna.
  • Hiperbola – “mulut hilang suara” melebih-lebihkan kondisi kehilangan daya ungkap.
  • Simbolisme – doa ibu menjadi simbol kekuatan spiritual yang menopang hidup.
Puisi "Semua akan Puitis pada Waktunya" karya Raedu Basha adalah refleksi mendalam tentang keterasingan manusia, doa seorang ibu, dan proses transformatif pengalaman hidup. Dengan bahasa yang penuh imaji dan simbol, penyair mengingatkan pembaca bahwa segala peristiwa, baik pahit maupun manis, akan menemukan bentuk keindahannya seiring waktu. Doa ibu menjadi pilar kasih sayang yang menjaga, sementara puisi menjadi medium untuk menemukan arti terdalam kehidupan.

"Puisi Raedu Basha"
Puisi: Semua akan Puitis pada Waktunya
Karya: Raedu Basha
© Sepenuhnya. All rights reserved.