Analisis Puisi:
Puisi "Sepotong Kueh Dunia, Bali" karya Putu Oka Sukanta adalah kritik sosial yang tajam terhadap wajah Bali modern yang kian tergerus oleh pariwisata massal, komersialisasi budaya, hingga dampak sosial yang menyertainya. Penyair menghadirkan Bali sebagai metafora “kueh dunia”, sebuah pulau yang indah sekaligus rentan dieksploitasi demi kepentingan pasar global.
Tema
Tema utama puisi ini adalah paradoks Bali sebagai surga wisata dunia sekaligus ruang penderitaan akibat komersialisasi, ketimpangan sosial, dan degradasi budaya.
Puisi ini bercerita tentang Bali yang berubah dari tanah budaya dan spiritual menjadi komoditas dunia. Penyair menggambarkan bagaimana keindahan Bali—pantai, gamelan, tari, hingga dupa—disulap menjadi produk industri pariwisata. Di balik itu, terdapat luka: petani yang kehilangan sawah karena digusur bulldozer, pekerja lokal yang hanya menjadi pelayan di hotel mewah, serta penyakit sosial seperti HIV/AIDS yang ikut menghantui.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa Bali telah menjadi korban globalisasi dan kapitalisme pariwisata. Keindahan yang dahulu sakral kini berubah menjadi barang jualan, sementara masyarakat lokal seringkali hanya menerima sisa-sisa penderitaan. Puisi ini juga menyiratkan kritik atas bagaimana dunia mengunyah Bali layaknya makanan lezat, sementara “racunnya” justru ditanggung oleh rakyat kecil.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini didominasi oleh:
- Muram dan getir, ketika menggambarkan hilangnya rembulan, pasir putih yang ternoda, dan korban AIDS.
- Ironic-festive, karena di balik gamelan dan tari yang meriah, ada “racun” ketidakadilan sosial yang tersembunyi.
- Kritik tajam, penuh kegelisahan penyair terhadap nasib Bali yang terus dieksploitasi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama puisi ini adalah pentingnya menjaga jati diri, kesucian, dan keberlanjutan Bali dari amukan pariwisata global. Penyair mengingatkan bahwa Bali bukan sekadar produk dunia, melainkan tanah kehidupan, spiritualitas, dan budaya yang mesti dilindungi. Puisi ini juga menyuarakan keresahan bahwa jika eksploitasi berlanjut, Bali bisa kehilangan ruhnya dan hanya tersisa “racun” peradaban.
Imaji
Putu Oka Sukanta menggunakan imaji yang kuat dan berlapis:
- Imaji visual: “Pantai Kuta dijilati lidah-lidah nyala lilin”, “burung-burung terbang berhamburan”, “mulut-mulut raksasa mengunyahmu”.
- Imaji rasa: “racunnya mengalir di pembuluh darah”, “air matamu diteguknya bagaikan coca-cola”.
- Imaji bunyi: “disambut gambelan dan tari, produk industri harga pasti”.
- Imaji spiritual: “kembang jepun doa-doa ke kayangan menumpang dharma asap dupa”.
Imaji-imaji tersebut menegaskan kontras antara kesakralan budaya Bali dengan banalitas konsumsi pariwisata modern.
Majas
Beberapa majas menonjol dalam puisi ini, antara lain:
- Metafora – Bali disebut “sepotong kueh dunia” sebagai lambang komodifikasi.
- Personifikasi – “Denpasar dan Pantai Kuta dijilati lidah-lidah nyala lilin”, memberi kesan hidup pada fenomena.
- Simbolisme – rembulan yang hilang melambangkan hilangnya kesucian dan ketulusan.
- Sarkasme – “air matamu diteguknya bagaikan coca-cola” menyindir konsumerisme yang menelan penderitaan.
- Ironi – gamelan dan tari yang indah justru menjadi simbol industri pariwisata yang menyingkirkan rakyat.
Puisi "Sepotong Kueh Dunia, Bali" karya Putu Oka Sukanta adalah kritik pedas terhadap eksploitasi pariwisata global atas Bali. Tema utama yang diangkat adalah kontras antara keindahan budaya Bali dan penderitaan sosial masyarakatnya. Puisi ini bercerita tentang Bali yang dieksploitasi sebagai “kueh dunia” bagi wisatawan, sementara rakyat kecil menanggung dampak buruknya. Makna tersiratnya adalah bahwa pariwisata tanpa kontrol bisa meracuni jiwa masyarakat dan menghapus identitas budaya. Suasana yang dihadirkan penuh muram, getir, dan ironis. Imaji visual, bunyi, dan spiritual memperkuat kritik sosial dalam teks, sementara majas metafora, personifikasi, simbolisme, hingga ironi memperdalam pesan.
Amanat yang dapat dipetik adalah perlunya menjaga kesakralan dan keaslian Bali, agar tidak sepenuhnya tergilas arus globalisasi dan kapitalisme pariwisata. Bali harus tetap menjadi tanah spiritual dan budaya, bukan sekadar kueh dunia yang dikunyah habis-habisan oleh peradaban modern.
Karya: Putu Oka Sukanta
