Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Setelah Huru-hara, Bunga Itu Cintaku (Karya Dimas Arika Mihardja)

Puisi "Setelah Huru-hara, Bunga Itu Cintaku" karya Dimas Arika Mihardja bercerita tentang bunga yang dijadikan simbol cinta, yang tetap tumbuh dan ...
Setelah Huru-hara, Bunga Itu Cintaku

Setelah huru-hara, bunga itu cintaku tetap menebarkan
wangi-nya. Kita hirup lembut aura warna jingga yang singgah
saat senja. Di beranda ini tumbuh menyemak semerbak bunga
merah merekah indah. Biru merindu cumbu. Kuning mengerling jemari
kasih sayang. Putih membagi kasih. Bunga itu

tumbuh juga di taman hati. Mengorak kelopak
gelegak sajak. Helai-helai belaian jemari tangan-tangan kasih
tak letih meneteskan embun pada hijau daun. Bunga itu

kasihku, mengabadikan rasa terdalam
di kedalaman genggam.

Jambi, 2010

Analisis Puisi:

Dimas Arika Mihardja merupakan salah satu penyair Indonesia modern yang karya-karyanya kerap mengekspresikan perasaan mendalam dengan penggunaan bahasa simbolik yang kuat. Dalam puisi "Setelah Huru-hara, Bunga Itu Cintaku," ia menampilkan metafora bunga sebagai representasi cinta, kedamaian, dan keindahan yang tetap bertahan meski dunia mengalami kekacauan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah cinta yang abadi dan keteguhan perasaan di tengah kekacauan hidup. Puisi menegaskan bahwa cinta, yang diibaratkan bunga, selalu menebarkan keharuman dan memberi ketenangan meskipun dunia dipenuhi huru-hara.

Puisi ini bercerita tentang bunga yang dijadikan simbol cinta, yang tetap tumbuh dan mekar meski situasi penuh guncangan. Bunga tersebut hadir bukan hanya di dunia nyata, tetapi juga di “taman hati” penyair, menunjukkan bahwa cinta sejati tidak lekang oleh keadaan luar, melainkan berakar dalam jiwa.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa cinta mampu menjadi penopang kehidupan dan sumber kekuatan dalam menghadapi badai peristiwa. Bunga melambangkan kelembutan, keindahan, dan ketulusan, yang tetap hidup meski manusia berhadapan dengan kekacauan sosial atau gejolak batin. Ada juga pesan spiritual bahwa cinta dan kasih sayang dapat menyembuhkan luka pasca huru-hara.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini adalah tenang, lembut, dan penuh kehangatan. Meskipun dimulai dengan kata “huru-hara”, nuansa berikutnya dipenuhi dengan gambaran bunga, warna, dan cinta yang menenangkan hati.

Amanat / Pesan yang disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap adalah bahwa cinta adalah kekuatan abadi yang harus dirawat meski kehidupan penuh gejolak. Bunga sebagai simbol cinta menunjukkan bahwa kasih sayang, ketulusan, dan pengabdian hati dapat menjadi penyeimbang hidup manusia.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji visual dan perasaan, misalnya:
  • “bunga merah merekah indah” → imaji visual tentang bunga sebagai simbol gairah cinta.
  • “Kuning mengerling jemari kasih sayang” → imaji warna yang menyiratkan kehangatan dan perhatian.
  • “Putih membagi kasih” → imaji tentang ketulusan dan kesucian.
  • “Helai-helai belaian jemari tangan-tangan kasih” → imaji sentuhan lembut yang memberi kehidupan.

Majas

Puisi ini menggunakan berbagai majas, di antaranya:
  • Metafora – bunga dijadikan simbol cinta yang abadi.
  • Personifikasi – bunga seakan bisa menebarkan wangi dan membagi kasih.
  • Simbolisme – penggunaan warna (merah, biru, kuning, putih) sebagai simbol perasaan dalam cinta.
  • Hiperbola – “mengabadikan rasa terdalam di kedalaman genggam” memberi kesan perasaan cinta yang sangat kuat dan tak tergoyahkan.
Puisi "Setelah Huru-hara, Bunga Itu Cintaku" karya Dimas Arika Mihardja menghadirkan pesan tentang cinta yang abadi, kuat, dan tetap mekar meski dunia dilanda kekacauan. Dengan tema cinta sejati, puisi ini bercerita tentang keindahan perasaan yang tidak hanya bersifat duniawi, tetapi juga spiritual. Imaji bunga, warna, dan kelembutan menjadikan puisi ini penuh keindahan visual dan emosional. Majas yang dipakai semakin memperkuat pesan bahwa cinta adalah kekuatan yang menghidupkan dan menenangkan hati.

Puisi: Setelah Huru-hara, Bunga itu Cintaku
Puisi: Setelah Huru-hara, Bunga itu Cintaku
Karya: Dimas Arika Mihardja
© Sepenuhnya. All rights reserved.