Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Stasiun Terakhir (Karya Afrizal Malna)

Puisi "Stasiun Terakhir" karya Afrizal Malna bercerita tentang pengalaman batin seorang tokoh yang berada di ambang akhir perjalanan hidupnya—di ...
Stasiun Terakhir
(Untuk Slamet Gundono)

Aku hanya gombal yang tergeletak di lantai 230 kg namaku. Nama yang setengahnya terbuat dari air mata dan azan subuh. Gombal yang bisa tertawa dan bernyanyi dari hidupku sendiri. Gombal dari tembang-tembang pesisiran yang membuatku bisa tertawa bersama Tuhan. Melihat surga dari orang-orang yang bertanya, kenapa ada gema kesunyian ketika aku berdiri dan menggapai semua yang buta di sekitarku, kenapa aku bertanya seperti tidak mengatakan apapun.

30 hari aku lupa caranya tidur. Dinding-dinding mulai berbicara, membuat gravitasi terbalik antara tubuhku dan malam yang tersisa pada jam 11 siang. Seluruh dunia datang dan berebut masuk ke dalam telingaku. Aku tarik rem kereta api, berderit, besi berjalan itu berhenti mendadak, berderit, seperti besi besar membentur stasiun terakhir. Aku muntahkan tubuhku bersama dengan suara-suara yang ingin mendapatkan nama dari kerinduan.

Aku hidup bersama Bisma yang berjalan dengan 1000 panah di punggungnya, kesetiaan dan kejujuran buta 23.000 kaki di atas permukaan laut. Kesunyian memukul-mukul 230 kg berat tubuhku. Istana Jawa yang terbuat dari gamelan, seorang perempuan menari dengan air susu yang terus tumpah dari buah dadanya: aku berada antara batu yang akan pecah dan belum pecah.

Telapak tanganku telah penuh cairan ludahku sendiri. Satu mangkuk teh untuk sintren yang tersesat dalam tembangku. Aku lihat tubuhku dalam TV seperti sebuah negeri yang sedang diperkosa rakyatnya sendiri. Gravitasi TV yang membuat tubuhku jadi 2 meter, sompret, kencing dalam celana.

Di stasiun terakhir itu, aku menggambar paru-paruku sendiri, tanah terus mengelupas tak henti-henti mengelupas tanah mengelupas. Hingga aku mencium bau hujan dari wayang- wayang yang bermain sendiri, antara batu yang akan pecah dan belum pecah, antara tembang yang akan mantra dan belum mantra, antara keris yang berjatuhan dari kesunyianku dan belum berjatuhan.

Sumber: Museum Penghancur Dokumen (2013)

Analisis Puisi:

Puisi "Stasiun Terakhir" karya Afrizal Malna ditulis untuk Slamet Gundono, seorang dalang kontemporer yang dikenal dengan kreativitasnya dalam mengolah wayang dan teater rakyat. Puisi ini sarat dengan simbol, metafora, dan gambaran surealis yang khas dari gaya Afrizal Malna. Ia menyajikan lapisan makna tentang hidup, tubuh, kesunyian, dan perjalanan menuju batas terakhir kehidupan.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah perjalanan menuju batas akhir kehidupan yang penuh dengan pergulatan batin, kesunyian, dan ingatan akan budaya. Puisi ini menggabungkan dimensi personal, spiritual, dan kultural menjadi satu kesatuan.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman batin seorang tokoh yang berada di ambang akhir perjalanan hidupnya—di “stasiun terakhir”. Ia menggambarkan dirinya sebagai “gombal” yang menanggung berat kehidupan, namun tetap bisa tertawa, bernyanyi, dan menyerap tembang pesisiran. Di tengah kesunyian, tubuhnya berhadapan dengan ingatan, suara, wayang, gamelan, hingga tubuh yang pecah atau belum pecah. Gambaran perjalanan ini menyerupai sebuah transit menuju kematian, dengan kereta api sebagai simbol penghubung.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah refleksi eksistensial tentang manusia yang rapuh, terhimpit oleh kesunyian, tetapi juga terikat pada warisan budaya dan spiritualitas. Ada kesan bahwa hidup adalah perjalanan penuh luka dan pertanyaan, dan “stasiun terakhir” menjadi metafora bagi kematian atau batas akhir kehidupan. Selain itu, penyebutan tokoh pewayangan seperti Bisma, gamelan, dan sintren menunjukkan keterikatan antara hidup pribadi dengan kosmos budaya Jawa.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun dalam puisi ini adalah surreal, penuh kegelisahan, mistis, namun juga kontemplatif. Pembaca seolah dibawa masuk ke dalam dunia absurd di mana tubuh, budaya, dan kesunyian bertabrakan dalam satu ruang. Ada rasa getir sekaligus lirih, antara keputusasaan dan penerimaan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah bahwa hidup adalah perjalanan panjang menuju batas akhir, dan dalam perjalanan itu manusia akan selalu berhadapan dengan kesunyian, luka, serta pertanyaan yang tak selesai. Namun, meski rapuh, manusia tetap bisa memberi makna lewat seni, budaya, dan spiritualitas.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji yang kuat dan menabrak batas logika:
  • Imaji visual: “aku menggambar paru-paruku sendiri”, “seorang perempuan menari dengan air susu yang terus tumpah”, “keris yang berjatuhan dari kesunyianku”.
  • Imaji auditori: “tembang pesisiran”, “dinding-dinding mulai berbicara”, “kereta berderit”.
  • Imaji perasaan: kesunyian yang menghimpit, tubuh yang rapuh, rasa getir di ambang kematian.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: “stasiun terakhir” sebagai lambang kematian atau akhir perjalanan.
  • Personifikasi: “dinding-dinding mulai berbicara” yang menghadirkan kesan surealis.
  • Hiperbola: “230 kg namaku” yang melambangkan berat beban hidup dan eksistensi.
  • Simbolisme: tokoh pewayangan, gamelan, sintren, dan keris yang menjadi simbol budaya Jawa sekaligus lambang spiritualitas dan penderitaan.
Puisi "Stasiun Terakhir" karya Afrizal Malna adalah sebuah karya yang menggabungkan realitas tubuh, kesunyian, dan budaya ke dalam lanskap surealis yang penuh simbol. Dengan tema tentang perjalanan menuju batas hidup, bercerita tentang manusia yang rapuh namun tetap mencari makna, serta makna tersirat berupa refleksi eksistensial dan budaya, puisi ini menghadirkan pengalaman membaca yang mendalam. Imaji yang kaya dan majas yang kuat mempertegas bahwa karya ini bukan sekadar renungan pribadi, melainkan juga sebuah dialog dengan warisan budaya dan spiritualitas.

Puisi Afrizal Malna
Puisi: Stasiun Terakhir
Karya: Afrizal Malna

Biodata Afrizal Malna:
  • Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.