Sungguh, Aku Ingin Jadi Ustaz
— "engkau
tentu masih mengenal aku, juga seragamku:
baju putih lengan pendek dengan rok abu-abu.
engkau
tentu tak melupakan aku,
ada tato di bawah pusarku, bertuliskan:
milik departemen pendidikan dan kebudayaan
republik indonesia, tidak diperdagangkan." —
aku tentu
mengenal dan tak melupakanmu. dulu
berkejaran riang di halaman sekolah, kini
berkeliaran penuh mesum di banyak mal. tapi
sungguh, aku ingin jadi ustaz, mengenakan sorban,
baju panjang, dan turun ke jalan mengobarkan
kerusuhan.
o ya, kau
sepertinya belumlah tahu,
aku sekarang juga punya tato di bawah pusar:
bergambar seekor burung dengan sayap dan ekor
mengembang, di hadapannya ada buku terbuka, di
atasnya melengkung tulisan: tut wuri handayani.
aku memang kadang berharap, suatu waktu kau
akan melihat dan membacanya. tapi sungguh, aku
ingin jadi ustaz, dan sesekali membayangkan kau,
menjerit-jerit dalam sebuah film biru.
Yogyakarta, 2007
Analisis Puisi:
Tema utama puisi ini adalah ironi moral dan kritik sosial terhadap kemunafikan. Penyair menyoroti bagaimana seseorang bisa menyimpan masa lalu yang penuh kepolosan, tetapi kini hidup dalam kontradiksi antara citra religius dan perilaku menyimpang.
Puisi ini bercerita tentang seorang aku lirik yang mengingat kembali masa sekolahnya, masa ketika ia masih polos, bermain di halaman sekolah, mengenakan seragam sederhana. Namun kini, aku lirik menggambarkan kenyataan pahit: orang-orang yang dulunya sama-sama berlari riang kini “berkeliaran penuh mesum di banyak mal.”
Sementara itu, sang aku lirik mengungkapkan keinginannya untuk menjadi ustaz, lengkap dengan sorban dan baju panjang, tetapi ironisnya justru membayangkan diri mengobarkan kerusuhan. Bahkan, ia masih mempertahankan simbol-simbol pendidikan (tato bertuliskan “tut wuri handayani”), yang kemudian diparodikan dalam konteks yang jauh dari makna luhur.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap kemunafikan dan degradasi moral dalam masyarakat.
- Keinginan menjadi ustaz bukan dipahami sebagai cita-cita mulia, melainkan justru sarana ironi untuk menunjukkan bagaimana agama atau simbol moral sering dijadikan kedok bagi tindakan destruktif.
- Simbol-simbol pendidikan (seragam, tulisan resmi, dan slogan “tut wuri handayani”) dibongkar dan diparodikan untuk memperlihatkan betapa nilai-nilai luhur telah dipermainkan dan kehilangan makna sejatinya.
- Puisi ini juga menyentil kemerosotan generasi muda, yang dulunya dibimbing pendidikan, tetapi kini terseret arus konsumtif, seksualitas, dan penyalahgunaan makna religius.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini adalah kontras, getir, dan sinis. Ada percampuran nostalgia masa kecil dengan kekecewaan terhadap kenyataan masa kini. Ironi membuat suasana puisi terasa tajam, bahkan menyakitkan, karena menyodorkan realitas sosial yang penuh kepalsuan.
Amanat / pesan yang disampaikan puisi
Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah: pendidikan dan agama seharusnya membawa manusia pada kebaikan, bukan menjadi kedok untuk kemerosotan moral atau tindak kekerasan. Puisi ini mengajak pembaca untuk kritis terhadap simbol-simbol yang sering digunakan tanpa makna sejati, sekaligus menyadari bahaya dari kehilangan nilai moral dalam kehidupan sosial.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji konkret dan mengejutkan:
- “baju putih lengan pendek dengan rok abu-abu” menghadirkan gambaran polos masa sekolah.
- “tato di bawah pusarku, bertuliskan: milik departemen pendidikan dan kebudayaan republik indonesia, tidak diperdagangkan” adalah imaji satir yang memparodikan tubuh sebagai benda inventaris.
- “bergambar seekor burung dengan sayap dan ekor mengembang, di hadapannya ada buku terbuka, di atasnya melengkung tulisan: tut wuri handayani” menghadirkan parodi terhadap lambang pendidikan nasional.
Imaji ini bukan hanya visual, tetapi juga mengandung makna sindiran mendalam.
Majas
Beberapa majas menonjol dalam puisi ini:
- Ironi: keinginan menjadi ustaz justru disandingkan dengan fantasi kerusuhan dan film biru.
- Satire: penggunaan simbol pendidikan secara parodi untuk mengkritik penyalahgunaan nilai.
- Metafora tubuh sebagai inventaris: tato dengan tulisan resmi adalah sindiran bahwa manusia seolah-olah hanya benda yang diberi label.
- Hiperbola: gambaran keinginan mengobarkan kerusuhan untuk menegaskan kontradiksi antara citra religius dan tindakan destruktif.
Puisi "Sungguh, Aku Ingin Jadi Ustaz" adalah karya yang keras dan satir, menyodorkan potret masyarakat yang terjebak dalam kemunafikan. Aslan Abidin menggunakan bahasa lugas, imaji mengejutkan, dan ironi tajam untuk membongkar kontradiksi antara ideal pendidikan dan agama dengan realitas hidup yang penuh penyimpangan. Dari sini, pembaca diajak merenungkan: apakah simbol-simbol moral dan pendidikan benar-benar dijalani secara jujur, ataukah sekadar topeng yang menutupi luka sosial yang lebih dalam?
Puisi: Sungguh, Aku Ingin Jadi Ustaz
Karya: Aslan Abidin
Biodata Aslan Abidin:
- Aslan Abidin lahir pada tanggal 31 Mei 1972 di Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan.