Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tanah Kelahiran (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Tanah Kelahiran" karya Gunoto Saparie bercerita tentang seorang perantau yang mengenang kembali desa tempat ia lahir dan tumbuh. Ingatan ...
Tanah Kelahiran

kuingat di sepanjang usia
ricik air kali di bawah rumpun bambu
meski puluhan tahun aku mengembara
sawah menguning mengertap dalam rindu

kuingat di sepanjang kenangan
aroma lumpur jalan tanah perdesaan
ah, kuingat juga cahaya matamu 
mengerdip diterpa obor blarak itu

2022
Catatan:
Blarak = daun kelapa kering.

Analisis Puisi:

Puisi "Tanah Kelahiran" karya Gunoto Saparie merupakan sebuah karya liris yang sederhana namun penuh makna. Melalui baris-baris pendek dan jernih, penyair mengekspresikan kerinduan pada kampung halaman dengan menghadirkan kembali kenangan-kenangan yang melekat dalam ingatan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kerinduan terhadap tanah kelahiran. Penyair mengungkapkan betapa kuatnya ingatan akan suara alam, suasana pedesaan, dan bahkan cahaya obor blarak (daun kelapa kering yang dijadikan penerang), meskipun dirinya telah lama mengembara jauh dari kampung halaman.

Puisi ini bercerita tentang seorang perantau yang mengenang kembali desa tempat ia lahir dan tumbuh. Ingatan akan ricik air kali, rumpun bambu, aroma lumpur jalan desa, hingga cahaya mata seseorang yang disorot oleh obor blarak menjadi pengingat akan ikatan batin yang tak pernah pudar, sekalipun waktu dan jarak telah memisahkan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah identitas manusia tidak bisa lepas dari tanah kelahiran. Meski seseorang mengembara ke berbagai tempat, akar budaya, ingatan, dan kenangan kampung halaman selalu menjadi bagian dari dirinya. Puisi ini juga menegaskan bahwa keindahan sederhana di desa memiliki nilai emosional yang jauh lebih dalam dibandingkan gemerlap dunia luar.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah nostalgia, hangat, dan penuh kerinduan. Setiap detail alam desa dan kehidupan tradisional dihadirkan dengan nada lirih yang membuat pembaca merasakan kedekatan emosional dengan tanah kelahiran.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan yang dapat dipetik dari puisi ini adalah pentingnya menghargai kampung halaman dan kenangan masa lalu sebagai bagian dari jati diri. Tanah kelahiran bukan hanya tempat fisik, tetapi juga ruang batin yang membentuk karakter dan memberi makna dalam perjalanan hidup.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang menghadirkan suasana pedesaan:
  • Imaji auditif: “ricik air kali di bawah rumpun bambu” menghadirkan suara alam yang menenangkan.
  • Imaji visual: “sawah menguning” menggambarkan pemandangan desa yang indah.
  • Imaji penciuman: “aroma lumpur jalan tanah perdesaan” menimbulkan kesan nyata pada indera penciuman.
  • Imaji cahaya: “cahaya matamu mengerdip diterpa obor blarak itu” menyuguhkan suasana romantis sekaligus tradisional.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
  • Repetisi – pengulangan kata “kuingat” yang menegaskan kekuatan memori penyair.
  • Metafora – “sawah menguning mengertap dalam rindu” menggambarkan kerinduan yang hidup seolah sawah itu berbicara kepada hati.
  • Personifikasi – ricik air dan cahaya mata seolah menjadi tokoh yang hadir dalam kenangan penyair.
  • Simbolisme – obor blarak sebagai simbol tradisi, kesederhanaan, sekaligus kehangatan kampung halaman.
Puisi "Tanah Kelahiran" karya Gunoto Saparie merupakan potret sederhana namun menyentuh tentang kerinduan seorang anak perantau pada desanya. Dengan tema yang kuat, imaji pedesaan yang nyata, serta majas yang lembut, puisi ini berhasil menggugah pembaca untuk kembali merenungkan arti tanah kelahiran. Ia bukan sekadar tempat lahir, tetapi juga sumber identitas, kehangatan, dan cinta yang tidak lekang oleh waktu.

Gunoto Saparie
Puisi: Tanah Kelahiran
Karya: Gunoto Saparie


Biodata Gunoto Saparie:

Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).

Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.

Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).

Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.