Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tembang Tanah Jawa (Karya Iman Budhi Santosa)

Puisi “Tembang Tanah Jawa” karya Iman Budhi Santosa bercerita tentang pengalaman sehari-hari yang penuh makna ketika berhadapan dengan alam sekitar ..
Tembang Tanah Jawa

Pagi ketika prenjak bersahutan di halaman
pintu jendela jadi menanti siapa yang akan datang.
Apakah dulu benar ada benih ditabur
kemudian lama ditinggalkan, serupa nama yang dikubur
tapi tak pernah hancur berpuluh tahun dilupakan.
Adakah kini sebutir biji bakal jatuh
dari paruh burung pleci
tatkala berlompatan di dahan ranting pohon murbei?

Semalam ketika burung kulik dan tu'u
mengharu-biru, berputar-putar di atas pucuk randu
kemudian hinggap pada rumpun kembang sepatu
barangkali ia tengah mengajak cicak dan jengkerik
memagari hatinya yang lelap
dari marabahaya di balik gelap dan lindap

Tengah hari ketika seekor ular lare angon
menyasar ke beranda dari celah akar pohon sengon
jangan siapkan cabang bambu ori
tatap matanya, dan bisikkan lewat hati
irama tembang kinanthi
dalam liuk gemulai jemari tangan dan kaki

Menjelang senja, ketika sepasang derkuku
bercengkerama di bubungan rumah
katakan pada mereka, cinta tak akan punah
selama kicau merdu, lembut kata
dan kelepak rindu, meluruskan jalan menikung
mengingatkan hatimu hatiku yang tak kenal manisnya madu

Lalu, ketika seekor gagak hitam
menyeruak mahkota pohon salam
menabrak belimbing muda, menghajar buah serikaya
jemputlah ia dengan lambaian
lemparkan sebongkah garam, taburkan segenggam biji asam
agar bala dan petaka tenang tak bergerak
diperangkap waktu yang tak mau berhenti walau sejenak

2011

Sumber: Ziarah Tanah Jawa (2013)

Analisis Puisi:

Puisi “Tembang Tanah Jawa” karya Iman Budhi Santosa merupakan karya yang sarat simbol budaya, alam, dan spiritualitas Jawa. Ia menampilkan panorama keseharian: burung-burung, pohon, binatang kecil, bahkan ular dan gagak, namun dalam lapisan maknanya puisi ini lebih dari sekadar potret lingkungan. Ada nilai filosofi Jawa, ada pesan kebijaksanaan, dan ada kesadaran akan keseimbangan hidup manusia dengan semesta.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kebijaksanaan hidup yang berakar pada kearifan lokal Jawa. Lewat simbol-simbol alam, penyair menekankan keterhubungan manusia dengan lingkungan, dengan leluhur, dan dengan nilai moral yang tidak lekang oleh waktu.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman sehari-hari yang penuh makna ketika berhadapan dengan alam sekitar: suara burung di pagi hari, keresahan malam dengan binatang-binatang kecil, ular yang datang ke beranda, derkuku yang bercengkerama, hingga gagak hitam yang dianggap pertanda bala. Semua itu bukan sekadar peristiwa biasa, melainkan dijadikan cermin kehidupan: tentang cinta, kewaspadaan, kebijaksanaan, dan hubungan manusia dengan alam dan takdir.

Makna tersirat

Makna tersirat puisi ini dapat ditarik dari tiap fragmen:
  • Burung prenjak dan biji dari pleci melambangkan harapan baru dan kelanjutan hidup, meski banyak hal telah dilupakan.
  • Burung malam, cicak, dan jengkerik memberi pesan tentang perlindungan batin dari ancaman yang tidak terlihat.
  • Ular lare angon bukan dilawan dengan kekerasan, tetapi dihadapi dengan ketenangan batin, doa, dan tembang kinanthi. Ini menekankan falsafah Jawa: menyelesaikan masalah dengan harmoni, bukan agresi.
  • Sepasang derkuku menjadi lambang cinta sejati, yang tidak lekang oleh waktu jika disertai kelembutan dan kerinduan yang jujur.
  • Gagak hitam sebagai simbol malapetaka menunjukkan bahwa bencana bisa ditangkal dengan doa, laku, dan kearifan tradisi.
Keseluruhannya menyiratkan makna: hidup manusia adalah perjalanan spiritual yang harus dijalani dengan kesadaran, kesabaran, dan kearifan terhadap tanda-tanda alam.

Suasana dalam puisi

Suasana yang muncul dalam puisi ini adalah mistis, reflektif, dan penuh kewaspadaan. Di satu sisi, ada ketenangan saat melihat burung dan mendengar suara malam. Namun di sisi lain, ada aura keprihatinan ketika ular muncul atau gagak hitam datang, yang menimbulkan rasa waspada dan doa.

Amanat / pesan yang disampaikan puisi

Pesan yang dapat ditangkap adalah: hidup harus dijalani dengan hati yang peka terhadap tanda-tanda semesta, dengan kesadaran bahwa setiap peristiwa alam memiliki pesan untuk manusia. Kita diajak untuk tidak gegabah menghadapi masalah, menjaga cinta, menolak bala dengan laku bijaksana, serta menyelaraskan diri dengan alam dan kehidupan.

Imaji

Puisi ini penuh imaji yang kuat dan khas Jawa:
  • Visual: “burung prenjak bersahutan di halaman”, “ular lare angon menyasar ke beranda”, “sepasang derkuku bercengkerama di bubungan rumah”.
  • Auditori: kicau burung, suara burung malam, “irama tembang kinanthi”, kicau merdu derkuku.
  • Kinestetik: liukan tangan dan kaki saat menembang, derkuku bercengkerama, gagak menabrak belimbing muda.
  • Olfaktori: meski samar, imaji bau alam terasa dari “taburkan segenggam biji asam” atau “lemparkan sebongkah garam”.

Majas

Beberapa majas yang menonjol antara lain:
  • Personifikasi: alam dan binatang digambarkan seolah memiliki niat atau memberi pesan.
  • Metafora: burung, ular, derkuku, gagak menjadi lambang harapan, ancaman, cinta, dan malapetaka.
  • Simbolisme Jawa: tembang kinanthi, garam, biji asam—semuanya sarat makna spiritual dan tradisi lokal.
Puisi “Tembang Tanah Jawa” adalah karya reflektif yang menyatukan alam, budaya, dan spiritualitas Jawa dalam satu aliran narasi puitis. Ia bukan sekadar lukisan keseharian, melainkan tafsir kehidupan yang sarat makna: tentang harapan, perlindungan, cinta, kewaspadaan, dan harmoni dengan semesta. Melalui puisi ini, Iman Budhi Santosa menegaskan bahwa tanah Jawa menyimpan tembang abadi yang terus bergaung, mengajarkan manusia untuk hidup selaras dengan alam dan kebijaksanaan leluhur.

Iman Budhi Santosa
Puisi: Tembang Tanah Jawa
Karya: Iman Budhi Santosa

Biodata Iman Budhi Santosa:
  • Iman Budhi Santosa pada tanggal 28 Maret 1948 di Kauman, Magetan, Jawa Timur, Indonesia.
  • Iman Budhi Santosa meninggal dunia pada tanggal 10 Desember 2020 (pada usia 72 tahun) di Dipowinatan, Yogyakarta, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.