Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Terapung-apung Aku di Laut-Mu (Karya Korrie Layun Rampan)

Puisi "Terapung-apung Aku di Laut-Mu" karya Korrie Layun Rampan adalah refleksi eksistensial yang

Terapung-apung Aku di Laut-Mu

Terapung-apung aku di laut-Mu. Menyelam tak teraba ke dalam
Beginilah karam Hidup. Bagai Tiram
Menganga dan mengatup. Sedang cambuk waktu-Mu di pundakku tak bosan
Melecut!

Siapa dapat mengambil hara. Dunia atau Tangan-Tangan Raksasa?
Ia kah Peramal itu. Yang tak kuyup dalam basah hari. Tak lekang
dalam kemarau panjang. Hei! menghadaplah padaku wahai Seteru!
Mari kita perpanjang jalan! Mari...
Mari kita menanam pohon-pohon Khuldi yang Baru!

1974

Sumber: Suara Kesunyian (1981)

Analisis Puisi:

Korrie Layun Rampan merupakan salah satu penyair penting Indonesia yang banyak menulis dengan bahasa simbolis dan penuh intensitas spiritual. Dalam puisi "Terapung-apung Aku di Laut-Mu", ia menghadirkan gambaran eksistensial manusia yang berada di hadapan Sang Ilahi, dengan metafora laut, karam, dan cambuk waktu yang sarat makna. Puisi ini seolah menjadi renungan tentang hidup, ujian, dan pencarian makna dalam ruang keberadaan yang fana.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian eksistensi manusia di hadapan Tuhan. Laut menjadi simbol kekuasaan Ilahi, tempat manusia “terapung-apung” tanpa daya, sementara waktu digambarkan sebagai cambuk yang terus menghantam perjalanan hidup.

Puisi ini bercerita tentang kegelisahan manusia dalam menghadapi kehidupan dan takdir. Penyair menggambarkan dirinya sebagai sosok yang terapung di laut milik Tuhan, tak berdaya untuk menyelam lebih dalam atau lepas dari gelombang kehidupan. Pertanyaan-pertanyaan tentang dunia, tentang kekuatan besar (disebut “Tangan-Tangan Raksasa”), dan tentang seteru menjadi cerminan pergulatan batin. Pada akhirnya, puisi ini juga menghadirkan semacam ajakan untuk menciptakan “pohon-pohon Khuldi yang baru”, sebagai simbol perlawanan, pembaruan, atau pencarian harapan di tengah keterbatasan manusia.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa hidup manusia tidak pernah terlepas dari kuasa Tuhan, tetapi manusia juga terus berhadapan dengan tantangan, godaan, dan konflik. Laut dalam puisi ini melambangkan ruang kehidupan yang luas, misterius, sekaligus menakutkan. Penyair juga menyinggung tentang waktu sebagai cambuk yang terus memacu manusia menuju akhir. Di sisi lain, ajakan menanam pohon-pohon Khuldi dapat dipahami sebagai simbol untuk tidak menyerah pada keterbatasan, melainkan berusaha menciptakan makna baru, meski sejarah manusia pernah jatuh dalam dosa.

Suasana dalam puisi

Suasana puisi ini terasa gelisah, penuh pergulatan, dan dramatis. Ada ketegangan antara pasrah dan perlawanan, antara menyerah pada nasib dan berusaha melawan dengan menciptakan makna baru.

Amanat / pesan yang disampaikan

Amanat yang bisa ditangkap adalah bahwa hidup adalah pergulatan abadi antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan waktu, dengan dunia, dan dengan Tuhan. Meski manusia sering merasa terombang-ambing, ia tetap diajak untuk tidak berhenti berjuang, bahkan dengan cara menanam “pohon Khuldi baru”—sebuah simbol keberanian menciptakan jalan baru meski penuh risiko.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat, di antaranya:
  • “Terapung-apung aku di laut-Mu” menciptakan imaji visual tentang manusia yang kecil dan tak berdaya di samudera luas.
  • “Bagai Tiram / Menganga dan mengatup” menghadirkan imaji alam bawah laut yang simbolis, menggambarkan pasang-surut hidup.
  • “Cambuk waktu-Mu di pundakku” menghadirkan imaji auditif sekaligus rasa sakit yang menegangkan.
  • “Menanam pohon-pohon Khuldi yang Baru” menghadirkan imaji simbolis tentang usaha manusia menciptakan harapan meski dalam keterbatasan.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – Laut sebagai simbol kuasa Tuhan atau kehidupan; tiram sebagai simbol manusia yang pasang-surut.
  • Personifikasi – Waktu digambarkan sebagai cambuk yang melecut pundak.
  • Repetisi – Kata “Mari” diulang untuk memberi tekanan pada ajakan perlawanan atau pembaruan.
  • Simbolisme – Pohon Khuldi merujuk pada pohon terlarang dalam kisah Adam dan Hawa, yang dimaknai ulang sebagai simbol penciptaan makna baru.
Puisi "Terapung-apung Aku di Laut-Mu" karya Korrie Layun Rampan adalah refleksi eksistensial yang penuh simbol. Dengan metafora laut, tiram, cambuk waktu, dan pohon Khuldi, puisi ini memperlihatkan pergulatan manusia dalam hidup: antara pasrah dan melawan, antara terombang-ambing dan berusaha berdiri. Inilah puisi yang tidak hanya menggambarkan perasaan kecilnya manusia di hadapan Tuhan, tetapi juga keberanian untuk mencari jalan baru di tengah keterbatasan.

Korrie Layun Rampan
Puisi: Terapung-apung Aku di Laut-Mu
Karya: Korrie Layun Rampan

Biodata Korrie Layun Rampan:
  • Korrie Layun Rampan adalah seorang penulis (penyair, cerpenis, novelis, penerjemah), editor, dan kritikus sastra Indonesia berdarah Dayak Benuaq.
  • Korrie Layun Rampan lahir pada tanggal 17 Agustus 1953 di Samarinda, Kalimantan Timur.
  • Korrie Layun Rampan meninggal dunia pada tanggal 19 November 2015 di Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta Pusat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.