Analisis Puisi:
Catatan konteks singkat: judul sajak ini sengaja meniru/menjiplak gaya headline koran ibukota — sebuah strategi bahasa yang langsung menautkan puisi ke ranah berita, statistik, dan wacana publik. Dengan cara itu penyair menempatkan suara pribadi dan kemanusiaan di tengah logika angka, berita, dan pusat kekuasaan.
Tema
Tema sentral puisi ini adalah kesenjangan sosial dan dehumanisasi korban—bagaimana manusia-mati (korban) menjadi data atau statisik dalam ruang publik yang jauh dari empati. Puisi juga menyentuh tema migrasi ekonomi (pusat kekayaan di kota besar), ketidakadilan, dan lemahnya suara rakyat kecil di hadapan kekuasaan.
Puisi ini bercerita tentang sekelompok orang (digambarkan seperti “kami” dan kemudian dianalogikan sebagai “semut”) yang mati dalam kondisi tragis dan bertanya mengapa nasib mereka seperti itu. Mereka menyadari suara mereka tidak sampai ke istana — suara yang “mengambang” — dan bahwa sumber kemewahan serta “gula” berada di Jakarta, jauh dari kampung mereka. Narasi singkat tetapi padat: kematian, penyangkalan, penelantaran, dan pertanyaan terakhir tentang nasib sesudah mati.
Makna Tersirat
Beberapa makna tersirat yang muncul:
- Kritik terhadap negara/elit: frasa “Di luar istana” menunjukkan jarak antara pusat kekuasaan dengan penderitaan rakyat; berita/angka menggantikan kisah manusia.
- Statistik sebagai penenggelamkan empati: judul seperti angka korban (mirip headline) menyamarkan wajah manusia; angka mematikan raut kemanusiaan.
- Kehidupan ekonomi yang timpang: “Tak ada lagi gula / Di kampung … Adanya di Jakarta” menyingkap distribusi kekayaan yang tidak merata.
- Kegelisahan eksistensial: “Kami semut / Bertanya tentang nasib / Setelah mati” — bukan hanya soal kematian jasmani, tetapi soal siapa yang akan mengingat, dan apa arti hidup mereka jika hanya jadi angka.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang dihadirkan puisi ini adalah dingin, hampa, getir, dan menuntut jawaban. Kata-kata seperti “langit dingin” dan repetisi pertanyaan “Mengapa kami mati / dengan cara begini?” menciptakan atmosfer kesepian dan penolakan — perasaan bahwa dunia pusat (istana, kota) tak menyerap penderitaan itu.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini mengajak pembaca untuk:
- Mengingat manusia di balik angka — menuntut empati terhadap korbannya, bukan sekadar membaca statistik.
- Mempertanyakan struktur sosial yang menempatkan sebagian orang dalam kondisi rentan sementara pusat kemewahan terletak jauh.
- Melawan pembungkaman suara rakyat; suara yang “mengambang” mesti didengar, dituntaskan, diberi tempat di ruang pengambilan keputusan.
Imaji
Puisi ini menggunakan beberapa imaji kuat dan sederhana:
- Imaji langit dan istana: “mengambang / Di luar istana / Melayang / Di langit dingin” — memberi kesan jarak dan beku.
- Imaji makanan sebagai simbol kesejahteraan: “Tak ada lagi gula / Di kampung … Adanya di Jakarta” — gula mewakili kemewahan/akses.
- Imaji semut: pelibatan “kami semut” merendahkan posisi subjek secara eksplisit, menekankan jumlah kecil, wujud kolektif, dan kerja keras yang tak dihargai.
- Imaji pertanyaan setelah mati: penutup yang sederhana tetapi menggugah—bertanya tentang nasib sesudah mati—mengabarkan kehilangan tidak hanya jasmani tetapi juga makna.
Majas
Beberapa majas yang dipakai penyair:
- Metafora / Alegori: penggunaan “semut” sebagai metafora rakyat kecil; “istana” menggantikan pusat kekuasaan.
- Personifikasi suara: suara yang “mengambang” dan “melayang” seolah punya kehidupan sendiri, tetapi tak sampai.
- Kontras/ironi: kilau Jakarta vs kampung tanpa gula; headline angka vs wajah manusia — kontras ini menajamkan kritik.
- Interogasi retoris: pertanyaan berulang “Mengapa kami mati / dengan cara begini?” memaksa pembaca masuk ke posisi korban.
Leon Agusta lewat judul yang menyerupai headline koran menempatkan puisi ini di persimpangan sastra dan berita: ia menegaskan bahwa di balik statistik dramatis selalu ada kisah manusia yang tersisihkan. Puisi ini adalah seruan agar kita tak membaca angka dengan dingin; membaca headline tanpa bertanya pada manusia di baliknya berarti membiarkan keadilan dan empati terkubur. Puisi berfungsi sebagai pembalikan: dari angka kembali ke wajah, dari statistik kembali ke suara — menuntut jawaban atas satu pertanyaan yang terus menggema: Mengapa?
Puisi: Total Korban Tewas dalam 13 Hari 596 Orang
Karya: Leon Agusta
Biodata Leon Agusta:
- Leon Agusta (Ridwan Ilyas Sutan Badaro) lahir pada tanggal 5 Agustus 1938 di Sigiran, Maninjau, Sumatra Barat.
- Leon Agusta meninggal dunia pada tanggal 10 Desember 2015 (pada umur 77) di Padang, Sumatra Barat.
- Leon Agusta adalah salah satu Sastrawan Angkatan 70-an.