Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tri (Karya Suripan Sadi Hutomo)

Puisi "Tri" karya Suripan Sadi Hutomo menegaskan bahwa puisi bukan sekadar medium menyampaikan pesan, melainkan juga ruang permainan bunyi, simbol, da
Tri

Tri, tri, utri mantri
Tri, tri, utri mantri
Pohon dondong buah belimbing
Janaka pakai sumping

Gong, gong Bagong nggonggong
Gong, gong Bagong nggonggong
Kelabu satru
Kuku landak punya ndaru

Nagasari
Bulan berbelah
Hikayat para nabi

Tau tate, kebun cabe
Tau tate, rokok tingwe

1975

Sumber: Horison (Maret, 1977)

Analisis Puisi:

Puisi "Tri" karya Suripan Sadi Hutomo menampilkan bentuk unik berupa larik-larik pendek yang menyerupai mantra, tembang rakyat, atau permainan anak-anak. Dengan repetisi, bunyi, dan asosiasi kata yang tidak selalu logis, puisi ini membangun dunia imajinatif yang kaya akan simbol dan nuansa tradisi.

Tema

Tema utama puisi ini adalah permainan bunyi dan simbol budaya. Suripan Sadi Hutomo mengangkat kata-kata sederhana, sebagian diambil dari keseharian maupun tradisi, lalu dipadukan menjadi rangkaian larik yang menyerupai mantra atau lagu rakyat.

Puisi ini bercerita tentang eksplorasi bahasa yang dipadukan dengan simbol-simbol budaya Jawa, seperti tokoh wayang (Janaka, Bagong), nama pohon dan buah (pohon dondong, buah belimbing), serta unsur keagamaan (hikayat para nabi). Tidak ada alur cerita yang runtut, melainkan mozaik bunyi dan citra yang menyatukan tradisi rakyat, mitologi, dan kehidupan sehari-hari.

Makna tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah perayaan keragaman bahasa dan budaya. Penyair ingin menunjukkan bahwa kata-kata tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sumber estetika, memori budaya, dan sarana spiritual. Larik-larik yang terdengar seperti permainan anak juga menyiratkan bahwa kesenangan sederhana dalam bahasa dapat membuka ruang refleksi yang dalam.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi terasa riang, liris, sekaligus mistis. Ada kegembiraan dalam pengulangan bunyi dan permainan kata, namun juga ada kesan sakral ketika muncul rujukan ke hikayat nabi atau simbol alam.

Amanat / pesan yang disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap adalah bahwa bahasa tradisi harus dihargai sebagai warisan budaya yang menyimpan nilai estetika, spiritual, dan identitas kolektif. Dengan menggali bahasa rakyat, kita bisa menemukan kembali akar kebudayaan yang sederhana namun kaya makna.

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji yang bervariasi:
  • Visual: “pohon dondong buah belimbing”, “kuping gajah”, “bulan berbelah”.
  • Auditori: repetisi bunyi “tri, tri, utri mantri” dan “gong, gong Bagong nggonggong” menghadirkan suasana seperti mantra atau lagu rakyat.
  • Kultural: munculnya tokoh wayang (Janaka, Bagong) dan kisah religius (hikayat para nabi).

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Repetisi: pengulangan bunyi “Tri, tri, utri mantri” dan “Gong, gong Bagong nggonggong” untuk menciptakan efek musikal.
  • Simbolisme: tokoh wayang, tumbuhan, serta rujukan religius menjadi simbol nilai budaya dan spiritual.
  • Metafora: “bulan berbelah” bisa dipahami sebagai metafora keajaiban atau peristiwa luar biasa.
  • Personifikasi: “Bagong nggonggong” memadukan nama tokoh wayang dengan perilaku binatang, seakan menghadirkan kelucuan sekaligus kritik sosial.
Puisi "Tri" karya Suripan Sadi Hutomo menegaskan bahwa puisi bukan sekadar medium menyampaikan pesan, melainkan juga ruang permainan bunyi, simbol, dan budaya. Melalui gaya yang menyerupai mantra dan lagu rakyat, puisi ini menghidupkan kembali kearifan lokal, sekaligus memberi pembaca pengalaman estetis yang unik—antara kegembiraan, keakraban budaya, dan kedalaman spiritual.

Puisi Tri
Puisi: Tri
Karya: Suripan Sadi Hutomo

Biodata Suripan Sadi Hutomo:
  1. Suripan Sadi Hutomo lahir pada tanggal 5 Februari 1940 di Ngawen, Blora.
  2. Suripan Sadi Hutomo meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 2001 di Surabaya.
© Sepenuhnya. All rights reserved.