Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ular Gunung (Karya Ook Nugroho)

Puisi "Ular Gunung" karya Ook Nugroho menampilkan makhluk simbolik — “Naga Lima Langkah” — sebagai kekuatan yang berbahaya, sabar, dan penuh ...
Ular Gunung
: Gao Xing Jian

Ada yang menamakan kami
Naga Lima Langkah
Sebab demikian pintar kami
                    Meracik bisa
Seakan iblis sendiri
Menanamkannya pada
            Taring waktu

Kemudian kami pun
Menunggu
            Sabar dan tak terburu
Sampai hewan atau kalian tersekap
        Dalam ini perangkap
Sempurna kami tebar
Supaya kami sisakan kemudian
                    Lima tindak
Untuk kalian melangkah
Sebelum rebah juga akhirnya
                    Dekat pagar belakang

Kuulangi, jadi itulah
Mengapa
            Mereka sebut kami
Naga Lima Langkah

Semua itu taklah mengejutkan
Bisa kau temukan pada
Lembar resmi ensiklopedia
Persis pada halaman
Bab reptilian darat
                Yang luput
        Tercatat di sana
Kami juga hidup aman
Melingkar samar
Dalam gelap belukar
Sanubari manusia
Seraya
        Menebar ini bisa
        Merata pada
Garis silsilah kalian:
Para makhluk jumawa
Turunan dewata?

2011

Sumber: Tanda-Tanda yang Bimbang (2013)

Analisis Puisi:

Puisi "Ular Gunung" karya Ook Nugroho menampilkan makhluk simbolik — “Naga Lima Langkah” — sebagai kekuatan yang berbahaya, sabar, dan penuh perhitungan. Dengan bahasa yang tegas namun puitis, penyair menggabungkan citra mitologis, biologi ensiklopedis, dan kritik sosial sehingga pembaca dihadapkan pada makna literal dan metaforis sekaligus.

Tema

Tema utama puisi ini adalah bahaya laten kekuasaan dan warisan racun (kekerasan, kebengisan, atau ideologi berbahaya) yang mengintai dalam sanubari manusia dan kebudayaan. Puisi juga mengangkat tema predatoris — bagaimana suatu kekuatan menunggu, meracik racun, dan kemudian mengendalikan korbannya.

Puisi bercerita tentang kelompok makhluk yang disebut “Naga Lima Langkah” — makhluk yang pintar meracik bisa, sabar menunggu, lalu menjebak mangsa dan menyisakan lima langkah terakhir bagi korbannya. Narator menjelaskan asal-usul nama itu, merujuk ensiklopedia untuk menegaskan klaimnya, lalu mengaitkannya dengan “garis silsilah” manusia — menyiratkan hubungan antara sifat predator pada hewan dan sisi jumawa atau turunannya pada manusia.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini meliputi beberapa lapisan:
  • Simbol politik/ideologis: “bisa” dan perangkap bisa dimaknai sebagai ide, kekuasaan, atau kekerasan yang dipersiapkan dan disebarkan secara sistematis.
  • Warisan moral: “merata pada garis silsilah kalian” menyiratkan bahwa kebengisan atau kesombongan diwariskan—bukan hanya biologis, melainkan budaya/sosial.
  • Kewaspadaan eksistensial: ajakan untuk menyadari ancaman yang tampak samar, bersembunyi dalam belukar batin manusia atau struktur sosial.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun: mencekam, dingin, penuh perhitungan. Ada rasa yang tenang namun mengancam — kesabaran predator, gelap belukar, taring waktu — semuanya menciptakan ketegangan yang terus meningkat sampai pembaca merasa terancam meski ancaman itu relative samar.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan-pesan yang muncul antara lain:
  • Berhati-hatilah terhadap kekuatan yang “meracik bisa” secara sistematis; mereka sabar dan mematikan.
  • Kenali bahaya yang bersembunyi dalam tradisi, silsilah, atau struktur yang tampak wajar (ensiklopedia, jargon ilmiah).
  • Kesombongan manusia (klaim sebagai “turunan dewata”) dapat menjadi celah bagi racun moral untuk menyebar — pemahaman dan kewaspadaan diperlukan agar tidak menjadi mangsa.

Imaji

Puisi ini kaya imaji konkret dan dramatis:
  • Imaji biologis/visual: “Meracik bisa”, “taring waktu”, “melingkar samar dalam gelap belukar” — membangkitkan bayangan predator yang mempersiapkan racun.
  • Imaji mekanis/ritual: “perangkap sempurna kami tebar” — visual jebakan yang dipasang dengan teliti.
  • Imaji genealogis/kultural: “garis silsilah kalian: Para makhluk jumawa / Turunan dewata?” — gambaran keluarga atau keturunan yang penuh klaim luhur namun rentan disusupi racun.

Majas

Beberapa majas menonjol:
  • Metafora: “Naga Lima Langkah” sebagai metafor kekuatan mematikan yang bersifat strategis.
  • Personifikasi: “Menanamkannya pada / Taring waktu” — seolah waktu memiliki taring yang bisa diberi racun.
  • Ironi: rujukan pada “lembar resmi ensiklopedia” yang menunjukkan kebenaran ilmiah, namun justru menyamarkan bahaya moral yang sama nyata.
Puisi "Ular Gunung" adalah puisi yang memadukan naturalisme dan alegori moral-politik: makhluk reptil jadi cermin untuk sisi predatori dalam masyarakat dan sejarah. Dengan suasana mencekam, imaji kuat, serta majas yang efektif, Ook Nugroho mengajak pembaca waspada terhadap racun—baik yang literal maupun simbolik—yang sabar ditanam dalam tataran pribadi ataupun kolektif. Puisi ini bukan hanya deskripsi binatang, melainkan peringatan tentang bagaimana kekuasaan dan kesombongan dapat menjadi racun yang mewariskan kehancuran.

Ook Nugroho
Puisi: Ular Gunung
Karya: Ook Nugroho

Biodata Ook Nugroho:
  • Ook Nugroho lahir pada tanggal 7 April 1960 di Jakarta, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.