Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ya Allah, Mereka Berperang (Karya Frans Nadjira)

Puisi "Ya Allah, Mereka Berperang" karya Frans Nadjira bercerita tentang jeritan manusia kepada Tuhan ketika perang berlangsung. Dari bait ke bait, ..
Ya Allah, Mereka Berperang

Ya Allah, mereka berperang
Mereka bertempur. Pucuk manis bunga kurmaku
gugur tertebas sayap-sayap elang timah. Bum!
Desing angin pasir
Berpusing menerbangkan panas ke angkasa

Sukma teluk telusuri kembali awal asalmu
Setiap lekuk Tepi air
Mengalir dalam darahmu Dalam sumsumku
Langit bercermin di laut dalam. Mana wajah mentari.
Engkau janjikan daratan luas
Tempat anakmu bermain di pangkuan
hangat bumi. Bumi kita
tempat berteduh lebah-lebah kasih.

Mana payung yang kembang di cerah cuaca
Yang tangkainya kita pegang bersama
Mana sampan yang hilir di madu sungai
Yang dayungnya kita genggam bersama. Bulan
Lingkar cahayamu tak lagi menjadi kalung langit.

Gunung, tulang, lengking angkasa
kapan akhir pedih ini? Di lembah mana
kau sembunyikan anak-anak kami
yang lepas dari susu ibunya. Sungai kering
kehidupan yang batu-batunya berbenturan
menghantam langit
memadamkan cahaya bintang

Ya Allah, mereka berperang. Siapa yang tersisa
Menghitung kunang-kunang di antara bau anyir
malam. Bau kerang yang kulitnya terbuka menganga.
Dan pada lambaian terakhir tangan-tangan pucat
Embun menciptakan aroma manis kurma
Yang tak lagi ditemukan tempat tumbuhnya.

Sumber: Jendela Jadikan Sajak (2003)

Analisis Puisi:

Puisi "Ya Allah, Mereka Berperang" karya Frans Nadjira adalah jeritan batin seorang penyair yang menyaksikan nestapa manusia akibat perang. Dalam rangkaian larik yang penuh simbol, Frans Nadjira menghadirkan kesedihan, doa, sekaligus protes puitis terhadap kegilaan peperangan yang menghancurkan kehidupan. Puisi ini tidak hanya memotret realitas, tetapi juga menjadi renungan spiritual yang dalam.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perang dan penderitaan manusia. Frans Nadjira dengan lantang menggambarkan betapa perang merenggut kehidupan, memusnahkan harapan, serta menghancurkan segala yang indah di bumi.

Puisi ini bercerita tentang jeritan manusia kepada Tuhan ketika perang berlangsung. Dari bait ke bait, penyair menggambarkan runtuhnya kehidupan: gugurnya bunga kurma, anak-anak yang tercerabut dari ibunya, hingga langit yang kehilangan cahayanya. Penyair menyaksikan semua itu sebagai kenyataan pahit dan memohon kepada Tuhan agar penderitaan tersebut segera berakhir.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap perang yang merampas kemanusiaan. Frans Nadjira menyiratkan bahwa perang tidak hanya memusnahkan fisik, tetapi juga menghancurkan nilai kasih, persaudaraan, dan harapan hidup. Ada pula kerinduan mendalam akan perdamaian, sebuah dunia di mana manusia bisa berbagi kehidupan seperti berbagi payung di bawah cerah cuaca atau mengayuh sampan bersama di sungai madu.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini didominasi oleh kesedihan, kepiluan, dan keputusasaan, bercampur dengan doa dan harapan yang hampir putus. Larik-lariknya penuh dengan kepedihan karena perang, tetapi sekaligus ada nuansa spiritual berupa doa kepada Tuhan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama puisi ini adalah ajakan untuk menolak perang dan menjaga perdamaian. Frans Nadjira ingin mengingatkan bahwa bumi adalah tempat bersama, tempat kasih tumbuh, tempat anak-anak bermain, bukan ladang pembantaian. Amanatnya jelas: perang hanya melahirkan luka, sementara perdamaian adalah jalan kehidupan.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual, auditif, dan kinestetik. Misalnya:
  • Visual: “Pucuk manis bunga kurmaku gugur tertebas sayap-sayap elang timah” menghadirkan bayangan kehancuran.
  • Auditif: “Bum! Desing angin pasir” menimbulkan efek bunyi ledakan perang.
  • Kinestetik: “Sungai kering kehidupan yang batu-batunya berbenturan menghantam langit” menggambarkan gerak bencana yang menghancurkan.
Imaji ini membuat pembaca seakan-akan ikut merasakan kehancuran akibat perang.

Majas

Frans Nadjira menggunakan berbagai majas untuk memperkuat daya ungkap puisinya, di antaranya:
  • Personifikasi: “Langit bercermin di laut dalam” memberi sifat manusia pada alam.
  • Metafora: “Sayap-sayap elang timah” melambangkan peluru mematikan.
  • Hiperbola: “Sungai kering kehidupan yang batu-batunya berbenturan menghantam langit” melebih-lebihkan gambaran kehancuran demi mempertegas tragedi.
  • Repetisi: pengulangan seruan “Ya Allah, mereka berperang” menegaskan intensitas penderitaan dan doa.
Puisi "Ya Allah, Mereka Berperang" karya Frans Nadjira adalah potret kepedihan manusia yang ditumpahkan dengan penuh intensitas. Tema tentang perang digarap dengan bahasa puitis yang kaya akan imaji dan majas, sehingga melahirkan suasana duka sekaligus renungan mendalam. Melalui karya ini, Frans Nadjira menyampaikan pesan bahwa perang hanya meninggalkan luka, sedangkan perdamaian adalah harapan yang harus terus diperjuangkan.

Frans Nadjira
Puisi: Ya Allah, Mereka Berperang
Karya: Frans Nadjira

Biodata Frans Nadjira
  1. Frans Nadjira lahir pada tanggal 3 September 1942 di Makassar, Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.