Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sajak Agustus (Karya Ni Made Purnama Sari)

Puisi "Sajak Agustus" karya Ni Made Purnama Sari bercerita tentang sungai kehidupan yang terus mengalir, membawa serta berbagai hal di dalamnya.

Sajak Agustus


Ada batu di sungai
Sendiri di air
Siapakah ia
pertapa atau cuma
seekor ikan durhaka?

Sebuah ranting terjatuh
terbawa arus
adakah ia
untuk kita?
Sebuah sampan nelayan
tak pergi ke hulu
atau ke tepian yang teduh
mengayuh menempuh buih

Kita tak punya sampan
atau kata-kata
Cuma punya tanya
sungai mengalir, entah ke muara
atau ke laut yang sia-sia.

Ada batu di sungai
dan ranting kayu
menolak terbawa arus

Agustus, 2006

Sumber: Bali Borneo (Halaman Moeka Publishing, 2014)

Analisis Puisi:

Puisi "Sajak Agustus" karya Ni Made Purnama Sari menawarkan refleksi mendalam tentang kehidupan, perjalanan, dan pertanyaan eksistensial manusia. Dengan menggunakan citraan sungai, batu, ranting, dan sampan, penyair menyajikan gambaran simbolis mengenai keterasingan, pilihan, dan arah hidup. Meski judulnya menyebut “Agustus” — bulan yang identik dengan kemerdekaan di Indonesia — puisi ini tidak secara langsung mengumandangkan heroisme, melainkan justru menyuguhkan renungan yang penuh tanda tanya.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perjalanan hidup dan keterasingan manusia dalam arus zaman. Ada pencarian makna, ada keinginan untuk menemukan arah, tetapi juga muncul keraguan dan kesadaran akan keterbatasan. Dengan meminjam simbol-simbol sungai dan benda-benda di dalamnya, penyair menghadirkan pertanyaan tentang eksistensi, kebebasan, dan perlawanan.

Puisi ini bercerita tentang sungai kehidupan yang terus mengalir, membawa serta berbagai hal di dalamnya. Ada batu yang tetap bertahan meski dikepung arus, ada ranting yang hanyut tanpa daya, dan ada sampan nelayan yang tidak tahu ke mana harus berlayar. Semua itu menggambarkan kondisi manusia: ada yang teguh melawan arus, ada yang pasrah terbawa keadaan, dan ada pula yang bingung menentukan arah perjalanan hidupnya.

Di dalamnya juga terdapat kegelisahan kolektif: “Kita tak punya sampan / atau kata-kata / Cuma punya tanya” — seakan-akan penyair ingin mengatakan bahwa manusia sering kali terjebak dalam ketidakberdayaan menghadapi kenyataan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa hidup adalah arus yang tak terelakkan, dan setiap manusia dihadapkan pada pilihan: melawan, terbawa, atau berhenti mencari arah. Batu yang “sendiri di air” bisa dimaknai sebagai simbol keteguhan atau keasingan. Ranting yang hanyut bisa menjadi gambaran tentang rapuhnya hidup, sementara sampan yang tidak jelas tujuannya melambangkan kebingungan manusia dalam menentukan jalan.

Judul “Agustus” mungkin juga memberikan konteks bahwa pertanyaan-pertanyaan ini hadir dalam bingkai kebangsaan: setelah merdeka, ke mana bangsa ini diarahkan? Apakah tetap teguh, hanyut, atau kehilangan arah?

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini cenderung melankolis, kontemplatif, dan penuh tanda tanya. Tidak ada keriuhan perayaan, melainkan kesenyapan sungai yang membawa renungan. Kata-kata seperti “sia-sia”, “sendiri”, dan “cuma punya tanya” menegaskan suasana resah, ragu, dan pencarian yang belum menemukan jawaban.

Amanat / Pesan

Pesan yang bisa dipetik dari puisi ini adalah:
  • Hidup harus dihadapi dengan kesadaran dan pilihan yang tegas, meski arusnya deras dan penuh ketidakpastian.
  • Jangan hanya hanyut tanpa arah; manusia perlu menemukan pegangan agar tidak larut dalam kesia-siaan.
  • Dalam konteks kebangsaan, kemerdekaan bukan sekadar bebas, tetapi juga harus diarahkan dengan tujuan yang jelas agar tidak kehilangan makna.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual:
  • “Ada batu di sungai / Sendiri di air” menghadirkan bayangan tentang benda yang kokoh tetapi terasing.
  • “Sebuah ranting terjatuh / terbawa arus” memberi gambaran rapuhnya kehidupan yang pasrah terhadap keadaan.
  • “Sebuah sampan nelayan / tak pergi ke hulu / atau ke tepian yang teduh” menciptakan bayangan tentang ketidakpastian arah.
Selain visual, imaji gerak juga kuat, misalnya dalam larik “mengayuh menempuh buih” yang menghidupkan suasana perjalanan di sungai.

Majas

Beberapa majas yang hadir dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – Sungai, batu, ranting, dan sampan menjadi lambang perjalanan hidup manusia, keteguhan, kelemahan, serta kebingungan.
  • Personifikasi – Ranting yang “menolak terbawa arus” seakan-akan memiliki kehendak sendiri.
  • Simbolisme – Seluruh unsur alam dalam puisi ini berfungsi sebagai simbol kondisi eksistensial dan sosial manusia.
  • Interogasi retoris – Pertanyaan-pertanyaan seperti “Siapakah ia / pertapa atau cuma / seekor ikan durhaka?” menunjukkan keraguan yang tak butuh jawaban literal, melainkan renungan.
Puisi "Sajak Agustus" karya Ni Made Purnama Sari menghadirkan refleksi mendalam tentang hidup dan arah perjalanan manusia. Dengan tema perjalanan eksistensial, cerita tentang sungai dan isinya, serta makna tersirat yang mengarah pada pilihan antara teguh, hanyut, atau bingung menentukan tujuan, puisi ini menjadi pengingat agar manusia tidak hanya pasrah pada arus kehidupan. Imaji yang kuat dan majas yang padat membuat puisi ini kaya akan lapisan tafsir.

Agustus di sini sukan sekadar bulan kemerdekaan, melainkan juga momentum untuk bertanya: sudahkah kita benar-benar merdeka dalam menentukan arah hidup, baik sebagai individu maupun bangsa?

Ni Made Purnama Sari
Puisi: Sajak Agustus
Karya: Ni Made Purnama Sari

Biodata Ni Made Purnama Sari:
  • Ni Made Purnama Sari lahir pada tanggal 22 Maret 1989 di Bali.
© Sepenuhnya. All rights reserved.