Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sajak-Sajak Parewa (Karya Rusli Marzuki Saria)

Puisi "Sajak-Sajak Parewa" karya Rusli Marzuki Saria bercerita tentang tokoh parewa—sosok jantan, keras, dan penuh tantangan hidup—yang digambarkan ..
Sajak-Sajak Parewa

jangan bersedih parewa
bila ayammu tewas di medan laga
simpanlah taji
bawa pulang kembali emas di pura

"tidak, tidak! aku tidak bersedih
karena laut gemuruh
gunung-gunung menanti aku
gadis dengan mata taji ayam
perawan dengan perawas ranum
menanti aku!"

(di kendi-kendi tuak tua
di perian air jernih gunung
di sana dahaga kulepaskan
di balik purnama)

"aku ingin rumah yang tenang
di balik bukit
bila matahari tenggelam
aku ngintip jejak yang lekang."

"ayamku sudah tua
kalah bertarung di medan laga
tajiku sudah mundu
kilatnya, wahai karat maut di sana!"

jangan dendam parewa
tua datang tak diundang
tuak tua banyak raginya
kelapa tua banyak minyaknya

"aku tidak takut hantu hutan
aku tidak takut jumlang lapar
nantikan aku di kelok-kelok jalan hutan
jangan sapa kudaku si hitam besi."

(gadis-gadis menanti aku
dan kemarau datang di hatinya
perempuan-perempuan menantiku
gabak bertakhta di pelupuk mata.

kubawa nasib hitam nenek-nenekku
kubawa tembilang ayam jantanku
kudaku meringkik
ditelan udara
                pip
                pip
                po
                po, po

                pip
                pip
                po
                po, po

merdunya
burung kecil
ditelan sipongang
lembah)

jangan bersedih, parewa
bila ayammu tewas di medan laga
simpanlah taji
bawa pulang kembali emas di pura!


***


beri aku kuda si gumarang
beri aku ayam jantan si kinantan
beri aku kerbau jantan si binuang
beri aku petir dan guruh tengah hari
beri aku gabak hitam di hulu
beri aku cewang di langit!

                beri aku darah yang jalang
                beri aku anak si ngiang-ngiang rimba
                beri aku sekeranjang kacang miang
                beri aku hutan penuh penyamun
                beri aku perompak lanun
                beri aku gergasi dan garuda
                beri aku si mambang dan peri
                beri aku jin baik dan jin buruk
                beri aku gagak-gagak
                beri aku elang-elang

beri aku putri lindung bulan
beri aku putri gelang banyak
beri aku putri duyung
beri aku putri si bunian
beri aku
beri aku!

senandung masakanak
wahai, tidak menidurkan tubuhku
perempuan-perempuan pulang mandi
di pancuran tujuh gunung
di kaki bukit

senandung masakanak
lebatnya hutan
parewa yang angkuh
membunuh bapaknya
parewa yang angkuh
membunuh ibunya


***


laut gemuruh
badai berembus
ketika itu
elang laut juga yang berkulin
tiga kali
tidak jadi batu
si malin kundang tidak durhaka kepada ibu
laut gemuruh
badai berembus

tiang dan temali
nakhoda laut gemuruh
campakkan usia muda tualang
amboi, di rumah berguna belum

"keratau madang
di hulu
berbuah berbunga
belum."

ketika itu
elang laut juga yang berkulin
berapa kali
laut gelisah
badai bergulung-gulung
menggunung

si malin
tidak durhaka
tidak jadi batu
karena gelisah laut
karena menggunung badai
dalam gelita

si malin kundang
kitalah si malin kundang itu
engkaulah si malin kundang itu
dialah si malin kundang itu
akulah si malin kundang itu!
di manakah engkau yang
bernama kegelisahan
itu?

di sini
di dada ini
di hati ini
di jantung ini
barangkali

laut gemuruh
badai berhembus
ketika itu
kutiduri ibuku sendiri
dalam mimpi
                elang laut berkulin
                                                berkulin
                                                                berkulin!


***


kau bunuh bapakmu
kau tiduri ibumu
puting susu
bunuh bapak
rasa bersaing
di balik topeng
angka lima Arab

sebatang rokok
yang disulut
di suatu sore berhujan
resahku
resah dia
resah kita

jangan mendekat
itu kelelawar senja
di gua-gua hitam
relung hatiku!

si Juki yang kalah main
ampok, ampok, ampok itu judi
di sini juga ada si sangkuriang
yang tiduri ibunya
ketika badai
di bawah pusar

adakah ia
bernama bujang Selamat
terbang enggang dari laut
hinggap di pucuk kelapa gading
hamilkan si Bunda Kandung
serta inangnya

perbukitan hitam
bagai ular tidur
kujamah mimpi-mimpi
di bawah bantal tua

inang, inangku
perempuan-perempuan pulang mandi
dari pancuran air bersih gunung
dadanya, wahai dadanya
puncak Singgalang berkabut
aku tidur di dadanya
dalam selimut awan putih

"bapak, bapak kataku dalam ngigau
mana kuda putihku
mana kuda hitamku
jumbalang lapar
aku ingin ngigau
di perut subur
yang lahirkan aku!"

topeng itu
angka lima Arab
mengajarku mimpi
ku kejar mimpi
(tetapi lelaki berhutan lebat itu: Freud
dalam mimpi
kau bunuh bapakmu
kau tiduri ibumu)

1972

Sumber: Parewa (1998)

Analisis Puisi:

Puisi "Sajak-Sajak Parewa" karya Rusli Marzuki Saria adalah salah satu karya penting dalam sastra Indonesia modern yang sarat simbol, mitos, dan kritik sosial. Puisi ini bukan sekadar sajak biasa, melainkan juga menghadirkan pergulatan manusia dengan nasib, sejarah, dan tradisi. Melalui bahasa yang padat, metaforis, dan penuh kiasan, penyair membangun dunia simbolik yang berlapis-lapis—dari pertarungan ayam jantan, tokoh-tokoh mitologis, hingga mitos Malin Kundang—untuk menyuarakan kegelisahan manusia.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pergulatan hidup manusia dengan nasib, sejarah, dan mitos. Penyair menghadirkan kisah-kisah simbolik tentang pertarungan, tradisi, hingga konflik batin manusia. Ada pula sisi tema tentang pemberontakan dan kegelisahan eksistensial, di mana manusia dihadapkan pada dilema antara takdir dan pilihan.

Puisi ini bercerita tentang tokoh parewa—sosok jantan, keras, dan penuh tantangan hidup—yang digambarkan melalui simbol ayam laga, kuda, tuak, hutan, hingga tokoh mitos Nusantara. Pada bagian lain, puisi ini juga menyentuh kisah Malin Kundang yang biasanya dikutuk menjadi batu karena durhaka kepada ibu. Namun dalam puisi ini, kisah itu dibalik: Malin Kundang tidak menjadi batu, melainkan tetap hidup sebagai simbol manusia yang gelisah, penuh konflik batin, bahkan melakukan tindakan-tindakan yang tabu.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap manusia modern yang terjebak dalam lingkaran kekerasan, hasrat, dan pemberontakan terhadap akar tradisi. Simbol-simbol ayam laga, tuak, hingga tokoh mitos dijadikan metafora bagi manusia yang selalu bertarung dengan nasibnya. Selain itu, puisi ini menyiratkan bahwa dalam diri manusia ada kegelisahan purba: keinginan melawan takdir, ketakutan akan usia tua, dan pergulatan dengan dosa-dosa batin.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini gelap, keras, dan penuh kegelisahan. Penyair membawa pembaca pada suasana pertarungan, badai laut, pekatnya hutan, hingga deskripsi yang mengandung kesan mistis dan tragis. Meski demikian, ada pula nuansa perlawanan yang tegas, seakan penyair ingin menegaskan keberanian manusia menghadapi segala risiko hidup.

Amanat / pesan yang disampaikan

Pesan yang dapat dipetik dari puisi ini adalah bahwa hidup manusia adalah arena pertarungan yang tak terhindarkan. Kegagalan, usia tua, rasa bersalah, bahkan mitos masa lalu adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus dihadapi. Penyair seolah mengingatkan bahwa manusia tidak bisa lari dari kegelisahan eksistensial, tetapi bisa memilih untuk menghadapinya dengan keberanian, meskipun penuh risiko.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat dan tajam, antara lain:
  • Imaji visual: “ayamku sudah tua, kalah bertarung di medan laga” → menghadirkan gambaran nyata pertarungan ayam.
  • Imaji auditif: “laut gemuruh, badai berembus” → membangun suasana mencekam dan gelisah.
  • Imaji kinestetik: “aku kayuh kegelapan”, “kudaku meringkik” → menghadirkan gerakan yang hidup.
  • Imaji erotis: “kau tiduri ibumu” → metafora ekstrem yang mengguncang, menggambarkan konflik hasrat dan tabu.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:

  • Metafora: Ayam laga, kuda, dan tokoh Malin Kundang dijadikan metafora bagi perjuangan, nasib, dan kegelisahan manusia.
  • Personifikasi: “laut gemuruh, badai berembus” digambarkan seakan memiliki kuasa dan kehendak sendiri.
  • Simile: “perbukitan hitam bagai ular tidur” → membandingkan bukit dengan makhluk hidup yang mengintai.
  • Repetisi: Pengulangan bunyi seperti “pip pip po po” menimbulkan efek musikal sekaligus magis.
  • Hiperbola: “beri aku gergasi dan garuda” → permintaan yang berlebihan untuk menegaskan keberanian dan kegelisahan.

Puisi "Sajak-Sajak Parewa" karya Rusli Marzuki Saria adalah karya yang kompleks, penuh simbol, dan sarat kritik sosial serta eksistensial. Dengan tema pergulatan hidup, puisi ini bercerita tentang manusia yang terjebak dalam tradisi, mitos, dan pertarungan batin. Makna tersiratnya adalah bahwa manusia selalu diliputi kegelisahan dan konflik dengan nasib, bahkan ketika mencoba melawan takdir. Suasana puisi yang gelap dan penuh ketegangan diperkuat oleh imaji serta majas yang kaya. Pada akhirnya, puisi ini memberi pesan bahwa hidup adalah pertarungan yang tak bisa dihindari, dan manusia harus berani menghadapinya, meski penuh luka dan kegagalan.

Rusli Marzuki Saria
Puisi: Sajak-Sajak Parewa
Karya: Rusli Marzuki Saria

Biodata Rusli Marzuki Saria:
  • Rusli Marzuki Saria lahir pada tanggal 26 Februari 1936 di Kamang, Bukittinggi.
© Sepenuhnya. All rights reserved.