Ah, Alam Semakin Cemar
kurasa
alam semakin cemar
kali bening entah ke mana
mungkin malu
dan bersembunyi di langit jingga
burung pipit mungil
termangu terus
kicaunya hilang ditelan kegersangan
matahari jadi enggan berpijar
sinarnya tak lagi mesra ceria
kurasa
alam semakin cemar
entah mengapa
Sumber: Si Kuncung (Th. XXV, No. 17, 1980)
Analisis Puisi:
Puisi “Ah, Alam Semakin Cemar” karya Lita Hardono menyoroti persoalan lingkungan dengan nada lirih dan penuh keprihatinan. Penyair menggambarkan perubahan alam yang semakin rusak akibat ulah manusia, sehingga keindahan dan keseimbangan yang dulu ada kini memudar.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kerusakan lingkungan dan kepedihan atas hilangnya keindahan alam. Melalui penggambaran sederhana namun menyentuh, penyair menyampaikan kesedihan atas perubahan alam yang semakin tercemar dan kehilangan pesonanya.
Puisi ini bercerita tentang kesadaran dan keprihatinan seseorang terhadap kondisi alam yang memburuk. Penyair menyoroti bagaimana sungai yang dulunya bening kini menghilang, burung-burung kehilangan kicauannya, dan matahari pun tampak enggan bersinar cerah. Semua gambaran ini mencerminkan dunia yang semakin muram karena ulah manusia yang merusak keseimbangan alam.
Makna tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik halus terhadap perilaku manusia yang tidak lagi menjaga kelestarian alam. Alam yang “cemar” menjadi simbol kerusakan moral dan ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan. Penyair ingin menyadarkan pembaca bahwa ketika alam menderita, manusia pun akan kehilangan sumber kehidupan dan keindahan yang seharusnya mereka syukuri.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini terasa sendu, muram, dan penuh penyesalan. Diksi seperti “burung pipit mungil termangu” dan “matahari jadi enggan berpijar” menciptakan kesan sepi dan kehilangan. Penyair seolah berdiri di tengah dunia yang dulu indah, kini berubah menjadi suram dan tidak bersahabat lagi.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan perasaan, seperti gambaran “kali bening entah ke mana”, “burung pipit mungil termangu”, dan “matahari jadi enggan berpijar”. Imaji tersebut membantu pembaca membayangkan secara konkret bagaimana perubahan alam membuat suasana menjadi gersang dan kehilangan kehidupan.
Majas
Beberapa majas yang muncul antara lain:
- Personifikasi, misalnya “matahari jadi enggan berpijar” dan “burung pipit mungil termangu”, yang memberi sifat manusia pada unsur alam untuk menambah kesan emosional.
- Metafora, pada baris “mungkin malu dan bersembunyi di langit jingga”, menggambarkan air sungai yang hilang seolah bersembunyi karena tercemar.
- Repetisi, pada pengulangan frasa “kurasa/ alam semakin cemar”, yang memperkuat pesan utama dan perasaan prihatin penyair.
Amanat / Pesan yang disampaikan
Amanat puisi ini adalah ajakan agar manusia kembali peduli terhadap alam dan menjaga kebersihannya. Penyair mengingatkan bahwa alam bukan sekadar latar kehidupan, melainkan bagian penting dari keberlangsungan hidup manusia. Jika manusia terus merusaknya, maka keindahan, kesejukan, dan keseimbangan dunia akan ikut hilang.
Puisi “Ah, Alam Semakin Cemar” adalah seruan lembut namun kuat tentang pentingnya menjaga bumi. Dengan diksi sederhana, Lita Hardono berhasil menyampaikan pesan ekologis yang menyentuh: bahwa alam yang tercemar adalah cermin nurani manusia yang mulai pudar.
Karya: Lita Hardono