Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Aku Senantiasa Menyeru (Karya Dimas Arika Mihardja)

Puisi “Aku Senantiasa Menyeru” menampilkan potret kegelisahan terhadap ketimpangan sosial dan penderitaan rakyat kecil yang terabaikan oleh mereka ...
Aku Senantiasa Menyeru

Aku senantiasa menyeru tanpa jemu ketika sawah-sawah
rekah dan bumi tengadah memeram wajah-wajah
gelisah petani yang menggigil. aku
senantiasa tiada lelah memapah jiwa-jiwa resah
menuju lembah-lembah yang dibanjiri darah. aku
terus melangkah mengucurkan darah ketika penyair
kehilangan kata-kata karena bahasa telah pecah
berdarah-darah

Maka aku senantiasa menyeru jiwa-jiwa batu
agar selalu ingat keringat rakyat yang dengan
tangan-tangan penuh lumpur mengaduk-aduk nasib
mengolah masa depan yang suram
aku senantiasa menyeru kamu yang dengan kejam
memakan insan-insan malang

Aku senantiasa menyeru kamu yang tanpa ragu
memangsa sesama yang begitu menderita
senantiasa menyeru kamu yang tanpa perasaan
memakan masa depan demi memuaskan
nafsu-nafsu menggebu.

Malang, 1996

Analisis Puisi:

Puisi “Aku Senantiasa Menyeru” karya Dimas Arika Mihardja merupakan salah satu karya yang sarat dengan kekuatan sosial dan nurani kemanusiaan. Dengan gaya bahasa yang tegas dan penuh intensitas emosional, penyair menampilkan potret kegelisahan terhadap ketimpangan sosial dan penderitaan rakyat kecil yang terabaikan oleh mereka yang berkuasa dan serakah.

Tema

Tema utama puisi ini adalah seruan kemanusiaan dan perlawanan terhadap ketidakadilan sosial. Penyair menghadirkan sosok “aku” yang berperan sebagai suara nurani masyarakat tertindas — menyeru tanpa henti terhadap penderitaan yang dialami oleh petani, rakyat kecil, dan mereka yang menjadi korban kerakusan segelintir orang. Tema ini menunjukkan kepedulian mendalam terhadap nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan kesetiaan pada kemanusiaan.

Puisi ini tidak sekadar menjadi luapan emosi, tetapi juga manifestasi moral seorang penyair yang menolak diam di tengah kenyataan pahit rakyatnya. Seruan yang diulang-ulang menjadi simbol semangat perjuangan dan tekad untuk terus bersuara melawan kezaliman.

Puisi ini bercerita tentang suara penyair yang tidak pernah berhenti menyeru — menyeru kepada hati nurani manusia agar tidak melupakan penderitaan rakyat kecil, terutama petani yang hidup dalam kesulitan dan ketidakadilan.

Pada bait pertama, penyair menggambarkan kegelisahan rakyat yang bekerja keras di sawah, namun tetap menggigil dalam penderitaan karena hasil kerja mereka tak sebanding dengan jerih payah yang dikeluarkan. Kata-kata seperti “sawah-sawah rekah dan bumi tengadah memeram wajah-wajah gelisah petani yang menggigil” memperlihatkan betapa getirnya kehidupan mereka.

Sementara pada bait-bait berikutnya, penyair mengarahkan seruannya kepada “jiwa-jiwa batu” — metafora bagi mereka yang berhati keras, penguasa atau elit yang lupa akan jerih payah rakyat. Mereka digambarkan sebagai pihak yang “memakan insan-insan malang” dan “memangsa sesama” demi memenuhi “nafsu-nafsu menggebu”.
Kisah ini merefleksikan realitas sosial di mana ketamakan mengorbankan kemanusiaan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik terhadap dehumanisasi dan kerakusan manusia yang mengabaikan penderitaan sesama.

Penyair menegaskan bahwa kemajuan atau kekuasaan tidak seharusnya dibangun di atas penderitaan rakyat. “Aku senantiasa menyeru” menjadi simbol keteguhan moral dan suara kebenaran yang tidak boleh padam meskipun dunia menjadi semakin keras dan penuh ketidakadilan.

Makna lain yang tersirat adalah panggilan spiritual dan moral bagi penyair itu sendiri, agar tidak kehilangan peran sosialnya di tengah masyarakat. Saat penyair “kehilangan kata-kata karena bahasa telah pecah berdarah-darah,” itu adalah simbol krisis kemanusiaan — ketika kejahatan terlalu besar untuk diungkapkan, bahkan oleh bahasa puisi sekalipun. Namun, sang “aku” tetap menyeru, menunjukkan perlawanan moral yang abadi.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun dalam puisi ini adalah muram, tegang, dan penuh keprihatinan sosial. Ada nuansa getir dari kehidupan petani, aroma darah yang simbolik terhadap penderitaan rakyat, serta amarah yang terpendam terhadap mereka yang menindas. Namun di balik itu, juga terasa semangat perlawanan dan tekad moral yang kokoh, seolah penyair ingin menegaskan bahwa suara nurani tidak akan pernah padam, bahkan di tengah kegelapan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang terkandung dalam puisi ini adalah ajakan untuk tidak berpaling dari penderitaan rakyat kecil.

Penyair menyerukan agar manusia, terutama mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan, tidak menjadi “jiwa-jiwa batu” yang kehilangan empati. Puisi ini juga mengingatkan bahwa tugas penyair dan manusia berakal adalah menjaga nurani kemanusiaan agar tetap hidup.

Selain itu, ada pesan moral yang kuat bahwa perjuangan menegakkan kebenaran harus dilakukan terus-menerus, meskipun dunia tampak tak peduli. Seruan tanpa henti dalam puisi ini menjadi simbol bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan adalah tugas yang tak boleh berhenti.

Imaji

Puisi ini menonjolkan imaji visual dan imaji perasaan (emosional) yang sangat kuat. Beberapa contoh imaji visual yang mencolok antara lain:
  • “sawah-sawah rekah dan bumi tengadah memeram wajah-wajah gelisah petani yang menggigil” — menggambarkan kondisi rakyat miskin di tengah alam yang seolah turut bersedih.
  • “lembah-lembah yang dibanjiri darah” — menciptakan imaji penderitaan sosial yang luas dan tragis.
  • “bahasa telah pecah berdarah-darah” — menghadirkan citra simbolik tentang luka dan krisis moral yang bahkan menodai bahasa dan seni.
Imaji ini tidak hanya menggugah penglihatan, tetapi juga menyentuh perasaan pembaca, membuat mereka merasakan kepedihan dan kemarahan yang sama seperti penyair.

Majas

Dimas Arika Mihardja menggunakan banyak majas perbandingan, personifikasi, dan hiperbola untuk memperkuat daya pukau puisinya. Beberapa di antaranya adalah:

Majas personifikasi:
  • “bumi tengadah memeram wajah-wajah gelisah” — bumi digambarkan seperti makhluk hidup yang turut menyaksikan penderitaan manusia.
  • “bahasa telah pecah berdarah-darah” — bahasa dipersonifikasikan seolah dapat terluka oleh realitas yang kejam.
Majas metafora:
  • “jiwa-jiwa batu” — menggambarkan manusia berhati keras, tanpa empati.
  • “mengaduk-aduk nasib” — bukan secara harfiah, melainkan menggambarkan perjuangan rakyat yang terus berusaha memperbaiki kehidupan.
Majas hiperbola:
  • “lembah-lembah yang dibanjiri darah” — menggambarkan penderitaan besar yang meluas, bukan dalam arti fisik tetapi simbolik.
Pemakaian majas ini memperkaya kekuatan ekspresif puisi dan mempertegas pesan moralnya.

Puisi “Aku Senantiasa Menyeru” merupakan cermin nurani seorang penyair yang tidak bisa diam di tengah penderitaan sosial. Melalui pengulangan frasa “aku senantiasa menyeru,” Dimas Arika Mihardja menegaskan semangat abadi untuk terus bersuara demi keadilan, kemanusiaan, dan kebenaran. Puisi ini tidak hanya menjadi karya sastra, tetapi juga manifesto moral tentang tanggung jawab manusia terhadap sesamanya.

Dengan tema yang kuat, imaji yang tajam, dan bahasa yang penuh perlawanan, puisi ini menjadi seruan abadi bagi nurani — agar kita tidak menjadi “jiwa-jiwa batu” di tengah lautan penderitaan.

"Puisi Dimas Arika Mihardja"
Puisi: Aku Senantiasa Menyeru
Karya: Dimas Arika Mihardja
© Sepenuhnya. All rights reserved.