Analisis Puisi:
Puisi "Alang-Alang" karya Abdul Wachid B. S. adalah karya yang penuh energi, kritik, dan perlawanan. Dengan mengambil simbol alang-alang—rumput liar yang sulit dimusnahkan—penyair menggambarkan daya tahan rakyat dalam menghadapi represi kekuasaan dan tipu daya politik. Kita dapat merasakan semangat demokrasi, penderitaan rakyat, sekaligus harapan yang tak pernah padam.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan, penindasan, dan kebohongan politik. Alang-alang menjadi lambang keteguhan hati nurani rakyat yang meski diinjak, ditebas, atau dibakar, akan selalu tumbuh kembali.
Puisi ini bercerita tentang kondisi bangsa yang penuh luka. Kekuasaan digambarkan sebagai candu yang meracuni udara. Para penguasa dan politisi digambarkan sebagai hipokrit yang memanipulasi demokrasi demi kepentingan sendiri. Rakyat menderita, mahasiswa bergerak, dan suara perlawanan muncul di jalanan, kampus, hingga sawah-sawah. Alang-alang hadir sebagai saksi sekaligus simbol perlawanan: menembus sepatu serdadu, merambati tembok istana, hingga menjelma pena di ruang parlemen.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap sistem politik yang penuh kepalsuan. Demokrasi hanya menjadi jargon kosong yang dimainkan para politisi untuk mempertahankan kuasa. Namun, penyair juga menegaskan bahwa kekuatan rakyat tidak bisa dipadamkan. Alang-alang, meski dianggap rumput liar, melambangkan daya juang yang tak pernah mati. Ia menjadi representasi hati nurani rakyat yang kelak bisa berubah menjadi bendera perjuangan atau senjata perlawanan.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini terasa tegang, getir, penuh amarah, namun juga menyimpan harapan. Ketegangan tercipta lewat gambaran darah, jalan buntu, penyamun, dan politisi yang berkhianat. Getir terasa dalam suara rakyat yang lelah dan sangsi. Namun, ada pula semangat yang membara: alang-alang tetap tumbuh, tetap menyala, tetap hadir sebagai tanda harapan bahwa rakyat tidak pernah benar-benar kalah.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah ajakan untuk tidak menyerah pada ketidakadilan. Rakyat, mahasiswa, dan semua elemen bangsa diminta tetap bersatu, menjaga suara hati nurani, dan melawan kebohongan politik. Demokrasi sejati hanya mungkin lahir jika rakyat tidak diam dan terus memperjuangkan kebenaran. Alang-alang, meskipun kecil, bisa menjadi kekuatan besar bila tumbuh bersama-sama.
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji visual dan imaji gerak. Beberapa contohnya:
- “Alang-alang basah oleh darah” — menghadirkan imaji visual yang kuat tentang kekerasan.
- “Alang-alang nusuk sepatu serdadu” — menciptakan imaji gerak yang melawan penindasan.
- “Nyanyi pasemon bocah entah buat siapa / Esok tempe, Mas, sore tahu” — imaji suara yang menyindir realitas sosial.
- “Darah mengalir air / Membentur batu-batu” — imaji visual sekaligus simbolis tentang penderitaan yang tak terbendung.
Imaji ini memperkuat simbol alang-alang sebagai rumput yang tak bisa dikalahkan, sekaligus lambang kekuatan rakyat.
Majas
Puisi ini juga dipenuhi dengan majas yang mempertegas makna:
- Metafora: alang-alang dipersonifikasikan sebagai simbol hati nurani rakyat.
- Personifikasi: “udara mabuk candu kekuasaan sang Raja” memberi nyawa pada udara untuk menunjukkan rusaknya tatanan.
- Repetisi: frasa “alang-alang” diulang berkali-kali untuk menegaskan daya tahan dan kekuatannya.
- Ironi: “Hiduplah demokrasi negeri!” yang diteriakkan para penyamun menggambarkan kontradiksi antara kata dan kenyataan.
- Simbolisme: darah, tombak, alang-alang, dan pelangi demokrasi menjadi simbol kondisi bangsa.
Puisi "Alang-Alang" karya Abdul Wachid B. S. adalah karya yang tajam, penuh kritik, dan sarat simbol perlawanan. Ia mengingatkan kita bahwa demokrasi sejati tidak bisa lahir dari politik kepalsuan, melainkan dari hati nurani rakyat yang teguh. Alang-alang, yang dianggap rumput liar, justru menjelma simbol keteguhan, keberanian, dan harapan.
Dengan bahasa yang kaya akan imaji dan majas, puisi ini tidak hanya menjadi potret kondisi sosial-politik, tetapi juga menjadi seruan perjuangan agar bangsa tidak tenggelam dalam tipu daya penguasa, melainkan bangkit bersama hati nurani rakyat.
Karya: Abdul Wachid B. S.