Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Alang-Alang (Karya Abdul Wachid B. S.)

Puisi "Alang-Alang" karya Abdul Wachid B. S. mengingatkan kita bahwa demokrasi sejati tidak bisa lahir dari politik kepalsuan, melainkan dari hati ...
Alang-Alang

Alang-alang basah oleh darah
Tak di taman tak di hutan
Alang-alang akan terus tumbuh
Tak kemarau tak penghujan

Alang-alang nusuk sepatu serdadu
Alang-alang merambati tembok istana
Alang-alang menyilet jidat rektorat
Alang-alang berdansa, jalanan berbatu

Kepala-kepala batu
Tangan-tangan batu
Di kampus dan jalanan terbuka
Udara mabuk candu kekuasaan sang Raja

Bumi telah pagi
Dan akan bangun tegak
Di tanah pertiwi
Kenapa langit bagai tombak?

Di ujung jalan buntu
Segerombolan penyamun teriak
“Hiduplah demokrasi negeri!”
Kemarin mereka mengecu
Atas nama bangsa yang gemah-ripah lohjinawi
Membunuh, sembari bersenyum gigi

Di tangga-tangga parlemen
Sekelompok Tuan Hipokrisi
Memainkan tongkat pesulap
“Jangan sentimen
Apalagi apriori
Kami akan ciptakan demokrasi kelas kakap!”
Kata mereka

Maka
Sayup-sayup di antara
Gubuk-gubuk orang ungsian
Nyanyi pasemon bocah entah buat siapa
“Esok tempe, Mas, sore tahu
Kemarin dukung rame-rame, Mas,
Esok bantai bahu-membahu”

Di tengah sawah
Holobis kuntul baris
Kita kini rakyat yang lelah
Kita kini bangsa yang sangsi
Oleh teka-teki yang bukan nasib
Oleh air liur politisi
Yang batin mendengkur

Jika petinggi dan politisi ngelindur
Demokrasi pelangi tak akan meluncur
Jalan-jalan, pohon, riuh-redam
Orang-orang mengasah saling dendam

Alang-alang basah oleh darah
Tak di taman tak di hutan
Alang-alang akan tambah tumbuh
Tak peduli irigasi, tak hirau kemarau

Alang-alang di pundak mahasiswa
Jadilah bendera
Alang-alang mengakar di tangan rakyat semesta
Menjelma senjata
Alang-alang merupa pena tajam, menari-nari
Di kubah parlemen
Tatkala orang-orang dalamnya sentimen
Tak bicara tanpa cahaya
Tak taktik bersama batin samodra
Tak merekam desir alang-alang
Yang nyanyikan hening dalam sembah
Hyang

Siang membara, Indonesia
Di lingkar khatulistiwa
Kita orang semua bersaudara
Tak tahankan lagi derita dan nestapa
Tanah basah embun, kemarin hijau zamrud
Telah terengah, gersang dan kian kalut

Darah mengalir air
Membentur batu-batu
Air mengalir airmata
Membentur batu-batu
Airmata mengalir samodra
Mengusung alang-alang
Ke tiap tidur dan jaga
Kita

Bismillah, Indonesia
Alang-alang itu tanpa pernah penat
Dialah hatinurani rakyat
Pohonkan jangan terlewat
Jika tak ingin tersengat.

1998 - 1999

Analisis Puisi:

Puisi "Alang-Alang" karya Abdul Wachid B. S. adalah karya yang penuh energi, kritik, dan perlawanan. Dengan mengambil simbol alang-alang—rumput liar yang sulit dimusnahkan—penyair menggambarkan daya tahan rakyat dalam menghadapi represi kekuasaan dan tipu daya politik.  Kita dapat merasakan semangat demokrasi, penderitaan rakyat, sekaligus harapan yang tak pernah padam.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan, penindasan, dan kebohongan politik. Alang-alang menjadi lambang keteguhan hati nurani rakyat yang meski diinjak, ditebas, atau dibakar, akan selalu tumbuh kembali.

Puisi ini bercerita tentang kondisi bangsa yang penuh luka. Kekuasaan digambarkan sebagai candu yang meracuni udara. Para penguasa dan politisi digambarkan sebagai hipokrit yang memanipulasi demokrasi demi kepentingan sendiri. Rakyat menderita, mahasiswa bergerak, dan suara perlawanan muncul di jalanan, kampus, hingga sawah-sawah. Alang-alang hadir sebagai saksi sekaligus simbol perlawanan: menembus sepatu serdadu, merambati tembok istana, hingga menjelma pena di ruang parlemen.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap sistem politik yang penuh kepalsuan. Demokrasi hanya menjadi jargon kosong yang dimainkan para politisi untuk mempertahankan kuasa. Namun, penyair juga menegaskan bahwa kekuatan rakyat tidak bisa dipadamkan. Alang-alang, meski dianggap rumput liar, melambangkan daya juang yang tak pernah mati. Ia menjadi representasi hati nurani rakyat yang kelak bisa berubah menjadi bendera perjuangan atau senjata perlawanan.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini terasa tegang, getir, penuh amarah, namun juga menyimpan harapan. Ketegangan tercipta lewat gambaran darah, jalan buntu, penyamun, dan politisi yang berkhianat. Getir terasa dalam suara rakyat yang lelah dan sangsi. Namun, ada pula semangat yang membara: alang-alang tetap tumbuh, tetap menyala, tetap hadir sebagai tanda harapan bahwa rakyat tidak pernah benar-benar kalah.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah ajakan untuk tidak menyerah pada ketidakadilan. Rakyat, mahasiswa, dan semua elemen bangsa diminta tetap bersatu, menjaga suara hati nurani, dan melawan kebohongan politik. Demokrasi sejati hanya mungkin lahir jika rakyat tidak diam dan terus memperjuangkan kebenaran. Alang-alang, meskipun kecil, bisa menjadi kekuatan besar bila tumbuh bersama-sama.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji visual dan imaji gerak. Beberapa contohnya:
  • “Alang-alang basah oleh darah” — menghadirkan imaji visual yang kuat tentang kekerasan.
  • “Alang-alang nusuk sepatu serdadu” — menciptakan imaji gerak yang melawan penindasan.
  • “Nyanyi pasemon bocah entah buat siapa / Esok tempe, Mas, sore tahu” — imaji suara yang menyindir realitas sosial.
  • “Darah mengalir air / Membentur batu-batu” — imaji visual sekaligus simbolis tentang penderitaan yang tak terbendung.
Imaji ini memperkuat simbol alang-alang sebagai rumput yang tak bisa dikalahkan, sekaligus lambang kekuatan rakyat.

Majas

Puisi ini juga dipenuhi dengan majas yang mempertegas makna:
  • Metafora: alang-alang dipersonifikasikan sebagai simbol hati nurani rakyat.
  • Personifikasi: “udara mabuk candu kekuasaan sang Raja” memberi nyawa pada udara untuk menunjukkan rusaknya tatanan.
  • Repetisi: frasa “alang-alang” diulang berkali-kali untuk menegaskan daya tahan dan kekuatannya.
  • Ironi: “Hiduplah demokrasi negeri!” yang diteriakkan para penyamun menggambarkan kontradiksi antara kata dan kenyataan.
  • Simbolisme: darah, tombak, alang-alang, dan pelangi demokrasi menjadi simbol kondisi bangsa.
Puisi "Alang-Alang" karya Abdul Wachid B. S. adalah karya yang tajam, penuh kritik, dan sarat simbol perlawanan. Ia mengingatkan kita bahwa demokrasi sejati tidak bisa lahir dari politik kepalsuan, melainkan dari hati nurani rakyat yang teguh. Alang-alang, yang dianggap rumput liar, justru menjelma simbol keteguhan, keberanian, dan harapan.

Dengan bahasa yang kaya akan imaji dan majas, puisi ini tidak hanya menjadi potret kondisi sosial-politik, tetapi juga menjadi seruan perjuangan agar bangsa tidak tenggelam dalam tipu daya penguasa, melainkan bangkit bersama hati nurani rakyat.

Abdul Wachid B. S.
Puisi: Alang-Alang
Karya: Abdul Wachid B. S.
© Sepenuhnya. All rights reserved.