Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Anakku Bulan Pucat (Karya Afrizal Malna)

Puisi "Anakku Bulan Pucat" karya Afrizal Malna bercerita tentang seorang anak yang digambarkan sebagai “bulan pucat”, sosok yang membawa beban usia ..
Anakku Bulan Pucat

anakku bulan tak berdarah
gotong usia bapaknya di bahu
anakku bulan tak berdarah
gotong mayatku tak berbaju

dia cari kubur!

menyeret kota-kota di kakinya
dia panggil suaranya dari gema
mengetuk pintu-pintu
menanya ibunya di tanah batu

dia cari kubur!

anakku bulan menatapnya
dan memekik:
            jangan!

1980

Sumber: Horison (Desember, 1980)

Analisis Puisi:

Afrizal Malna dikenal sebagai penyair yang menghadirkan gaya ekspresif, penuh simbol, dan sarat dengan potret realitas yang getir. Dalam puisinya berjudul "Anakku Bulan Pucat", Afrizal mengangkat imaji yang kuat tentang hubungan antara manusia, sejarah luka, dan keresahan eksistensial yang diproyeksikan lewat sosok anak, bulan, dan kubur.

Tema

Tema puisi ini adalah kematian, kehilangan, dan warisan luka antargenerasi. Afrizal menggambarkan bagaimana seorang anak menanggung beban ayahnya, baik sebagai sosok hidup maupun sebagai mayat. Tema ini memperlihatkan bahwa kematian bukan hanya akhir, melainkan juga beban yang diwariskan pada generasi berikutnya.

Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang digambarkan sebagai “bulan pucat”, sosok yang membawa beban usia bapaknya dan mayat ayahnya yang tak berbaju. Anak itu digambarkan mencari kubur, menyeret kota-kota, mengetuk pintu, dan mencari ibunya di “tanah batu”. Hingga akhirnya muncul momen puncak ketika anak itu menatap dan berteriak “jangan!”, seolah ada penolakan atau perlawanan terhadap nasib yang menekan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik terhadap beban sejarah dan penderitaan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Anak di sini melambangkan generasi baru yang harus menanggung trauma masa lalu. “Bulan pucat” bisa ditafsirkan sebagai simbol kesepian, kerapuhan, atau redupnya harapan. Afrizal seolah ingin menunjukkan bahwa kematian bukan hanya soal tubuh yang hilang, melainkan juga tentang bagaimana jejak penderitaan itu tetap hidup di benak orang yang ditinggalkan.

Selain itu, jeritan “jangan!” di akhir puisi bisa dimaknai sebagai perlawanan terhadap siklus penderitaan yang terus berulang, sebuah harapan agar sejarah kelam tidak lagi diwariskan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah kelam, getir, dan penuh duka. Kata-kata seperti “mayatku tak berbaju”, “dia cari kubur”, dan “tanah batu” menciptakan atmosfer yang suram dan menyesakkan. Namun di balik itu, ada juga ketegangan emosional yang memuncak pada pekikan “jangan!”, menandakan adanya harapan untuk memutus lingkaran luka.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah pentingnya kesadaran untuk tidak terus mewariskan luka dan penderitaan kepada generasi berikutnya. Afrizal ingin mengingatkan bahwa sejarah kelam, trauma, dan kesengsaraan bukanlah beban yang pantas dibawa oleh anak cucu. Ada seruan agar manusia berani mengatakan “jangan!” pada siklus penderitaan tersebut.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan emosional.
  • Imaji visual: “mayatku tak berbaju”, “menyeret kota-kota di kakinya”, “mengetuk pintu-pintu”, “tanah batu” — semua menghadirkan gambaran konkret yang suram.
  • Imaji emosional: pekikan “jangan!” menggambarkan ledakan emosi dan rasa putus asa sekaligus perlawanan.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – “anakku bulan pucat” sebagai simbol generasi yang rapuh, sekaligus harapan yang meredup.
  • Repetisi – pengulangan frasa “anakku bulan tak berdarah” dan “dia cari kubur!” mempertegas suasana duka dan penekanan makna.
  • Personifikasi – kota digambarkan dapat diseret, pintu dapat ditanya, yang memberi nuansa dramatis pada peristiwa.
  • Hiperbola – gambaran anak menyeret kota-kota di kakinya adalah pernyataan yang dilebih-lebihkan untuk menegaskan beratnya beban yang harus dipikul.
Puisi "Anakku Bulan Pucat" karya Afrizal Malna bukan hanya sekadar potret duka, melainkan refleksi tentang sejarah penderitaan yang diwariskan. Dengan simbol bulan pucat, Afrizal menegaskan bahwa generasi baru kerap dipaksa menanggung luka lama, namun masih ada harapan untuk menolak dan menghentikan siklus itu. Melalui imaji kuat, suasana kelam, serta majas yang tajam, puisi ini menghadirkan renungan yang menggugah pembaca untuk lebih peka terhadap beban sejarah yang masih membayangi kehidupan.

Puisi Afrizal Malna
Puisi: Anakku Bulan Pucat
Karya: Afrizal Malna

Biodata Afrizal Malna:
  • Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.