Arus
merenangi arus yang terjelma dari suratmu
yang kau kirim berbilang tahun kepadaku
ke muara sampailah aku:
tak ada siapa-siapa di sini
akhir waktu belum kau putusi
Malang, Mei 1996
Sumber: Arung Diri (2013)
Analisis Puisi:
Puisi “Arus” karya Djoko Saryono merupakan karya pendek namun sarat makna. Dengan hanya lima baris, penyair berhasil menciptakan suasana batin yang dalam — antara penantian, kehilangan, dan ketidakpastian waktu. Seperti arus sungai yang terus mengalir tanpa arah pasti, puisi ini mengisahkan perjalanan emosional manusia menuju sesuatu yang ia harapkan, namun tak pernah benar-benar ia temukan.
Tema
Puisi ini memiliki tema tentang perjalanan batin dan penantian yang tak berkesudahan. Arus dalam konteks puisi ini menggambarkan kehidupan atau perasaan yang terus mengalir, membawa sang aku lirik menuju muara — sebuah tujuan akhir yang justru sepi dan tak pasti. Tema ini juga dapat ditafsirkan sebagai refleksi tentang eksistensi manusia, yang terus mencari makna atau seseorang yang tak kunjung ia temui.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang menelusuri perjalanan panjang — diibaratkan dengan “merenangi arus” — menuju muara, tempat yang ia yakini sebagai akhir penantian. Arus tersebut berasal dari “suratmu”, yaitu kenangan, janji, atau hubungan emosional dari seseorang yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika akhirnya ia tiba di muara — tempat akhir dari segala perjalanan — ia mendapati kenyataan pahit: “tak ada siapa-siapa di sini.” Baris ini menandakan kehampaan dan kesadaran bahwa harapan yang selama ini ia ikuti ternyata berujung pada kesepian. Kalimat terakhir, “akhir waktu belum kau putusi,” menegaskan bahwa hubungan atau penantian itu belum benar-benar selesai — waktu belum menutup kisah, namun kehadiran yang dinanti juga tak datang.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah tentang ketidakpastian dalam cinta dan kehidupan. Arus melambangkan perjalanan waktu dan perasaan yang terus mengalir, membawa manusia pada kenangan, harapan, dan luka. Surat menjadi simbol komunikasi dan janji masa lalu, yang kini hanya menyisakan bayangan.
Puisi ini juga dapat dimaknai sebagai perenungan spiritual atau eksistensial. Sang aku lirik seolah menempuh perjalanan batin yang panjang untuk mencari makna hidup atau kebenaran, tetapi ketika ia tiba di “muara” — simbol akhir kehidupan atau pencarian — ia justru mendapati kehampaan.
Baris terakhir, “akhir waktu belum kau putusi,” menyiratkan bahwa masih ada sesuatu yang menggantung, entah karena takdir, cinta yang belum selesai, atau makna hidup yang belum terungkap.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa sunyi, melankolis, dan reflektif. Kata-kata seperti “merenangi arus,” “muara,” dan “tak ada siapa-siapa di sini” menciptakan kesan kesepian dan keletihan batin. Pembaca bisa merasakan keheningan setelah perjalanan panjang — bukan kelegaan, melainkan kehampaan yang dalam.
Suasana ini memperkuat kesan bahwa perjalanan yang ditempuh sang aku lirik bukan perjalanan fisik, melainkan perjalanan batin yang dipenuhi kenangan, kerinduan, dan penyesalan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi “Arus” adalah tentang penerimaan terhadap ketidakpastian hidup dan cinta. Penyair seolah ingin mengatakan bahwa manusia dapat menempuh perjalanan panjang untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, namun hasilnya bisa berbeda dari harapan.
Puisi ini mengajarkan keberanian untuk menghadapi kehampaan dan keterbatasan waktu. Kadang, dalam hidup, kita hanya bisa “merenangi arus” tanpa tahu apakah akan sampai pada seseorang atau sesuatu yang kita cari. Tetapi dari proses itu, manusia belajar tentang makna, kesabaran, dan keteguhan.
Imaji
Puisi ini memunculkan imaji alam dan batin yang kuat meskipun ditulis singkat:
- “merenangi arus yang terjelma dari suratmu” — menghadirkan imaji gerak (berenang) dan perasaan (kenangan masa lalu).
- “ke muara sampailah aku” — imaji perjalanan menuju akhir, yang dapat dimaknai sebagai akhir kehidupan atau perasaan.
- “tak ada siapa-siapa di sini” — imaji kesepian dan ruang kosong yang menggambarkan kehampaan batin.
Imaji yang diciptakan Djoko Saryono sederhana, namun memiliki kekuatan visual dan emosional yang dalam.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Metafora – “arus” menjadi simbol perjalanan hidup, waktu, dan perasaan; “muara” menjadi lambang akhir pencarian atau tujuan.
- Personifikasi – “arus yang terjelma dari suratmu” memberi kesan bahwa surat (kenangan) memiliki kekuatan hidup dan menggerakkan perasaan.
- Sinekdoke – “suratmu” mewakili keseluruhan kenangan, cinta, atau hubungan dengan seseorang.
- Antitesis – muncul antara harapan perjalanan (berenang menuju muara) dan hasil akhirnya (kehampaan).
Majas-majas ini memperkuat kesan filosofis dan emosional puisi, membuatnya terasa lirih namun dalam.
Puisi “Arus” karya Djoko Saryono adalah potret perjalanan batin seorang manusia yang menempuh arus waktu dan perasaan untuk mencari makna, cinta, atau seseorang, namun berakhir pada kesunyian. Dengan tema tentang penantian dan ketidakpastian, penyair menyajikan makna tersirat yang reflektif dan eksistensial. Suasana yang hening, imaji yang sederhana namun kuat, serta penggunaan majas-metafora yang cermat menjadikan puisi ini kaya akan tafsir dan perasaan.
Puisi ini mengingatkan pembaca bahwa hidup adalah perjalanan yang tidak selalu berujung pada pertemuan. Kadang, muara yang kita tuju hanyalah cermin dari diri sendiri — tempat di mana kita akhirnya belajar menerima bahwa akhir waktu belum sepenuhnya kita putusi.
Karya: Djoko Saryono
Biodata Djoko Saryono:
- Prof. Dr. Djoko Saryono lahir pada tanggal 27 Maret 1962 di kota Madiun.