Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Asal-Usul Kebahagiaan (Karya Nirwan Dewanto)

Puisi “Asal-Usul Kebahagiaan” karya Nirwan Dewanto menggambarkan momen rapuh ketika manusia menghadapi keindahan yang tak bisa sepenuhnya dikuasai.
Asal-Usul Kebahagiaan

Ketika kau tak mesti lagi mengerutkan jemari
Untuk menguji manakah buah segar dewasa
Yang terkirim diam-diam dari Selatan?
Ketika sarung tanganmu mesti tersimpan

Barangkali dengan selekeh getah buah
Yang hanya akan kentara di tahun depan?
Ketika kau merasa mubazir bertanya
Apel ataukah aprikot yang giat meredam

Jejarum cahaya matahari bulan April?
Ketika tanganmu tak sabar menyentuh
Daging buah yang kaukira menggeletar
Seraya malu-malu melindungi bijinya?

Ketika pisau di tanganmu terjatuh
Oleh kulit buah yang terlalu licin
Dan bangga akan merah atau jingganya?
Sesungguhnya tanganmu hendak kembali

Menelusuri kulit murni yang tak pernah
Gentar akan laparmu. Akan birahimu?
Kulit dada. Mungkin kulit buah dada
Entah di musim salju atau musim semi.

2009

Sumber: Buli-Buli Lima Kaki (2010)

Analisis Puisi:

Puisi “Asal-Usul Kebahagiaan” karya Nirwan Dewanto merupakan karya yang penuh simbol sensual dan reflektif. Lewat metafora buah, kulit, dan sentuhan, penyair menggambarkan hubungan antara manusia, alam, dan keinginan yang mendalam. Puisi ini tidak hanya berbicara tentang kenikmatan inderawi, tetapi juga tentang pencarian makna sejati dari kebahagiaan yang alami dan murni.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian hakikat kebahagiaan yang bersumber dari kesederhanaan dan kedekatan dengan alam serta tubuh manusia itu sendiri. Penyair menyiratkan bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dicari dengan kerumitan, melainkan dapat ditemukan dalam hal-hal yang paling alami — seperti rasa, sentuhan, dan kejujuran tubuh.

Puisi ini bercerita tentang proses penemuan kebahagiaan melalui pengalaman sederhana dan sensual. Melalui simbol buah dan kulit, penyair mengekspresikan hubungan antara manusia dengan alam dan tubuh — sesuatu yang lembut, menggoda, namun juga jujur dan apa adanya. Adegan menyentuh buah yang licin atau pisau yang terjatuh menggambarkan momen rapuh ketika manusia menghadapi keindahan yang tak bisa sepenuhnya dikuasai.

Makna tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah bahwa kebahagiaan sejati muncul ketika manusia berhenti mencoba menguasai atau menilai segala sesuatu, dan mulai merasakan apa adanya. Saat “pisau terjatuh” dan “kulit buah terlalu licin”, penyair ingin menunjukkan bahwa ada saat di mana manusia harus melepaskan kendali dan membiarkan diri larut dalam keindahan yang alami — baik itu alam maupun cinta.

Selain itu, lapisan sensual dalam puisi ini juga menyinggung hubungan antara hasrat dan kesadaran spiritual: bahwa tubuh dan rasa adalah bagian dari pengalaman manusia yang tidak terpisahkan dari kebahagiaan sejati.

Suasana dalam puisi

Suasana yang tercipta adalah intim, lembut, dan reflektif. Ada kesan sensual yang halus, namun tidak vulgar — sebaliknya, suasana yang muncul adalah kekaguman terhadap kesempurnaan alam dan tubuh, disertai perenungan mendalam.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan taktil (indra peraba). Beberapa contohnya:
  • “tanganmu tak sabar menyentuh daging buah” — imaji sentuhan yang menimbulkan rasa ingin tahu.
  • “pisau di tanganmu terjatuh oleh kulit buah yang terlalu licin” — menggambarkan keindahan yang tak bisa dikendalikan.
  • “kulit murni yang tak pernah gentar akan laparmu” — imaji puitik yang menggambarkan kesucian dan ketulusan dalam cinta atau hasrat.

Majas

Beberapa majas yang digunakan antara lain:
  • Metafora, seperti buah, kulit, dan pisau yang menjadi simbol dari tubuh, keinginan, dan pengalaman manusia.
  • Personifikasi, tampak pada “buah yang bangga akan merah atau jingganya”, memberi kehidupan dan perasaan pada objek alam.
  • Eufemisme, pada penggambaran sensual yang disamarkan dengan simbol-simbol alam agar tetap lembut dan filosofis.

Amanat / pesan yang disampaikan

Pesan yang disampaikan puisi ini adalah bahwa kebahagiaan sejati lahir dari kesadaran untuk menikmati kehidupan secara alami, tanpa berlebihan dan tanpa kehilangan rasa kagum terhadap ciptaan Tuhan. Manusia akan bahagia bila mampu bersentuhan dengan dunia — dengan cinta, tubuh, dan alam — secara jujur, lembut, dan penuh penghargaan.

Puisi “Asal-Usul Kebahagiaan” dengan gaya khas Nirwan Dewanto mengajak pembaca merenungi hubungan antara tubuh, alam, dan makna kebahagiaan. Ia menunjukkan bahwa dalam kesederhanaan dan kejujuran rasa, manusia justru menemukan sumber kebahagiaan yang paling hakiki.

Nirwan Dewanto
Puisi: Asal-Usul Kebahagiaan
Karya: Nirwan Dewanto

Profil Nirwan Dewanto:
  • Nirwan Dewanto lahir pada tanggal 28 September 1961 di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.