Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Banda Aceh (Karya Slamet Sukirnanto)

Puisi "Banda Aceh" karya Slamet Sukirnanto bercerita tentang seseorang yang berada di ketinggian kamar, memandang sungai yang tenang mengalir masuk ..
Banda Aceh

Dari ketinggian kamar ini
Memandang sungai tenang
Masuk kota
Lambat dan sopan
Alun lirih arusmu
Di sela rumput. Semak taman mungil
Angin deras dan jail
Azan sudah dikumandangkan
Kenapa engkau belum datang
Kueja cakrawala
Pengembara di seberang bersama cahaya
Qomat telah diserukan
Tapi kau belum mengisi syaf di sampingku
Khusuk juga merambat batin
Menghadap yang satu!
Di mana kau? Terhambat musim
Atau hanyut dalam tafakur
Lupa melangkah lagi
Dalam putaran sejarah
Tiba-tiba semua lena
Mimpi lebih dekat dengan segala langit senja
Ditiup lalu
Arah lautan

Di hadapan kota menganga
Dekat perbukitan
Kembali berpadu. Dataran di kakimu
Alga serpihan masa lalu
Jejak-jejak menuntun dan bisu!

Lading Hotel, Banda Aceh, 4 Juli 1995

Sumber: Gergaji (2001)

Analisis Puisi:

Puisi "Banda Aceh" karya Slamet Sukirnanto menghadirkan renungan mendalam tentang ruang, waktu, dan spiritualitas. Lewat larik-larik yang tenang namun sarat makna, penyair menghadirkan Banda Aceh bukan sekadar sebagai kota geografis, melainkan juga ruang batin yang menyimpan sejarah, doa, dan pencarian spiritual manusia.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian spiritual dan refleksi sejarah dalam ruang kota Banda Aceh. Penyair menghubungkan gambaran alam, suasana kota, serta momentum keagamaan (azan, qomat, syaf) dengan perasaan personal yang melankolis sekaligus kontemplatif.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh lirik yang berada di ketinggian kamar, memandang sungai yang tenang mengalir masuk ke kota Banda Aceh, lalu larut dalam perenungan spiritual ketika mendengar azan dan qomat dikumandangkan. Ada kerinduan untuk bertemu seseorang—barangkali sahabat, kekasih, atau bahkan simbol jiwa manusia yang terjebak tafakur dan lupa melangkah dalam putaran sejarah. Akhirnya, penyair menghadapkan dirinya pada kota Banda Aceh yang menyimpan jejak masa lalu, serpihan sejarah, dan bisu yang menuntun ke perenungan lebih dalam.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah keterhubungan antara ruang kota Banda Aceh dengan spiritualitas dan sejarah manusia. Sungai yang mengalir pelan menjadi lambang perjalanan waktu, sementara azan dan qomat melambangkan panggilan untuk kembali pada Tuhan. Ketidakhadiran sosok yang dinanti bisa dibaca sebagai simbol keterlambatan manusia dalam memenuhi panggilan ilahi atau melupakan jejak sejarah. Banda Aceh di sini tidak hanya kota fisik, tetapi juga metafora tentang jejak kemanusiaan, tragedi, dan ingatan kolektif yang terus menuntun meski bisu.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa hening, kontemplatif, sekaligus melankolis. Ada kesunyian yang dipertegas oleh suara azan dan qomat, lalu perasaan kehilangan yang tersirat ketika sosok yang ditunggu tak kunjung hadir. Namun di balik itu, ada pula keteduhan dalam renungan spiritual dan kedekatan dengan sejarah yang terpatri dalam kota.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang disampaikan puisi ini adalah pentingnya mendengarkan panggilan spiritual, menyadari keterhubungan dengan sejarah, dan tidak hanyut dalam lupa. Banda Aceh digambarkan sebagai ruang yang menyimpan jejak masa lalu dan menjadi pengingat bahwa hidup manusia tak lepas dari waktu, sejarah, dan Tuhan.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual, auditori, dan batiniah:
  • Imaji visual: “memandang sungai tenang masuk kota”, “cakrawala pengembara di seberang”, “dataran di kakimu alga serpihan masa lalu”.
  • Imaji auditori: “azan sudah dikumandangkan”, “qomat telah diserukan”.
  • Imaji batiniah: kerinduan, keheningan, serta kesadaran spiritual yang mendalam.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “sungai tenang masuk kota, lambat dan sopan” memberikan sifat manusia pada sungai.
  • Metafora: Banda Aceh sebagai simbol ruang sejarah dan spiritualitas.
  • Alegori: perjalanan sungai dan azan sebagai perlambangan perjalanan manusia menuju Tuhan.
Puisi "Banda Aceh" karya Slamet Sukirnanto adalah sebuah perenungan yang memadukan antara suasana kota, sejarah, dan spiritualitas. Dengan tema pencarian jiwa di tengah perjalanan sejarah, puisi ini bercerita tentang perasaan rindu, kehilangan, sekaligus kesadaran akan pentingnya kembali pada panggilan Tuhan. Imaji yang kuat serta majas yang simbolis menjadikan puisi ini bukan sekadar potret Banda Aceh, melainkan juga cermin tentang manusia, waktu, dan keabadian.

Puisi Slamet Sukirnanto
Puisi: Banda Aceh
Karya: Slamet Sukirnanto

Biodata Slamet Sukirnanto:
  • Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
  • Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
  • Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.