Analisis Puisi:
Puisi “Bila Tiba Masa Tuaku” karya Fridolin Ukur adalah karya yang penuh perenungan tentang usia, kehidupan, dan cinta seorang ibu. Melalui bahasa yang lembut dan simbolik, penyair menghadirkan refleksi tentang perjalanan hidup, penghargaan terhadap usia lanjut, dan warisan cinta yang abadi dari seorang bunda kepada anak-anaknya.
Tema
Tema utama puisi ini adalah ketuaan, cinta ibu, dan refleksi kehidupan. Penyair menyoroti bagaimana waktu berjalan dengan cepat, menghantarkan setiap manusia pada usia lanjut, serta menekankan keindahan kasih seorang ibu yang terus bersinar meski usia menua.
Selain itu, puisi ini juga mengangkat tema harapan dan teladan, di mana penulis bertanya-tanya apakah dirinya kelak dapat menua dengan anggun, damai, dan penuh cinta seperti bunda.
Puisi ini bercerita tentang perayaan ulang tahun ke-90 seorang ibu, sosok yang telah menunaikan peran sebagai pendidik, pelindung, dan penyayang bagi anak-anaknya. Bagian pertama (I) menampilkan suasana syukur dan perayaan hari ini — wajah-wajah berseri, doa, puja, dan refleksi terhadap waktu yang telah berlalu.
Bagian kedua (II) membawa pembaca pada kilas balik masa lampau, mengenang pengorbanan, kasih sayang, dan perjuangan sang ibu, terutama setelah kepergian suami. Penyair menyoroti cinta ibu yang tetap hidup, mengubah keluh menjadi nyanyian dan air mata menjadi manik-manik bening. Akhir puisi berisi pertanyaan reflektif penulis: apakah dirinya kelak akan menua dengan anggun, damai, dan penuh cinta seperti bunda.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini adalah penghargaan terhadap cinta ibu dan perjalanan hidup yang penuh makna. Penyair ingin menyampaikan bahwa usia lanjut bukan sekadar angka, melainkan cerminan pengalaman, kasih sayang, dan keteguhan hati.
Selain itu, puisi ini juga menyiratkan harapan agar penulis atau pembaca dapat meneladani keanggunan dan kedamaian yang dimiliki oleh orang tua mereka. Ada pula pesan tentang kesadaran akan kefanaan hidup, mendorong pembaca untuk menghargai waktu, cinta, dan kasih sayang yang diterima sepanjang hidup.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini hangat, penuh syukur, dan melankolis. Bagian perayaan ulang tahun ke-90 menciptakan nuansa ceria dan bahagia, sementara kilas balik masa lampau menimbulkan rasa haru dan reflektif. Diksi seperti “sinar matamu masih seperti dulu”, “manik-manik bening”, dan “merangkai senyum penuh warna” menghadirkan suasana hangat, penuh cinta, dan damai.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah:
- Menghargai orang tua, terutama ibu, atas cinta dan pengorbanan yang mereka berikan sepanjang hidup.
- Menyadari nilai waktu dan usia, bahwa hidup yang panjang seharusnya diisi dengan cinta, ketenangan, dan kebaikan.
- Meneladani keteguhan, anggun, dan kasih sayang orang tua, sehingga ketika tiba masa tua, kita bisa menua dengan damai dan penuh cinta.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan emosional:
- Imaji visual: “wajah-wajah berseri seperti bintang-bintang berdandan”, “merangkai senyum penuh warna” — menghadirkan gambaran perayaan dan keindahan cinta.
- Imaji emosional: “butir-butir air mata menjadi manik-manik bening” dan “cintamu bunda pada kami” menghadirkan rasa haru, syukur, dan cinta yang mendalam.
Imaji ini membuat pembaca merasakan kebahagiaan dan kesyahduan ulang tahun sang ibu serta refleksi terhadap perjalanan hidup.
Majas
Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini:
- Simile: “wajah-wajah berseri seperti bintang-bintang berdandan” — memberikan gambaran visual yang memukau tentang kebahagiaan.
- Metafora: “butir-butir air mata menjadi manik-manik bening” — menyimbolkan keindahan yang lahir dari kesedihan dan pengorbanan.
- Personifikasi: “pekan dan bulan, hari dan tahun berloncatan menjalin usia” — memberi sifat manusia pada waktu, sehingga terasa hidup dan bergerak dinamis.
Puisi “Bila Tiba Masa Tuaku” karya Fridolin Ukur adalah penghormatan yang tulus terhadap usia lanjut dan cinta seorang ibu. Dengan bahasa yang lembut, imaji yang indah, dan nuansa emosional yang hangat, puisi ini mengajarkan pembaca tentang nilai waktu, cinta, dan keteladanan.
Penyair menutup puisinya dengan pertanyaan reflektif tentang masa tua, mengajak pembaca untuk merenung: apakah kita kelak bisa menua dengan anggun, damai, dan penuh cinta seperti sosok yang telah menuntun kita sepanjang hidup. Puisi ini adalah cerminan kasih sayang, syukur, dan harapan yang abadi.