Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Bila Tiba Masa Tuaku (Karya Fridolin Ukur)

Puisi “Bila Tiba Masa Tuaku” karya Fridolin Ukur bercerita tentang perayaan ulang tahun ke-90 seorang ibu, sosok yang telah menunaikan peran ...
Bila Tiba Masa Tuaku
Puisi terpatah
Di Hari Ulang Tahun ke-90
Ibu Tobing

(I)

Hari ini,
malam ini
wajah-wajah berseri
seperti bintang-bintang berdandan
sambil melagukan tembang riang
berselendang angin menganyam puja
dalam keheningan yang bening
dalam kebeningan yang hening

hari ini lain dari yang lain
beda dengan kemarin
tidak sama dengan esok

Antara tadi dengan nanti
ada sekarang yang menghadang
hari ini,
malam ini,
kini!

Sampai kini: detik-detik waktu berpacu
pekan dan bulan, hari dan tahun
berloncatan menjalin usia,
sampai tiba hari ini
genap sembilan puluh tahun

Hari ini,
malam ini
ada bunda tengah tafakur
mengucap doa, puja dan syukur
atas usia lanjut yang tidak sia-sia,
terangkum dalam wajah yang kian renta
sembilan puluh tahun!

(II)

Dalam bayangan masa lampau
ketika semua kenang sudah terpahat,
tidak ada yang lebih berarti
kecuali cinta;
cintamu bunda pada kami

satu-satu kami kau lahirkan
setelah menggeliat dalam rahim
sembilan bulan sepuluh hari,
setiap tangis pertama yang terlempar
kau pun tersenyum bahagia

lama nian kau jalani malam-malam lengang
sejak ayah tidak lagi di sisimu
sudah lebih dahulu menantimu di benua terang;
namun cintamu pada kami
dan pada Tuhanmu
mengubah keluh menjadi nyanyi
dan butir-butir air mata
menjadi manik-manik bening

kini
walaupun wajahmu kian renta
dan tangan-tanganmu gemetar dimakan usia
namun sinar matamu masih seperti dulu
merangkai senyum penuh warna
cerminan: mimpi yang indah,
harapan yang indah,
cinta yang indah

Bila tiba masa tuaku
apakah mungkin mencapai usia
sepertimu, Bunda?

Bila tiba masa tuaku
akankah aku sepertimu, Bunda
begitu anggun
begitu damai
begitu menyinta?

Jakarta, 11 Juni 1999

Analisis Puisi:

Puisi “Bila Tiba Masa Tuaku” karya Fridolin Ukur adalah karya yang penuh perenungan tentang usia, kehidupan, dan cinta seorang ibu. Melalui bahasa yang lembut dan simbolik, penyair menghadirkan refleksi tentang perjalanan hidup, penghargaan terhadap usia lanjut, dan warisan cinta yang abadi dari seorang bunda kepada anak-anaknya.

Tema

Tema utama puisi ini adalah ketuaan, cinta ibu, dan refleksi kehidupan. Penyair menyoroti bagaimana waktu berjalan dengan cepat, menghantarkan setiap manusia pada usia lanjut, serta menekankan keindahan kasih seorang ibu yang terus bersinar meski usia menua.

Selain itu, puisi ini juga mengangkat tema harapan dan teladan, di mana penulis bertanya-tanya apakah dirinya kelak dapat menua dengan anggun, damai, dan penuh cinta seperti bunda.

Puisi ini bercerita tentang perayaan ulang tahun ke-90 seorang ibu, sosok yang telah menunaikan peran sebagai pendidik, pelindung, dan penyayang bagi anak-anaknya. Bagian pertama (I) menampilkan suasana syukur dan perayaan hari ini — wajah-wajah berseri, doa, puja, dan refleksi terhadap waktu yang telah berlalu.

Bagian kedua (II) membawa pembaca pada kilas balik masa lampau, mengenang pengorbanan, kasih sayang, dan perjuangan sang ibu, terutama setelah kepergian suami. Penyair menyoroti cinta ibu yang tetap hidup, mengubah keluh menjadi nyanyian dan air mata menjadi manik-manik bening. Akhir puisi berisi pertanyaan reflektif penulis: apakah dirinya kelak akan menua dengan anggun, damai, dan penuh cinta seperti bunda.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah penghargaan terhadap cinta ibu dan perjalanan hidup yang penuh makna. Penyair ingin menyampaikan bahwa usia lanjut bukan sekadar angka, melainkan cerminan pengalaman, kasih sayang, dan keteguhan hati.

Selain itu, puisi ini juga menyiratkan harapan agar penulis atau pembaca dapat meneladani keanggunan dan kedamaian yang dimiliki oleh orang tua mereka. Ada pula pesan tentang kesadaran akan kefanaan hidup, mendorong pembaca untuk menghargai waktu, cinta, dan kasih sayang yang diterima sepanjang hidup.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini hangat, penuh syukur, dan melankolis. Bagian perayaan ulang tahun ke-90 menciptakan nuansa ceria dan bahagia, sementara kilas balik masa lampau menimbulkan rasa haru dan reflektif. Diksi seperti “sinar matamu masih seperti dulu”, “manik-manik bening”, dan “merangkai senyum penuh warna” menghadirkan suasana hangat, penuh cinta, dan damai.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah:
  • Menghargai orang tua, terutama ibu, atas cinta dan pengorbanan yang mereka berikan sepanjang hidup.
  • Menyadari nilai waktu dan usia, bahwa hidup yang panjang seharusnya diisi dengan cinta, ketenangan, dan kebaikan.
  • Meneladani keteguhan, anggun, dan kasih sayang orang tua, sehingga ketika tiba masa tua, kita bisa menua dengan damai dan penuh cinta.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan emosional:
  • Imaji visual: “wajah-wajah berseri seperti bintang-bintang berdandan”, “merangkai senyum penuh warna” — menghadirkan gambaran perayaan dan keindahan cinta.
  • Imaji emosional: “butir-butir air mata menjadi manik-manik bening” dan “cintamu bunda pada kami” menghadirkan rasa haru, syukur, dan cinta yang mendalam.
Imaji ini membuat pembaca merasakan kebahagiaan dan kesyahduan ulang tahun sang ibu serta refleksi terhadap perjalanan hidup.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini:
  • Simile: “wajah-wajah berseri seperti bintang-bintang berdandan” — memberikan gambaran visual yang memukau tentang kebahagiaan.
  • Metafora: “butir-butir air mata menjadi manik-manik bening” — menyimbolkan keindahan yang lahir dari kesedihan dan pengorbanan.
  • Personifikasi: “pekan dan bulan, hari dan tahun berloncatan menjalin usia” — memberi sifat manusia pada waktu, sehingga terasa hidup dan bergerak dinamis.
Puisi “Bila Tiba Masa Tuaku” karya Fridolin Ukur adalah penghormatan yang tulus terhadap usia lanjut dan cinta seorang ibu. Dengan bahasa yang lembut, imaji yang indah, dan nuansa emosional yang hangat, puisi ini mengajarkan pembaca tentang nilai waktu, cinta, dan keteladanan.

Penyair menutup puisinya dengan pertanyaan reflektif tentang masa tua, mengajak pembaca untuk merenung: apakah kita kelak bisa menua dengan anggun, damai, dan penuh cinta seperti sosok yang telah menuntun kita sepanjang hidup. Puisi ini adalah cerminan kasih sayang, syukur, dan harapan yang abadi.

Fridolin Ukur
Puisi: Bila Tiba Masa Tuaku
Karya: Fridolin Ukur

Biodata Fridolin Ukur:
  • Fridolin Ukur lahir di Tamiang Layang, Kalimantan Tengah, pada tanggal 5 April 1930.
  • Fridolin Ukur meninggal di Jakarta, pada tanggal 26 Juni 2003 (pada umur 73 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.