Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Bulan di Langit Jakarta (Karya Sherly Malinton)

Puisi “Bulan di Langit Jakarta” karya Sherly Malinton bercerita tentang bulan yang muncul di langit Jakarta, namun keberadaannya terhalang dan ...

Bulan di Langit Jakarta

Bulan baru seperempat naik
di langit Jakarta
tepat di usia empat lima satu
dan segera pergi dengan diam-diam
saat asap-asap kota menyaput
tipis di depannya

bulan baru seperempat naik
di langit Jakarta
terpupus awan yang memudarkan
warna ketika Jakarta berusia
empat lima satu
dan pucat gemetar kuning
keemasan

lampu-lampu melumatkan merah
dan bulan pun tenggelam
karenanya.

Jakarta, 22 Juni 1978

Sumber: Bunga Anggrek untuk Mama (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1981)

Analisis Puisi:

Puisi “Bulan di Langit Jakarta” karya Sherly Malinton adalah karya yang menghadirkan refleksi visual dan simbolik tentang kehidupan kota besar serta keterasingan manusia di tengah gemerlap urbanisasi. Dengan bahasa yang sederhana namun kaya imaji, puisi ini menangkap keindahan alam yang terganggu oleh dinamika kota, khususnya Jakarta, sekaligus menimbulkan perenungan tentang keterbatasan manusia menghadapi modernitas.

Tema

Tema utama puisi ini adalah persepsi manusia terhadap alam di tengah hiruk-pikuk kota besar, khususnya bagaimana cahaya dan keberadaan alam seperti bulan sering tergerus oleh dominasi urban. Selain itu, tema lain yang tersirat adalah keterasingan dan kefanaan, di mana bulan, simbol alam dan ketenangan, hanya muncul sebentar dan segera tenggelam di balik kesibukan kota.

Puisi ini bercerita tentang bulan yang muncul di langit Jakarta, namun keberadaannya terhalang dan teredam oleh asap, awan, dan lampu-lampu kota. Penyair menggambarkan bulan “baru seperempat naik” dan segera tenggelam ketika kota aktif dengan aktivitasnya. Kota Jakarta yang digambarkan memiliki usia “empat lima satu” (mungkin mengacu pada usia kota atau simbol jumlah penduduk/aktivitas) tampak dominan atas alam.

Puisi ini menceritakan konflik antara alam dan kota, di mana keindahan dan ketenangan alami sering kalah oleh kesibukan dan modernitas urban.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah keterasingan manusia dari alam dan kefanaan segala keindahan yang ada.
  • Bulan yang “terpupus awan” dan “tenggelam” bisa diartikan sebagai simbol bahwa alam dan ketenangan sering terlupakan oleh manusia kota.
  • Asap dan lampu kota menjadi lambang dominasi manusia atas alam, di mana modernitas dan kesibukan membuat manusia kehilangan kontak dengan ketenangan dan keindahan sederhana.
Selain itu, puisi ini juga menyinggung kepekaan manusia terhadap waktu dan perubahan. Bulan muncul hanya sebentar, menandakan bahwa momen keindahan alam sering singkat dan mudah hilang.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini tenang namun melankolis, penuh dengan perenungan tentang keberadaan bulan yang terhalang oleh kota.
  • Awal puisi menghadirkan nuansa observatif dan damai, ketika bulan baru naik.
  • Kemudian, suasana berubah menjadi sedikit muram dan sendu, karena bulan tertutup awan, tersapu asap, dan “lampu-lampu melumatkan merah.”
Keseluruhan suasana mencerminkan kontras antara keindahan alam yang lembut dan kerasnya dinamika kota.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji visual dan sensorik, yang membuat pembaca mampu membayangkan keadaan kota dan langit pada saat itu:
  • “Bulan baru seperempat naik” → imaji visual tentang fase bulan dan ketinggiannya di langit.
  • “Asap-asap kota menyaput tipis di depannya” → imaji yang menghadirkan atmosfer kota dan polusi yang menutupi langit.
  • “Terpupus awan yang memudarkan warna” → imaji pergerakan awan yang menutupi cahaya bulan, memberikan kesan samar dan lembut.
  • “Lampu-lampu melumatkan merah” → imaji kontras antara cahaya lampu kota dan cahaya bulan, menunjukkan dominasi manusia atas alam.
Imaji ini menekankan perasaan melankolis dan penuh perenungan.

Majas

Beberapa majas yang digunakan oleh Sherly Malinton antara lain:
  • Personifikasi: Bulan digambarkan seolah memiliki kehendak sendiri, “segera pergi dengan diam-diam,” memberi kesan hidup dan memiliki perasaan.
  • Metafora: Lampu-lampu kota yang “melumatkan merah” menjadi metafora dominasi manusia atas alam dan cahaya alami.
  • Simbolisme: Bulan menjadi simbol alam, ketenangan, dan keindahan yang rapuh, sementara kota Jakarta mewakili modernitas, kesibukan, dan dominasi manusia atas alam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Puisi ini mengandung pesan tentang kepedulian terhadap alam dan kesadaran akan kefanaan keindahan yang ada.
  • Bulan yang muncul sebentar mengingatkan manusia bahwa alam dan keindahan tidak abadi, dan seringkali kalah oleh dominasi aktivitas manusia.
  • Ada dorongan tersirat untuk menghargai alam, memperhatikan keseimbangan antara kehidupan modern dan lingkungan, serta menumbuhkan kepekaan terhadap keindahan sederhana yang sering terlewat.
Puisi “Bulan di Langit Jakarta” karya Sherly Malinton adalah refleksi tentang konflik antara alam dan kota, ketenangan dan kesibukan, keindahan dan dominasi manusia. Dengan tema yang melankolis, imaji visual yang kuat, dan majas simbolik, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan keterasingan manusia dari alam dan kepentingan menjaga keindahan yang rapuh di tengah kerasnya kehidupan urban.

Sherly Malinton berhasil menghadirkan potret langit Jakarta yang tertutup polusi dan lampu kota, sekaligus mengingatkan bahwa alam tetap memiliki peran vital sebagai sumber ketenangan dan refleksi, meski keberadaannya sering teredam oleh kesibukan manusia.

Puisi Sepenuhnya
Puisi: Bulan di Langit Jakarta
Karya: Sherly Malinton

Biodata Sherly Malinton:
  • Sylvia Sherly Maria Catharina Malinton lahir pada tanggal 24 Februari 1963 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.