Burung Jenjang Putih
di kota letih
mulut terkunci gerimis pagi
matahari mengutuk kota
penduduk berselimut rapat-rapat
cuma ada beberapa burung -- jenjang putih
sayapnya mengepak-epak sedih
ke setiap jendela, ke setiap kota
aku semakin takut
lampu sering mati
dan hidup sendiri
udara semakin putih
menyusupi selimut
hijau tua
Jakarta, 2000
Sumber: Hijau Kelon & Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002)
Analisis Puisi:
Puisi “Burung Jenjang Putih” karya Oei Sien Tjwan menghadirkan refleksi puitis tentang kesepian, keterasingan, dan kegelisahan hidup di kota yang lelah. Dengan citra alam yang gelap dan simbol burung jenjang putih, penyair menampilkan ketegangan antara kehidupan manusia dan alam, sekaligus rasa takut dan kerentanan yang dialami individu dalam keramaian kota.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kesepian dan keterasingan di perkotaan. Burung jenjang putih menjadi simbol kehidupan yang tetap berjalan meski manusia terjebak dalam rutinitas, ketakutan, dan keterasingan. Tema lain yang muncul adalah ketakutan dan kerentanan manusia terhadap kota yang letih dan mekanis, serta rasa hampa yang menyelimuti kehidupan urban.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman seorang pengamat yang melihat kota yang letih dan penduduknya berselimut rapat, seolah terasing dari kehidupan dan alam sekitarnya. Hanya burung jenjang putih yang bergerak bebas, namun sayapnya terlihat “mengepak-epak sedih”. Penyair mengekspresikan rasa takut dan keterasingan pribadi, di tengah lampu yang sering mati dan udara yang terasa menyusupi selimut, menciptakan kesan hidup yang dingin dan sunyi.
Puisi ini bukan sekadar penggambaran kota, tetapi refleksi tentang keadaan batin individu yang merasa sendiri dan tidak berdaya di tengah keramaian.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah perasaan terasing dan keresahan eksistensial manusia. Kota yang “letih” dan penduduk yang berselimut rapat melambangkan dunia yang penuh mekanisme dan keterasingan, sementara burung jenjang putih menjadi simbol kehidupan alami yang tetap ada namun tampak sedih.
Selain itu, puisi ini menyiratkan ketakutan terhadap kehilangan kendali dan keterasingan dari alam dan sesama manusia. Udara yang “menyusupi selimut hijau tua” dapat ditafsirkan sebagai simbol invasi dingin dari dunia modern ke ruang intim manusia.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini suram, sunyi, dan penuh kegelisahan. Kota digambarkan letih dan muram, gerimis pagi menambah kesan dingin, dan lampu yang sering mati memperkuat rasa takut dan kesepian. Imaji burung jenjang putih yang mengepak-epak sedih menambah nuansa haru dan pilu, sementara warna hijau tua menyiratkan kesan dingin, sunyi, dan sedikit menakutkan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah pentingnya kesadaran akan keterasingan diri di tengah kehidupan perkotaan. Puisi ini juga mengingatkan pembaca tentang kerapuhan dan ketakutan manusia di tengah keramaian kota, serta perlunya introspeksi terhadap hubungan kita dengan alam dan sesama.
Selain itu, simbol burung jenjang putih memberi pesan bahwa kehidupan dan harapan tetap ada meski kesedihan melingkupi.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual, pendengaran, dan perasaan:
- Imaji visual: “mulut terkunci gerimis pagi”, “sayapnya mengepak-epak sedih ke setiap jendela”, “udara semakin putih menyusupi selimut hijau tua” — menampilkan kota yang letih, dingin, dan sunyi.
- Imaji emosional: “aku semakin takut / hidup sendiri” — menghadirkan ketakutan dan kesepian pengamat.
Imaji ini membuat pembaca merasakan suasana kota yang muram dan keterasingan batin sang pengamat.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: “matahari mengutuk kota” — memberikan sifat manusia pada matahari untuk memperkuat nuansa muram.
- Simbolisme: Burung jenjang putih menjadi simbol kehidupan dan kesedihan yang tetap hadir meski kota letih.
- Metafora: “udara semakin putih menyusupi selimut hijau tua” — menggambarkan invasi dunia modern yang dingin ke dalam ruang pribadi dan intim.
Puisi “Burung Jenjang Putih” karya Oei Sien Tjwan menampilkan refleksi yang mendalam tentang kesepian, keterasingan, dan kegelisahan hidup di kota modern. Dengan bahasa yang padat dan simbol burung jenjang putih, penyair berhasil menghadirkan nuansa muram, sunyi, dan sedikit menakutkan, sambil tetap menyisipkan pesan bahwa kehidupan tetap ada, meski penuh kesedihan. Puisi ini menjadi pengingat akan kepekaan manusia terhadap lingkungan, sesama, dan diri sendiri di tengah hiruk-pikuk perkotaan.
Karya: Oei Sien Tjwan