Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Catatan dalam Hujan (Karya Soni Farid Maulana)

Puisi “Catatan dalam Hujan” karya Soni Farid Maulana mengajarkan bahwa iman tumbuh bukan karena logika, melainkan karena cinta dan kerinduan kepada ..
Catatan dalam Hujan

aku serahkan seluruh jiwaku pada-Mu
karena menolak ada-Mu berdasarkan pikiran
adalah kesia-siaan belaka.

keimanan adalah kerinduan yang bengal
yang berulang jatuh memanjat langit rohani
hingga malam berlalu dalam tahmid dan takbir
hingga kokok ayam mengerek cahaya fajar

di kalbuku. Hujan yang turun menghapus
jejak kemarau di dahan-dahan pohonan
sungguh indah warnanya. Irama suaranya
yang menggetarkan ini sukma; adalah

salawat bagi segala jiwa yang berlayar
ke muara Cahaya Maha Cahaya
semata Cahaya Maha Cahaya

1991

Sumber: Selepas Kata (2004)

Analisis Puisi:

Puisi “Catatan dalam Hujan” karya Soni Farid Maulana merupakan karya bernuansa spiritual yang memadukan refleksi keimanan, perjalanan batin, dan kekaguman terhadap keagungan Tuhan. Lewat diksi-diksi lembut namun penuh daya getar, penyair menghadirkan suasana kontemplatif yang menenangkan sekaligus menggugah.

Tema

Tema utama puisi ini adalah spiritualitas dan ketundukan manusia kepada Tuhan. Soni Farid Maulana menggambarkan pergulatan batin seseorang dalam mencari makna iman yang sejati—sebuah proses panjang antara keraguan dan keyakinan. Hujan menjadi simbol penyucian jiwa, sedangkan “Cahaya Maha Cahaya” melambangkan pencerahan dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Tema ini menegaskan bahwa iman bukan hanya dogma, melainkan perjalanan ruhani menuju kesadaran tertinggi.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan batin seorang manusia yang berusaha memahami kehadiran Tuhan melalui keimanan dan perenungan. Pada awalnya, penyair menyadari bahwa menolak keberadaan Tuhan adalah kesia-siaan, sebab pikiran manusia memiliki batas. Ia lalu menyerahkan seluruh jiwa kepada Tuhan, menemukan ketenangan dalam doa, zikir, dan salawat. Dalam proses itu, hujan hadir sebagai metafora yang membersihkan “jejak kemarau” di hati—yakni kekeringan spiritual akibat keraguan dan kesombongan rasionalitas. Puisi ini menggambarkan titik balik keimanan yang penuh keikhlasan dan kerendahan hati.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi “Catatan dalam Hujan” adalah ajakan untuk kembali kepada Tuhan melalui perenungan dan kerendahan hati. Hujan melambangkan rahmat dan penyucian batin, sementara “kemarau” menandakan kekosongan spiritual akibat menjauh dari Sang Pencipta. Penyair juga menyinggung bahwa iman sejati bukan sekadar keyakinan yang diwariskan, tetapi hasil dari pergulatan batin yang jujur dan mendalam. Keindahan alam—seperti hujan, fajar, dan kokok ayam—dihadirkan sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan yang dapat membimbing manusia menuju kesadaran spiritual.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah tenang, khusyuk, dan penuh kekhidmatan. Setiap larik terasa seperti doa yang mengalir perlahan, membawa pembaca pada renungan tentang makna iman dan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Hujan yang digambarkan tidak hanya menghadirkan kesejukan fisik, tetapi juga kedamaian rohani.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama dalam puisi ini adalah pentingnya ketulusan dan kerendahan hati dalam beriman kepada Tuhan. Penyair mengingatkan bahwa manusia sebaiknya tidak mengandalkan logika semata untuk memahami keberadaan Ilahi. Keimanan adalah pengalaman batin yang harus dijalani dengan kerinduan, kesabaran, dan kesadaran akan keterbatasan diri. Selain itu, hujan mengajarkan nilai penyucian dan pembaruan: sebagaimana bumi dibersihkan oleh hujan, hati manusia pun dapat disucikan oleh keikhlasan dan doa.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan auditif yang memperkuat suasana spiritualnya.
  • Imaji visual tampak pada larik “hujan yang turun menghapus jejak kemarau di dahan-dahan pohonan”, yang menggambarkan keindahan alam setelah hujan sekaligus simbol penyucian jiwa.
  • Imaji auditif muncul dalam “irama suaranya yang menggetarkan ini sukma” dan “kokok ayam mengerek cahaya fajar”, menghadirkan keheningan malam yang kemudian berubah menjadi awal hari penuh cahaya. Imaji-imaji ini tidak hanya memperindah puisi, tetapi juga menegaskan hubungan antara alam dan spiritualitas manusia.

Majas

Beberapa majas yang digunakan memperkaya makna dan keindahan puisi, antara lain:
  • Personifikasi, seperti pada larik “kokok ayam mengerek cahaya fajar” yang memberi peran manusiawi pada ayam, seolah ia menarik datangnya pagi.
  • Metafora, tampak pada “keimanan adalah kerinduan yang bengal”, yang menggambarkan iman sebagai hasrat batin yang liar dan tak pernah puas mencari kebenaran.
  • Simbolisme, terlihat dalam penggunaan hujan, kemarau, dan Cahaya Maha Cahaya sebagai simbol dari rahmat, kekeringan spiritual, dan pencerahan Ilahi.
  • Repetisi, pada pengulangan kata “Cahaya Maha Cahaya” yang mempertegas keagungan Tuhan dan mengakhiri puisi dengan nuansa mistik yang mendalam.
Puisi “Catatan dalam Hujan” karya Soni Farid Maulana adalah refleksi spiritual yang indah dan menggetarkan. Melalui perpaduan antara tema keimanan, imaji alam, dan simbol-simbol religius, penyair berhasil menghadirkan pengalaman batin yang universal—bahwa setiap manusia pada akhirnya akan mencari makna kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Hujan, dalam puisi ini, bukan sekadar fenomena alam, melainkan jalan menuju pembersihan diri dan pencerahan hati.

Puisi ini mengajarkan bahwa iman tumbuh bukan karena logika, melainkan karena cinta dan kerinduan kepada Sang Pencipta—sebuah pesan abadi yang selalu relevan di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern.

Soni Farid Maulana
Puisi: Catatan dalam Hujan
Karya: Soni Farid Maulana

Biodata Soni Farid Maulana:
  • Soni Farid Maulana lahir pada tanggal 19 Februari 1962 di Tasikmalaya, Jawa Barat.
  • Soni Farid Maulana meninggal dunia pada tanggal 27 November 2022 (pada usia 60 tahun) di Ciamis, Jawa Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.