Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Catatan Larut Malam (Karya Eka Budianta)

Puisi “Catatan Larut Malam” karya Eka Budianta bercerita tentang perenungan seorang penyair pada larut malam yang mengenang percakapan dengan dua ...
Catatan Larut Malam

Larut malam ini kukenang kembali
Percakapan dengan Mochtar dan Peter Rohi
Dalam mobil dari Horison ke jalan Bonang
Tentang kekayaan Indonesia, hutang-hutang,
Kebijaksanaan, generasi tua
Dan dibreidelnya tujuh koran ibukota

Larut malam ini seolah kudengar
Derap kuda Peter di desa Sumba Timur
Menyaksikan bayi-bayi mati dan anak-anak kelaparan
Di desa Waikambu kuda muda dan kain tenun
Ditukar dengan 8 pohon ubi. Seekor kuda lagi
dan satu kain kombu untuk 35 batang ketela

Larut malam ini aku mendengar tangis rakyat
Angin sesekali mendengung, membawa gambar sabana
Negeri penuh luka sedang merangkak entah ke mana
Di desa Kareha penduduk terpaksa makan kawaka
Di desa Karita umbi hutan diperebutkan
Dan seorang gadis belum 11 tahun
Berhari-hari berjalan menempuh gurun
Setelah ditinggal mati orangtuanya

Larut malam ini aku menyetujui lolong anjing
Kucemaskan Peter di Sumba geram dan lapar
Kubayangkan di tengah kebun teh Jawa Barat
Mochtar terkulai memeluk mesin tulisnya

Sumber: Horison (September, 1983)

Analisis Puisi:

Puisi “Catatan Larut Malam” karya Eka Budianta merupakan salah satu karya yang merekam dengan jernih kepedihan sosial di Indonesia pada masa-masa penuh luka bangsa. Dengan gaya naratif yang reflektif dan realis, penyair menuliskan ingatan tentang perbincangan malam hari, tetapi juga menyuarakan jeritan rakyat di pedalaman yang menderita kelaparan dan kemiskinan. Puisi ini menjadi bentuk kepedulian dan kesaksian moral seorang intelektual terhadap kondisi bangsanya.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kepedihan sosial dan penderitaan rakyat akibat ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan. Eka Budianta menyoroti kondisi bangsa Indonesia yang kaya sumber daya alam, tetapi warganya banyak yang hidup dalam kelaparan dan kemiskinan. Puisi ini juga mengandung tema keprihatinan intelektual: suara seorang penyair yang merefleksikan percakapan dengan dua sahabat jurnalis—Mochtar dan Peter Rohi—tentang kondisi sosial politik Indonesia.

Selain itu, ada pula tema solidaritas kemanusiaan, ketika penyair menampilkan empati terhadap rakyat kecil yang menderita. Ia tidak hanya menyaksikan, tetapi juga ikut merasakan getirnya situasi itu di tengah malam yang sunyi.

Puisi ini bercerita tentang perenungan seorang penyair pada larut malam yang mengenang percakapan dengan dua sahabatnya, Mochtar dan Peter Rohi, tentang keadaan Indonesia. Percakapan itu menyentuh berbagai persoalan seperti kekayaan negeri, hutang luar negeri, kebijakan pemerintah, generasi tua, hingga pembredelan media—semuanya menggambarkan potret realitas sosial dan politik pada masa itu.

Namun, renungan penyair berkembang menjadi lebih dalam ketika ia membayangkan keadaan di Sumba Timur, di mana Peter Rohi melihat anak-anak mati kelaparan dan penduduk harus menukar kuda dengan beberapa batang ketela. Gambaran itu mengguncang nurani, memperlihatkan kontras tajam antara kekayaan alam Indonesia dan penderitaan rakyatnya.

Pada bagian akhir, penyair membayangkan dua sosok sahabatnya dalam kesunyian dan kelelahan:

“Kubayangkan di tengah kebun teh Jawa Barat
Mochtar terkulai memeluk mesin tulisnya.”

Gambaran itu menutup puisi dengan nada muram dan getir, seolah menandakan perjuangan tanpa henti dari kaum intelektual yang mencoba menyuarakan kebenaran di tengah tekanan dan pembungkaman.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini sangat dalam dan kompleks. Eka Budianta ingin menunjukkan bahwa keprihatinan sosial dan penderitaan rakyat tidak boleh dibungkam oleh kekuasaan. Larut malam dalam puisi ini menjadi simbol dari kesunyian batin dan beban moral intelektual, yang tidak bisa tidur karena pikirannya terus dihantui oleh nasib bangsanya.

Ketika penyair menulis:

“Larut malam ini aku mendengar tangis rakyat,”

itu bukan sekadar gambaran imajinatif, melainkan panggilan nurani. Tangis rakyat adalah suara hati bangsa yang terluka, dan penyair memosisikan dirinya sebagai saksi moral atas penderitaan itu.

Makna tersirat lainnya adalah kekecewaan terhadap ketimpangan sosial dan politik, di mana kekayaan negara tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat, sementara suara media dan kaum intelektual dibungkam melalui pembredelan koran.

Puisi ini, dengan demikian, menjadi manifesto kemanusiaan dan moral: ajakan untuk peduli, merenung, dan tidak menutup mata terhadap realitas yang pahit.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat kuat dan konsisten—kelam, murung, dan penuh keprihatinan.
Kata “larut malam” yang diulang di setiap awal bait menciptakan suasana hening dan kontemplatif. Dalam kesunyian itu, penyair mendengar suara tangis, derap kuda, dan bayangan penderitaan rakyat di pedalaman.

Suasana getir semakin terasa ketika muncul gambaran konkret seperti:

“Menyaksikan bayi-bayi mati dan anak-anak kelaparan,”
“Di desa Karita umbi hutan diperebutkan.”

Puisi ini menyelubungi pembaca dalam nuansa empatik yang dalam, membuat mereka ikut merasakan beban moral dan kesedihan yang dialami penyair terhadap bangsanya sendiri.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama puisi ini adalah seruan moral untuk tidak menutup mata terhadap penderitaan rakyat kecil.
Eka Budianta ingin mengingatkan bahwa di balik gedung-gedung megah, rapat politik, dan wacana kebijakan nasional, ada rakyat di pedalaman yang masih berjuang untuk sekadar hidup.

Selain itu, puisi ini juga menyampaikan amanat bahwa kebenaran harus tetap disuarakan meskipun dibungkam. Penyair menggambarkan Mochtar dan Peter Rohi sebagai simbol kaum intelektual dan jurnalis yang terus menulis dan menyuarakan realitas, walau media dibredel dan tekanan datang dari segala arah.

Melalui baris terakhir yang melankolis, penyair seolah ingin berkata: perjuangan untuk kemanusiaan memang melelahkan, tapi tidak boleh berhenti.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji visual dan auditif yang tajam, sehingga pembaca bisa merasakan penderitaan yang digambarkan.

Imaji visual:
  • “Bayi-bayi mati dan anak-anak kelaparan,”
  • “Seekor kuda lagi dan satu kain kombu untuk 35 batang ketela,”
  • “Di desa Kareha penduduk terpaksa makan kawaka.”
Imaji ini menciptakan gambaran nyata tentang kemiskinan ekstrem, ketimpangan, dan penderitaan sosial.

Imaji auditif:

  • “Larut malam ini seolah kudengar derap kuda Peter di desa Sumba Timur,”
  • “Larut malam ini aku mendengar tangis rakyat.”
Suara kuda dan tangis rakyat memberi dimensi emosional yang kuat, membawa pembaca merasakan suasana pedih di balik kesunyian malam.

Kekuatan imaji ini menjadikan puisi terasa hidup dan menyentuh, bukan sekadar laporan sosial, tetapi lukisan batin seorang penyair yang penuh empati.

Majas

Eka Budianta menggunakan beberapa majas yang memperkaya makna dan emosi dalam puisi ini:
  • Repetisi – Pengulangan frasa “Larut malam ini” di setiap bait menegaskan suasana reflektif dan menambah irama melankolis.
  • Metafora – Larut malam dijadikan simbol kesadaran dan kesepian batin, tempat di mana nurani berbicara paling jujur.
  • Personifikasi – “Angin sesekali mendengung, membawa gambar sabana” menjadikan alam seolah ikut menyaksikan penderitaan manusia.
  • Hiperbola – “Negeri penuh luka sedang merangkak entah ke mana” menggambarkan betapa parah dan tak menentunya arah bangsa ini, dengan cara puitik dan dramatis.
Penggunaan majas-majas tersebut menjadikan puisi ini tidak hanya faktual, tetapi juga memiliki kekuatan emosional yang mendalam.

Puisi “Catatan Larut Malam” karya Eka Budianta merupakan karya reflektif yang kuat dan sarat pesan kemanusiaan. Dengan tema kepedihan sosial, imaji yang menyayat, dan suasana muram yang menggugah nurani, puisi ini berbicara tentang luka bangsa yang belum sembuh.

Eka Budianta menempatkan dirinya sebagai penyair yang berpihak pada manusia, bukan pada kekuasaan. Ia menulis dengan empati, menjadikan larut malam bukan sekadar waktu, tetapi ruang batin di mana suara rakyat miskin bergema paling keras.

Melalui karya ini, ia mengingatkan pembaca bahwa puisi tidak hanya untuk keindahan, tetapi juga untuk menyuarakan kebenaran dan menyalakan kembali kesadaran sosial.

Puisi: Catatan Larut Malam
Puisi: Catatan Larut Malam
Karya: Eka Budianta

Biodata Eka Budianta:
  • Christophorus Apolinaris Eka Budianta Martoredjo.
  • Eka Budianta lahir pada tanggal 1 Februari 1956 di Ngimbang, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.