Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Cermin (Karya Abdul Wachid B. S.)

Puisi "Cermin" karya Abdul Wachid B. S. bercerita tentang seseorang yang tidak lagi melihat orang lain dalam wujud aslinya, melainkan hanya dalam ...
Cermin

aku tidak lagi melihatmu
berjalan di trotoar dengan you can see
aroma parfum merangsang fantasi lelaki
terakhir malam itu kamu berjibaku

aku tidak lagi melihatmu
bertato kupukupu di lehermu
duduk bersebrangan dengan bocah puber pertama
bicara rasa lewat sms birahi di tatap mata

aku tidak lagi melihatmu
merayu mahasiswamu yang baru tingkat satu
saling ngefleks seperti odipus complex
hingga kamu lupa lahir dari rahim siapa

aku tidak lagi melihatmu
wajah bagai remaja limabelasan
dari belakang lelaki hidungbelang
jumpalitan bagai belalang

tetapi

aku memandangmu
dari semua arah kamu datang
dari segala lenggang kamu berpulang
kamu bercermin kemana pergi

di subuh hari kamu terbangun
setelah berterimakasih kepada kekasih
kamu langsung bercermin
di dapur kamu memasak sambari bercermin

di depan kamu berjalan menuju kampus bercermin
di belakang kamu berjalan bagai tarian bercermin
di samping kanan-kirimu bergoyang-goyang bercermin
tetapi aku memandangmu heran takjub

mengapa seluruh dirimu sekarang
menjelma menjadi cermin hingga
dari belakang lelaki hidung-belang
jumpalitan bagai belalang wirang

tampaklah wajah mereka
wajahku yang
telah kehilangan
cermin

Yogyakarta, 29 Januari 2016

Analisis Puisi:

Puisi "Cermin" karya Abdul Wachid B. S. menghadirkan refleksi kritis tentang moralitas, citra diri, dan perilaku sosial manusia modern. Melalui simbol cermin, penyair mengisyaratkan bagaimana manusia kerap terjebak dalam pencitraan, kepalsuan, serta hilangnya jati diri. Dengan gaya satir dan diksi yang lugas, puisi ini memadukan gambaran realitas sosial yang getir dengan kritik tajam terhadap cara manusia memandang dirinya sendiri maupun orang lain.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kritik sosial tentang citra diri, kepalsuan, dan kemerosotan moral manusia modern. Cermin dijadikan simbol untuk menyingkap wajah asli seseorang yang larut dalam dunia penuh pencitraan, hedonisme, dan relasi semu.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang tidak lagi melihat orang lain dalam wujud aslinya, melainkan hanya dalam bayangan-bayangan cermin. Sosok dalam puisi digambarkan hidup dalam citra semu: tampil modis, merayu, memikat, bercampur dalam relasi semu, namun akhirnya kehilangan jati diri. Cermin dihadirkan sebagai metafora pengganti wajah: seseorang yang terlalu larut dalam pencitraan hingga semua aspek kehidupannya hanyalah pantulan semu, bukan realitas sejati.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa manusia yang terlalu sibuk membangun citra dan kepalsuan pada akhirnya akan kehilangan jati dirinya. Cermin tidak lagi hanya sekadar benda, melainkan lambang dari pencitraan, topeng sosial, dan kehidupan yang semu. Melalui gambaran tentang “lelaki hidung belang” hingga “jumpalitan bagai belalang”, penyair mengkritik perilaku yang penuh kepalsuan, di mana tubuh dan citra diperdagangkan, sedangkan keaslian dan kejujuran terkikis habis.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah getir, satir, sekaligus penuh ironi. Ada perasaan heran, takjub, sekaligus sedih ketika melihat seseorang yang terus-menerus bercermin, bukan untuk mengenali dirinya, tetapi justru untuk menutupi kehampaan hidup yang semakin dalam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah pentingnya menjaga kejujuran diri dan tidak larut dalam pencitraan palsu. Kehidupan yang hanya berisi citra semu dan kepalsuan tidak akan membawa kebahagiaan sejati. Pada akhirnya, wajah manusia yang sejati justru hilang ketika terlalu sering bersembunyi di balik “cermin”.

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji visual dan sensual yang mempertegas kritik sosialnya:
  • “berjalan di trotoar dengan you can see / aroma parfum merangsang fantasi lelaki” → imaji sensual yang menyingkap gaya hidup hedonis.
  • “bertato kupu-kupu di lehermu” → imaji visual yang menandai simbol kebebasan, tetapi juga berkonotasi citra tubuh yang dipamerkan.
  • “jumpalitan bagai belalang” → imaji grotesk yang menyindir gaya hidup liar tanpa kendali.
  • “kamu langsung bercermin / di dapur kamu memasak sambari bercermin” → imaji repetitif yang menekankan obsesi pada citra diri.

Majas

Beberapa majas yang hadir dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: “cermin” sebagai simbol citra diri, kepalsuan, dan kehilangan jati diri.
  • Sarkasme: kritik keras pada perilaku manusia modern yang terjebak hedonisme dan kepalsuan.
  • Hiperbola: penggambaran “seluruh dirimu sekarang menjelma menjadi cermin” untuk menegaskan obsesi berlebihan terhadap citra.
  • Simile: “jumpalitan bagai belalang” membandingkan perilaku tak terkendali dengan gerakan serangga.
  • Repetisi: pengulangan frasa “aku tidak lagi melihatmu” dan “bercermin” menekankan kehilangan jati diri yang terus-menerus.
Puisi "Cermin" karya Abdul Wachid B. S. merupakan kritik sosial yang tajam terhadap kehidupan modern yang penuh kepalsuan. Dengan simbol cermin, penyair menyoroti bagaimana manusia kerap lebih sibuk menampilkan citra semu ketimbang menjaga keaslian dirinya. Melalui suasana satir, imaji kuat, dan penggunaan majas yang tajam, puisi ini menghadirkan renungan bahwa jika manusia terus hidup dalam kepalsuan, ia akan kehilangan wajah sejatinya—hingga yang tersisa hanyalah pantulan kosong dari sebuah cermin.

Abdul Wachid B. S.
Puisi: Cermin
Karya: Abdul Wachid B. S.
© Sepenuhnya. All rights reserved.