Sumber: Gergaji (2001)
Analisis Puisi:
Puisi “Ciliwung” karya Slamet Sukirnanto merupakan refleksi sosial yang tajam tentang perubahan lingkungan dan kehidupan manusia perkotaan, khususnya di Jakarta. Melalui simbol sungai Ciliwung, penyair menampilkan potret realitas sosial yang penuh luka: kerusakan alam, ketimpangan sosial, serta hilangnya keseimbangan antara manusia dan lingkungannya.
Ciliwung dalam puisi ini bukan sekadar aliran air, melainkan cermin kehidupan kota besar — tempat di mana kemewahan dan kemiskinan beriringan, di mana tawa dan penderitaan bersatu dalam satu arus yang sama. Dengan gaya bahasa yang padat dan penuh kontras, Slamet Sukirnanto menyampaikan kritik sosial yang menyayat, namun juga penuh empati terhadap nasib mereka yang terpinggirkan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah penderitaan sosial dan kerusakan lingkungan akibat ketidakadilan manusia. Penyair menggunakan sungai Ciliwung sebagai metafora dari kehidupan masyarakat kota — terutama Jakarta — yang “sendat” oleh sampah dan keserakahan. Tema ini menyoroti bagaimana modernitas, pembangunan, dan kemewahan justru melahirkan penderitaan bagi sebagian besar masyarakat kecil.
Selain itu, ada pula tema kemanusiaan dan solidaritas, yang muncul pada baris penutup:
“Ciliwung adalah kita. Ciliwung merayap dan selalu papa!”
Kalimat ini menegaskan bahwa penderitaan Ciliwung sejatinya adalah penderitaan kita bersama — karena manusia dan alam sesungguhnya tidak dapat dipisahkan.
Puisi ini bercerita tentang kondisi Sungai Ciliwung yang kotor, tersumbat, dan tercemar, yang menjadi lambang dari realitas sosial masyarakat Jakarta.
Penyair menggambarkan sungai yang dulu mungkin bersih dan hidup kini berubah menjadi korban dari kerakusan manusia dan pembangunan yang tidak berpihak pada alam.
“Ciliwung sendat airnya Ciliwung cokelat seperti dahulu Luka dan dukamu — engkau kayuh ke hilir.”
Sungai yang dulunya menghidupi kini menjadi tempat pembuangan, baik secara fisik (sampah) maupun simbolik (pembuangan penderitaan dan ketimpangan sosial).
Dalam perjalanan air yang “mengalir ke hilir”, penyair melihat bagaimana di atas sungai yang miskin, “tawa riang kemewahan” tetap mengapung tanpa rasa peduli. Puisi ini bercerita tentang kontras antara kemewahan dan kemelaratan, antara mereka yang hidup di atas dan mereka yang terhanyut di bawah.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi “Ciliwung” adalah kritik terhadap keserakahan manusia dan ketimpangan sosial yang menghancurkan alam dan kemanusiaan.
Slamet Sukirnanto dengan sangat halus mengaitkan kondisi fisik sungai yang kotor dengan kondisi moral masyarakat yang rusak. Kata “sendat”, “keruh”, dan “onggokan sampah” bukan hanya menggambarkan keadaan sungai secara literal, tetapi juga melambangkan kebuntuan nurani dan moral manusia modern.
Selain itu, terdapat makna eksistensial yang lebih dalam: bahwa manusia tidak bisa memisahkan diri dari alam.
“Ciliwung adalah kita.”
Kalimat ini menegaskan bahwa apa pun yang terjadi pada sungai, pada akhirnya juga akan kembali kepada manusia. Jika Ciliwung kotor, itu karena manusianya kotor; jika Ciliwung menderita, itu karena manusia telah kehilangan empatinya terhadap alam dan sesamanya.
Dengan demikian, puisi ini menjadi cermin kejatuhan moral manusia modern — mereka membangun gedung tinggi dan mengejar kemewahan, tapi melupakan akar kemanusiaan dan keharmonisan dengan alam.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi “Ciliwung” didominasi oleh kesedihan, keprihatinan, dan kemuraman sosial. Penyair menciptakan atmosfer suram dan sesak dengan diksi seperti “sendat airnya,” “keruh,” “onggokan sampah,” dan “penderitaan.”
Namun di balik suasana muram itu, ada juga nada perlawanan dan kegetiran yang tegas. Baris-baris seperti:
“Koor panjang penderitaan Menggeliat di tengah Jakarta tersayang”
membangun perasaan getir bahwa kota yang seharusnya menjadi tempat kehidupan yang layak justru menjadi arena penderitaan yang berulang.
Suasana yang ditangkap pembaca adalah kontras tragis: di satu sisi ada kehidupan mewah yang “mengapung”, di sisi lain ada kemiskinan dan kehancuran yang “merayap” di bawahnya.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah seruan moral agar manusia lebih peduli terhadap alam dan keadilan sosial. Penyair ingin menyampaikan bahwa pembangunan yang tidak manusiawi dan tidak ekologis hanya akan melahirkan penderitaan. Ciliwung, yang dulu simbol kehidupan, kini menjadi korban keserakahan dan ketidakpedulian.
Pesan lainnya adalah tentang kesadaran kolektif — bahwa kerusakan lingkungan bukan tanggung jawab satu pihak saja, melainkan hasil dari perilaku sosial yang masif. Maka, hanya dengan kebersamaan dan empati, manusia bisa memperbaiki keadaan.
Kalimat penutup “Ciliwung adalah kita” menjadi pesan paling kuat dari keseluruhan puisi ini: kita semua bagian dari persoalan, dan karena itu, kita semua juga bagian dari solusinya.
Imaji
Slamet Sukirnanto menggunakan imaji visual dan auditif yang kuat untuk menghidupkan puisi ini. Beberapa contohnya:
Imaji visual (penglihatan)
- “Ciliwung cokelat seperti dahulu”
- “Onggokan sampah di dorong ke muara”
Pembaca dapat membayangkan aliran sungai yang keruh, kotor, dan penuh sampah.
Imaji auditif (pendengaran)
- “Koor panjang penderitaan” → Menggambarkan suara batin rakyat kecil yang berteriak tanpa didengar — penderitaan yang bergaung di tengah hiruk-pikuk kota.
Imaji emosional
- “Menggeliat di tengah Jakarta tersayang” → Menghadirkan kesan bahwa di balik modernitas dan kebanggaan terhadap kota besar, tersimpan derita yang tak pernah benar-benar terangkat.
Imaji-imaji ini menjadikan puisi “Ciliwung” terasa nyata, bahkan bisa “tercium” oleh pembaca — seperti bau sungai yang busuk dan sesak oleh sampah, namun tetap mengalir membawa kisah manusia.
Majas
Slamet Sukirnanto memperkuat makna puisinya dengan berbagai majas (gaya bahasa) yang menciptakan efek emosional dan simbolik.
Berikut beberapa majas yang tampak menonjol:
Personifikasi:
- “Ciliwung sendat airnya” → Sungai digambarkan seolah-olah makhluk hidup yang sedang menderita dan tersumbat.
- “Luka dan dukamu – engkau kayuh ke hilir” → Sungai diberi sifat manusiawi, seolah memiliki luka dan kesedihan yang mengalir bersama arusnya.
Repetisi
- Pengulangan frasa “Ciliwung cokelat seperti dahulu” → Menegaskan keadaan yang tidak berubah, menandakan penderitaan yang terus berulang dari masa ke masa.
Metafora
- “Koor panjang penderitaan” → Melambangkan suara rakyat miskin yang bergema namun tidak didengar.
- “Ciliwung adalah kita” → Menjadi metafora eksistensial yang menunjukkan keterhubungan manusia dan alam.
Ironi
- “Di atasnya gelegak dan tawa riang kemewahan / Mengapung benda-benda. Mengapung kesabaran.” → Kontras antara kemewahan yang terapung di permukaan dan penderitaan yang terbenam di dasar menciptakan efek ironi yang tajam.
Puisi “Ciliwung” karya Slamet Sukirnanto merupakan potret sosial yang kuat dan menyentuh. Dengan menggunakan sungai sebagai simbol, penyair berhasil menggambarkan konflik antara alam, manusia, dan modernitas.
Puisi ini mengandung tema penderitaan sosial dan kerusakan lingkungan, sekaligus menegaskan makna kemanusiaan universal: bahwa manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasanya.
Melalui imaji yang realistis dan majas penuh kritik sosial, penyair menghadirkan suasana kelam yang menggugah kesadaran pembaca akan nasib mereka yang terpinggirkan.
Baris terakhir, “Ciliwung adalah kita. Ciliwung merayap dan selalu papa!”, menjadi penutup yang menancap dalam: bahwa kerusakan sungai bukan sekadar bencana ekologis, melainkan juga cermin kemiskinan moral dan sosial manusia modern.
Karya: Slamet Sukirnanto
Biodata Slamet Sukirnanto:
- Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
- Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
- Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.