Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Dalam Gereja Munster (Karya Afrizal Malna)

Puisi "Dalam Gereja Munster" karya Afrizal Malna bercerita tentang seseorang yang berada di Gereja Munster di Basel, Swiss, menghadapi suasana ...
Dalam Gereja Munster

Pintu tebal gereja Munster, melepaskan tubuhnya di 
tepi Sungai Rhein, di Basel. Tiang-tiang meninggi,
 
membuat malamnya sendiri. Kursi-kursi dingin,
 
membuat ruangnya sendiri juga. Bukankah telah aku
 
tinggalkan rasa dingin itu, di Schilthorn, bentangan salju
 
di puncak-puncak air terjun, menurunkan sebuah kota
 
dari gumpalan-gumpalan es. Langit putih kelabu telah
 
disalibkan dalam gereja tua itu, lenganku terguncang.
 
Aku tersedu, bertamu padamu.

Masih ada donat di tangannya, jari letih ungu, dan
 peta lipat menjatuhkan batu-batu. Temanku hilang
 
dalam kesedihan: Selamatkanlah mereka yang bercinta,
 
katanya. Lalu aku sentuh, bahunya jadi tembok sunyi
 
bertuliskan: “Amis raus! - Pergi orang-orang Amerika!”
 
dengan huruf-huruf gemetar, di gereja St Marien. Aku
 
tunggu lagi dia, di stasiun bawah tanah. Tubuhnya hotel
 
yang sepi, poster, dan orang-orang bergegas ...

Kereta telah disalibkan dalam gereja tua itu, berderak
 lagi. Membawa remaja-remaja bercumbu, dan hari esok
 
putih menggumpal. Aku tersedu. Lonceng-lonceng gereja
 
berdentangan lagi memanggilmu.

Sejak paskah itu, aku tahu, kita tak perlu bertemu lagi ... 
Kursi telah malam. Piring telah malam juga.

1993

Sumber: Kalung dari Teman (1999)

Analisis Puisi:

Afrizal Malna dikenal sebagai penyair dengan gaya surealis dan penuh simbol yang menabrak batas antara pengalaman pribadi, ruang publik, dan benda-benda keseharian. Salah satu puisinya, "Dalam Gereja Munster", menampilkan perenungan eksistensial melalui ruang religius yang dipenuhi jejak kesedihan, perpisahan, dan kegelisahan modern.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kesepian dan keterasingan manusia dalam ruang religius dan sejarah. Ada juga tema perjumpaan dengan memori, kesedihan, dan perpisahan yang tidak pernah selesai.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh yang berada di Gereja Munster di Basel, Swiss, menghadapi suasana dingin, kesepian, dan kenangan yang menghantuinya. Ia mengingat temannya yang hilang dalam kesedihan, menyaksikan ruang-ruang gereja, stasiun bawah tanah, hingga kereta yang menjadi simbol perjalanan dan perpisahan. Semua pengalaman itu menyatu dalam renungan personal, di mana gereja bukan hanya tempat religius, tetapi juga ruang sunyi yang menyimpan jejak sejarah, cinta, hingga luka perpisahan.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa ruang-ruang bersejarah dan religius tidak hanya menyimpan makna sakral, tetapi juga merekam luka dan keterasingan manusia modern. Gereja Munster menjadi simbol tempat manusia mencari penghiburan, namun justru menghadapi dingin, kesunyian, dan kehilangan. Ada pula sindiran terhadap situasi sosial dan politik global, misalnya melalui tulisan “Amis raus!” (Orang Amerika pergi), yang menunjukkan perlawanan atau penolakan dalam sejarah Eropa.

Puisi ini seakan menyampaikan bahwa dalam setiap ruang—bahkan ruang religius—manusia tetap membawa kesepian dan beban hidupnya sendiri.

Suasana dalam puisi

Suasana yang muncul adalah dingin, muram, getir, dan penuh kesepian. Ada rasa getir perpisahan, kehampaan yang bergema dalam bangunan tua, hingga dentang lonceng yang seakan memanggil, namun justru menegaskan jarak dan ketidakbertemuan.

Amanat / pesan yang disampaikan

Amanat yang bisa ditangkap dari puisi ini adalah bahwa hidup adalah perjalanan penuh kesepian, dan manusia harus berani menerima keterasingan itu sebagai bagian dari pengalaman eksistensialnya. Ruang religius seperti gereja bisa menjadi tempat renungan, tetapi bukan berarti mampu sepenuhnya menghapus kesedihan. Justru, dalam kesunyianlah manusia menemukan dirinya sendiri.

Imaji

Afrizal Malna membangun puisi ini dengan imaji yang kuat dan konkret:
  • “Pintu tebal gereja Munster, melepaskan tubuhnya di tepi Sungai Rhein” → imaji visual yang menekankan kekokohan bangunan bersejarah.
  • “Kursi-kursi dingin, membuat ruangnya sendiri juga” → imaji perasaan dingin, hampa, dan keterasingan.
  • “Kereta telah disalibkan dalam gereja tua itu” → imaji paradoksal yang mencampurkan religius dengan kehidupan modern.
  • “Lonceng-lonceng gereja berdentangan lagi memanggilmu” → imaji auditif yang menekankan suasana sakral sekaligus kesedihan.
Imaji yang digunakan Afrizal mengaburkan batas antara pengalaman nyata, benda-benda sehari-hari, dan simbol religius.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas penting:
  • Metafora: “Kereta telah disalibkan dalam gereja tua itu” menggambarkan benturan antara modernitas dan tradisi religius.
  • Personifikasi: “Kursi telah malam. Piring telah malam juga” memberi sifat manusiawi pada benda mati, menggambarkan kesepian yang menyelubungi segala sesuatu.
  • Paradoks: Gereja sebagai tempat sakral justru digambarkan penuh dingin, kesedihan, dan keterasingan.
  • Simbol: Gereja, kereta, dan lonceng menjadi simbol perjumpaan antara sejarah, religiusitas, modernitas, dan kesepian manusia.
Puisi "Dalam Gereja Munster" karya Afrizal Malna menghadirkan perenungan tentang kesepian, sejarah, dan keterasingan manusia di tengah ruang religius yang megah namun dingin. Melalui simbol-simbol seperti gereja, kereta, dan lonceng, penyair menegaskan bahwa bahkan ruang sakral pun tidak dapat sepenuhnya membebaskan manusia dari kesedihan dan perpisahan. Dengan gaya khasnya yang penuh imaji konkret sekaligus absurd, Afrizal mengajak pembaca untuk memahami bahwa hidup selalu membawa kita pada kesunyian, dan dalam kesunyian itu, kita menemukan makna terdalam keberadaan kita.

Puisi Afrizal Malna
Puisi: Dalam Gereja Munster
Karya: Afrizal Malna

Biodata Afrizal Malna:
  • Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.