Debar-Debar Karantina
Apakah kita gembira hari ini?
Positif kena virus lebih 1,7 juta
Tekanan Covid-19 tembus 209 negara?
Atau berdebar mengingat seratus tahun silam
Flu Spanyol merenggut 50 juta jiwa?
Apa katamu kalau besok pagi aku mati
Meski sudah karantina mandiri
Mewaspadai wabah corona ini?
Kubayangkan kamu akan menulis pesan singkat:
"Selamat jalan, sahabat."
Lalu dari alam abadi aku membalas
"Terima kasih kepada Allah
Telah diberi pengalaman
Menjadi manusia
Dan mengenyam nikmat dunia
Yang tidak membuat kami peka
Sebelum dijemput virus corona."
2020
Analisis Puisi:
Puisi “Debar-Debar Karantina” karya Eka Budianta merupakan salah satu karya yang lahir dari masa pandemi Covid-19, periode kelam yang mengguncang umat manusia di seluruh dunia. Melalui bahasa sederhana namun penuh makna reflektif, penyair menghadirkan suara hati manusia yang dilanda ketakutan, kebingungan, dan introspeksi spiritual di tengah ancaman wabah mematikan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kegelisahan manusia di tengah wabah global serta kesadaran spiritual atas kefanaan hidup. Eka Budianta menyoroti sisi kemanusiaan ketika manusia dihadapkan pada pandemi: rasa takut mati, kesendirian dalam karantina, serta rasa syukur dan refleksi terhadap nikmat kehidupan. Tema ini tidak hanya menggambarkan situasi pandemi secara faktual, tetapi juga memperlihatkan pergulatan batin antara ketakutan dan penerimaan takdir Ilahi.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang merenungkan situasi dunia saat dilanda wabah Covid-19. Penyair mengajukan pertanyaan retoris — “Apakah kita gembira hari ini?” — seolah menantang pembaca untuk berpikir ulang tentang makna hidup di tengah kematian yang mengintai.
Melalui penggambaran statistik global (“Positif kena virus lebih 1,7 juta / Tekanan Covid-19 tembus 209 negara”), penyair mengajak pembaca menyadari betapa luasnya dampak pandemi. Namun, bagian paling menyentuh muncul ketika penyair membayangkan kematian dirinya sendiri dan menulis pesan terakhir kepada sahabatnya.
Di akhir, penyair memunculkan refleksi spiritual: bahwa manusia sering kali baru menyadari arti hidup setelah kehilangan, dan wabah menjadi “guru sunyi” yang mengajarkan kesadaran tersebut.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi “Debar-Debar Karantina” adalah kesadaran akan keterbatasan manusia di hadapan kekuasaan Tuhan. Wabah menjadi simbol peringatan bahwa manusia, meski memiliki teknologi dan ilmu pengetahuan, tetap rentan dan fana.
Selain itu, puisi ini juga menyiratkan kritik terhadap ketidakpekaan manusia terhadap kehidupan sebelum bencana datang. Baris “Yang tidak membuat kami peka / Sebelum dijemput virus corona” menunjukkan penyesalan kolektif — bahwa manusia baru benar-benar menghargai hidup setelah dihadapkan pada kematian.
Makna lain yang dapat ditarik ialah ajakan untuk merenungkan kembali nilai kemanusiaan dan empati, agar penderitaan global tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga titik balik moral umat manusia.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah campuran antara ketegangan, ketakutan, dan keheningan reflektif. Awalnya, pembaca dibawa ke dalam suasana penuh kecemasan dengan penyebutan angka korban dan luasnya wabah. Namun perlahan, suasana berubah menjadi mendalam dan kontemplatif ketika penyair mulai berbicara tentang kematian dan rasa syukur kepada Tuhan.
Akhir puisi menciptakan suasana haru dan pasrah, memperlihatkan penerimaan manusia atas takdir sekaligus penyesalan karena baru menyadari arti hidup setelah bencana terjadi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat utama dalam puisi “Debar-Debar Karantina” adalah ajakan untuk mensyukuri kehidupan sebelum semuanya terlambat. Penyair mengingatkan bahwa hidup adalah anugerah yang tidak bisa diremehkan, dan setiap napas merupakan bentuk kasih Tuhan.
Selain itu, puisi ini juga menyampaikan pesan moral agar manusia tidak lalai dan sombong terhadap alam maupun takdir, karena satu virus kecil saja mampu mengguncang peradaban dunia. Amanat lainnya ialah pentingnya empati dan introspeksi di masa krisis — bahwa penderitaan bersama seharusnya menumbuhkan rasa kemanusiaan, bukan ketakutan semata.
Imaji
Eka Budianta menggunakan imaji visual dan emosional yang kuat dalam puisi ini. Contohnya:
- “Positif kena virus lebih 1,7 juta / Tekanan Covid-19 tembus 209 negara” menghadirkan imaji visual tentang data global yang mencekam.
- “Kubayangkan kamu akan menulis pesan singkat: Selamat jalan, sahabat” menghadirkan imaji emosional yang menyentuh — sebuah bayangan tentang perpisahan akibat kematian.
- “Telah diberi pengalaman menjadi manusia / dan mengenyam nikmat dunia” memberikan imaji spiritual dan perenungan mendalam tentang makna eksistensi.
Imaji-imaji tersebut menjadikan puisi terasa hidup dan nyata, seolah pembaca turut merasakan suasana karantina dan kecemasan yang dialami sang penyair.
Majas
Beberapa majas (gaya bahasa) yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Pertanyaan retoris – “Apakah kita gembira hari ini?” digunakan bukan untuk dijawab, tetapi untuk menggugah kesadaran pembaca.
- Personifikasi – “Tekanan Covid-19 tembus 209 negara” memberi kesan seolah virus adalah entitas hidup yang memiliki kekuatan menekan dan menyerang.
- Hiperbola – “Flu Spanyol merenggut 50 juta jiwa” menegaskan besarnya skala bencana demi menciptakan efek dramatik.
- Ironi – Baris “Yang tidak membuat kami peka / Sebelum dijemput virus corona” menunjukkan kontradiksi antara kenikmatan dunia dan kebutaan batin manusia.
- Metafora spiritual – “Dijemput virus corona” menjadi metafora untuk kematian yang datang sebagai bagian dari kehendak Tuhan.
Majas-majas tersebut membuat puisi terasa hidup, intens, dan berlapis makna.
Puisi “Debar-Debar Karantina” karya Eka Budianta bukan sekadar catatan tentang pandemi, tetapi juga refleksi mendalam tentang eksistensi manusia, makna kehidupan, dan kepasrahan terhadap kehendak Ilahi. Melalui perpaduan imaji nyata dan perenungan spiritual, Eka Budianta berhasil menghadirkan suara hati universal — suara manusia yang takut, menyesal, tetapi juga bersyukur dan sadar akan nikmat yang sering diabaikan.
Puisi ini menjadi pengingat bahwa setiap “debar” dalam karantina bukan hanya tanda kecemasan, melainkan juga denyut kehidupan yang harus disyukuri sebelum waktu berhenti berdetak.
Karya: Eka Budianta
Biodata Eka Budianta:
- Christophorus Apolinaris Eka Budianta Martoredjo.
- Eka Budianta lahir pada tanggal 1 Februari 1956 di Ngimbang, Jawa Timur.
